Konten dari Pengguna

#WenanamPohon: Akar Baru Kesadaran Hukum Lingkungan

Nur Inayah
Mahasiswi Universitas Islam Negeri Jakarta, Fakultas Syariah dan Hukum, Program Studi Hukum Pidana Islam.
11 Juni 2025 12:39 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Tulisan dari Nur Inayah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Illustrasi gambar oleh penulis.
zoom-in-whitePerbesar
Illustrasi gambar oleh penulis.
ADVERTISEMENT
Indonesia sedang menghadapi krisis lingkungan yang semakin parah. Banjir yang semakin sering terjadi, polusi udara yang semakin parah, kenaikan suhu udara, serta hilangnya keanekaragaman hayati yang berakibat dari kerusakan lingkungan, terutama akibat deforestasi.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), total deforestasi netto di Indonesia tahun 2022-2023 mencapai 139.602,91 hektare. Angka ini mencakup kerusakan hutan yang terjadi di berbagai provinsi dan menjadi bukti akan urgensi perubahan perilaku manusia terhadap alam.
Sayangnya, sebagian besar deforestasi ini tidak terjadi secara alami, melainkan karena aktivitas ilegal seperti penebangan pohon tanpa izin atau bahkan pembakaran hutan. Aktivitas tersebut jelas melanggar hukum.
Pasal 50 ayat (3) huruf d Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan melarang pembakaran hutan, yang sanksinya tertulis dalam Pasal 78 ayat 3 berupa ancaman pidana hingga 15 tahun penjara dan denda hingga Rp15 miliar.
Selain itu, Pasal 69 ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup melarang pembukaan lahan dengan cara membakar yang sanksinya tertulis dalam Pasal 108 berupa ancaman pidana 3-10 tahun penjara dan denda Rp3 miliar hingga Rp10 miliar.
ADVERTISEMENT
Penebangan pohon secara ilegal diatur dalam Pasal 82 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Ayat (1) menyatakan bahwa orang perseorangan yang dengan sengaja melakukan penebangan pohon dengan ketentuan-ketentuan yang tercantum di huruf a, b, dan c dipidana dengan pidana penjara 1-5 tahun serta pidana denda Rp500 juta hingga Rp2,5 miliar. Ayat (2) menambahkan ketentuan dari ayat (1) berupa orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan dapat dipidana dengan pidana penjara 3 bulan hingga 2 tahun dan/atau denda Rp500 ribu hingga Rp500 juta.
Namun, masalah lingkungan bukan sekedar hukum hitam di atas putih. Dalam perspektif antropologi hukum, krisis ekologi ini mencerminkan bagaimana norma hukum negara sering kali tidak sejalan dengan nilai dan praktik budaya yang ada di masyarakat. Hukum yang ada hanya bisa menjadi “pajangan” jika tidak diiringi dengan kepatuhan masyarakat. Di sinilah pentingnya inisiatif sosial untuk mengubah cara pandang kolektif masyarakat terhadap alam.
ADVERTISEMENT
Salah satu contoh nyata dari kesadaran sosial itu adalah gerakan Wenanam Pohon yang dicetuskan oleh Jerhemy Owen, seorang TikTokers/influencer. Gerakan ini mengajak masyarakat untuk menanam pohon bersama-sama sebagai aksi nyata melawan krisis iklim yang sedang terjadi.
Dengan sistem yang unik yaitu setiap 15 unggahan di media sosial dengan tagar #WenanamPohon dikonversi menjadi satu pohon, gerakan ini berhasil menumbuhkan ribuan bibit di berbagai wilayah. Pada ulang tahunnya yang bertepatan dengan Hari Bumi, Jerhemy bersama mitra seperti WWF, Kementerian Kehutanan, dan TikTok berhasil menanam 10.000 (sepuluh ribu) pohon di Cibulao, Bogor.
Dampak dari gerakan ini tidak hanya soal penanaman fisik, Pohon-pohon yang tumbuh kembali akan membantu menurunkan emisi karbon, memperbaiki kualitas udara, mengurangi risiko banjir, dan menjaga ekosistem. Lebih dari itu, Wenanam Pohon juga membentuk budaya hukum baru bahwa melindungi lingkungan adalah tanggung jawab yang harus dijalankan bersama, bukan hanya kewajiban hukum formal.
ADVERTISEMENT