Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Nilai Religiusitas dalam Novel Sastra Indonesia "Khotbah di Atas Bukit"
15 Oktober 2024 14:17 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Nur Rizka Laila tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pengalaman estetik dalam karya sastra sebagai ekspresi diri penulis, termasuk pengalaman religiusitas. Mangunwijaya (1988), yang menyatakan bahwa seluruh karya sastra pada dasarnya bersifat religius, karena mengandung nilai dan norma keagamaan yang dipengaruhi oleh pengalaman hidup penulisnya.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks novel "Khotbah di Atas Bukit" karya Kuntowijoyo (1976), penulis berfokus pada unsur struktur seperti alur, tokoh, latar, dan tema untuk menelaah unsur religiusitas yang terkandung di dalamnya. Mangunwijaya (1982) menekankan bahwa karya sastra berkualitas selalu memiliki jiwa religius. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menjawab dua pertanyaan utama: (1) bagaimana sosok religiusitas dalam novel ini, dan (2) bagaimana hubungan karya sastra tersebut dengan konteks sosial pengarangnya.
Sinopsis novel “Khotbah di Atas Bukit” karya Kuntowijoyo
Barman, seorang pensiunan pegawai negeri, merasa hidupnya hampa dan membosankan setelah istrinya meninggal. Ia hidup sendirian dan merasa jauh dari anak semata wayangnya, Bobi, yang sudah berkeluarga. Meskipun memiliki harta yang berlimpah, Barman tetap merasa kesepian dan tak menemukan kebahagiaan. Melihat kondisi ini, Bobi menyarankan agar Barman pindah ke villa di bukit miliknya, ditemani seorang perempuan bernama Popi, yang bertugas merawatnya. Meskipun Dosi, menantu Barman, sempat menolak ide tersebut, akhirnya mereka setuju demi kebaikan Barman.
ADVERTISEMENT
Di villa, Barman menjalani kehidupan dengan segala kebutuhan terpenuhi, tetapi tetap merasa kosong. Meskipun Popi melayaninya dengan baik, termasuk dalam hal kebutuhan fisik, Barman tetap tidak menemukan kebahagiaan. Dalam upayanya mencari makna hidup, Barman bertemu Humam, seorang lelaki tua yang hidup bebas dari belenggu hasrat duniawi. Pertemanan mereka membuka pikiran Barman untuk melihat kehidupan dari sudut pandang yang berbeda, hingga ia semakin merasakan kebingungan dan pergulatan batin.
Kematian Humam memperdalam renungan Barman tentang hidup dan kebebasan. Terinspirasi oleh gaya hidup Humam yang bebas dari keinginan duniawi, Barman mulai bertekad untuk mencari kebebasan sejati. Dalam kebingungannya, Barman mulai mengumpulkan orang-orang di sekitar bukit dan mengajak mereka mengikuti ajarannya. Pada puncaknya, Barman menyampaikan sebuah fatwa mengejutkan bahwa "hidup ini tak berharga untuk dilanjutkan" dan mengajak mereka untuk bunuh diri. Ia kemudian melompat dari jurang dan mengakhiri hidupnya.
ADVERTISEMENT
Penduduk yang terkejut dengan tindakan Barman akhirnya menemukan jasadnya dan membawanya ke villa, tetapi Popi menolak menerima mayatnya. Setelah itu, Popi meninggalkan villa dan kembali ke kehidupannya yang lama.
Nilai Regiulitas dalam novel “Khotbah di Atas Bukit”
Penempatan Popi sebagai pendamping Barman merupakan suatu bentuk penggambaran “kehidupan bebas” yang bertentangan dengan norma agama dan masyarakat. Sosok Barman terlihat sebagai orang tua yang tidak menyiapkan diri untuk kehidupan di akhirat. Ia lebih suka melewati sisa-sisa hidupnya dengan kehidupan yang enak dan manis-manis.
Ia menggandeng Popi di tangannya, erat-erat sampai perempuan itu merasa diseret, mengaduh sebentar kemudian tersenyum mengikuti pegangan itu. “Ke mana kita, Pap?” “Berjalan-jalan, Pop. Bagus pemandangan di pagi hari. Di tengah alam terbuka, ayolah, Pop.” Mereka berlari. Bergandengan, bisa juga Pop tertawa. Semacam tontonan yang ajaib, dalam semak-semak yang menutup mereka, keributan dan keriangan bersatu. Pohonan yang rimbun dan perdu menutup mereka. Segera keributan itu berhenti, hening yang berahasia. Angin menerpa pohonan, membawa keluhan yang panjang dari dalam semak itu (KDAB:25).
ADVERTISEMENT
Namun, sikap hidup Barman terbalik dengan Humam. Humam memiliki sikap hidup spiritual yang tinggi, yaitu menjalani sisa hidupnya dengan penuh keprihatinan. Perbuatan Humam itu merupakan langkah persiapannya untuk menyongsong kehidupan selanjutnya, yaitu kematian. Melalui tokoh Humam, Kuntowijoyo ingin menunjukkan bahwa ketika usia mulai senja, orang harus semakin baik dalam perbuatan dan perilakunya.
Orang itu merasa senang hidupnya yang menyendiri. Sedangkan ia merasa itu penderitaan. Barman tak mengerti pernyataan itu
“Jadi bagaimana?”
“Kesendirian adalah hakikat kita, he.”
“Anakmu. Istrimu. Keluargamu. Sahabatmu?”
“Semua sudah kulepaskan.”
“Semuanya?”
“Ya.” “Dan aku?” (KDAB: 46)
Setelah Humam meninggal dunia, sikap hidup Barman berubah total. Ia melepaskan diri dari ketergantungannya terhadap Popi dan sekaligus menghindarkan hubungan seksual bebas yang dilarang agama. Barman ingin menyampaikan ajaran Human kepada orang-orang sekitarnya. Namun, Sikap Barman itu terasa ironis karena ia tidak memiliki dasar kehidupan religius sebelumnya. Tingkah lakunya itu hanya didasarkan pada keinginannya untuk meniru tindakan Humam. Ketika banyak orang ingin meminta fatwanya, ia tidak mau menjawab.
ADVERTISEMENT
Mereka kadang datang pada malam hari banyak orang, bersama-sama, tetapi suasana khidmat tak pernah terganggu oleh semuanya. Mereka telah menjadikan pondok itu rumah mereka yang kedua. Dan tak seorang pun yang muram, meskipun selalu kediaman meliputi pondok itu (KDAB: 118).
Di dalam novel Khotbah di Atas Bukit ini juga ditampilkan kesesatan hidup manusia. Hal itu terlihat pada tindakan para pengikut Barman. Mereka yang datang adalah orang-orang miskin di pasar. Kemiskinan yang mereka hadapi telah membawanya ke dalam pikiran yang sesat, yaitu meratapi penderitaan hidupnya dan menganggap Barman sebagai “dewa penolong”.
“Kami gelisah, Bapak! Tanpa engkau!” Kata seorang di belakang. Berapa orang bergabung malam itu. Mereka yang menuruni lerenglereng dengan obor segera mengenal kembali Barman yang duduk di atas kuda. Setiap orang yang muncul dan bergabung selalu berseru: “Bapak, jangan tinggalkan kami!” Ia menuju lurus pada iringan!” Orang-orang mencoba memegang kaki Barman, mereka seperti ketakutan. “Jangan pergi, ya Bapak,” kata seorang. “Itu tak mungkin, nak,” kata Barman. “Kami cinta padamu, Bapak.” “Kami mengharapkan, Bapak.” “Tanpa engkau Bapak, kami sendirian.” “Kami membutuhkanmu.” “Tenanglah, aku tidak akan meninggalkan kalian (KDAB: 121)
ADVERTISEMENT
Puncak dari hasil perbuatan Barman adalah bunuh diri. Akhirnya, Puncak dari hasil perbuatan Barman adalah bunuh diri. Akhirnya, Barman menerjunkan diri ke jurang dari atas bukit setelah ia menyampaikan “khotbah” singkatnya. Perbuatan bunuh diri merupakan tindakan yang tidak diridhoi oleh Tuhan. Tindakan Barman itu menegaskan bahwa ia sebagai manusia yang kehilangan pegangan hidup.
“Hidup ini tak berharga untuk dilanjutkan. Kalimat itu diucapkan dengan hampir menjerit. Sebuah teriakan laki-laki tua yang serak dan menyayat. Orang-orang terpukau. Mereka mengulang kalimat Barman, tercengang-cengang. Tidak seorang pun berbisik. Mereka menantikan sesuatu. “Bunuhlah dirimu!” (KDAB: 146)
Pada bagian akhir cerita, Popi dikisahkan melakukan hubungan badan dengan seseorang yang ditemuinya di pasar. Dalam hal ini terbukti bahwa Popi tidak mengalami perubahan kepribadian. Nalurinya sebagai mantan pelacur muncul seketika tatkala ada kesempatan. Ia tidak memikirkan bahwa ia berdosa atas perbuatannya itu. Dari gambaran tokoh Popi, hal yang dapat kita tangkap adalah betapa sulitnya manusia itu hidup di jalan Allah.
ADVERTISEMENT
Novel Khotbah di Atas Bukit ini mengamanatkan bahwa kehilangan pegangan hidup akan mengakibatkan seseorang melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan ajaran agama. Hal itu terlihat pada tokoh Barman yang mengalami nasib tragis karena hasil perbuatannya sendiri.