Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Melihat Kembali Relasi Tuhan, Manusia, dan Alam
7 Oktober 2020 10:32 WIB
Tulisan dari Nur Setiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mencari Pondasi Epistemologi Ekospiritualisme
ADVERTISEMENT
Tahun 2014 lalu, di beberapa Negara Timur Tengah, yang setiap tahun biasanya didominasi musim panas tiba-tiba mengalami cuaca yang tak biasa. Salju turun di Mesir, Libanon, Jordania, Jerusalem selama beberapa hari menutupi jalan-jalan di sana. Ini adalah fenomena pertama kali sejak 112 tahun terakhir. Bukan hanya di Timur Tengah, hal yang sama terjadi juga di Vietnam. Negara dengan penduduk 90 juta jiwa ini mengalami hujan salju di daerah Sa Po, Provinsi Cai, Vietnam Utara.
ADVERTISEMENT
Di Tahun yang sama di Amerika Utara, seperti Amerika Serikat dan Canada, mengalami cuaca ekstrem yaitu suhu yang turun mencapai minus 28 derajat celcius. Cuaca ekstrem ini melumpuhkan aktivitas sehari-hari warganya. Aktivitas lumpuh, listrik mati selama 12 jam, jalan-jalan tertutup salju setebal puluhan centimeter, air danau membeku dan membentuk bongkahan es.
Di Indonesia, minggu terakhir di bulan Januari di tahun yang sama, Jakarta dan kota-kota lain dilanda hujan deras yang mengakibatkan banjir. Aktivitas masyarakat nyaris lumpuh, kegiatan ekonomi terganggu, dan transportasi terhambat.
Fenomena ini adalah bagian dari perubahan iklim yang bisa berdampak negatif dan global. Perubahan iklim bisa menjadi malapetaka dan mimpi buruk bagi masyarakat dunia. Kita semua tahu bahwa perubahan iklim akibat pemanasan global ini terjadi akibat dari penggunaan bahan bakar fosil bertahun-tahun.
ADVERTISEMENT
Organisasi pencinta lingkungan hidup, Greenpeace, menyebutkan bahwa dampak dari pemanasan global ini adalah mencairnya tudung es di kutub, kekeringan yang berkepanjangan, banjir besar gelombang badai besar, penyebaran wabah penyakit berbahaya, dan meningkatnya suhu di lautan.
TANGGUNG JAWAB SIAPA?
Sejak awal Al-Quran sudah mengabarkan bahwa alam ini bekerja sesuai dengan sunah-Nya, tapi kemudian dirusak oleh tangan-tangan manusia. Kita menemukan banyak ayat Al-Quran yang bicara tentang penciptaan alam, ruang angkasa, benda-benda langit, dan sebagainya. Al-Quran di sisi lain juga memperingatkan tentang kerusakan alam akibat ulah manusia.
Tuhan menyediakan semua yang ada di alam untuk dikelola dan dipetik hasilnya. Peran manusia adalah mengelola alam itu dan apa yang ada di dalamnya. Tentunya mengelola harus dengan aturan-aturan hukum alam yang sesuai dengan sunah-Nya. Ketika manusia melenceng dari aturan ini maka yang terjadi adalah kerusakan. Berbagai bentuk kerusakan alam yang terjadi sekarang akibat manusia yang lalai terhadap amanah yang diberikan.
ADVERTISEMENT
Allah bukan saja melarang kita lalai dari ibadah ritual. Tapi juga melarang kita lalai dari lingkungan sekitar. Manusia yang saleh secara ritual-individual, mestinya saleh juga secara sosial dan lingkungan. Manusia tidak hanya harus baik kepada Tuhan dengan melakukan ibadah ritual seperti salat, puasa, zikir, dan sebagainya, tetapi juga baik kepada sesama dan alam sekitar.
Oleh karena itu keimanan kepada Tuhan harusnya berdampak pada lingkungan sekitar. Orang yang mengaku beriman, belum sah imannya kalau lalai terhadap kebersihan lingkungan, kerusakan alam, dan sebagainya. Oleh karena itu tidak dibenarkan seseorang yang waktunya habis untuk ibadah ritual, hanya untuk mendapat pahala yang besar di akhirat, tetapi abai dari lingkungan sekitar. Dunia adalah ladang tempat bercocok-tanam yang hasilnya bisa dinikmati di dunia dan tentunya nanti di akhirat. Di islam dikenal konsep keseimbangan antara dunia dan akhirat, yaitu hablumminallah, hablumminannas, dan habluminalam. Kesalehan vertikal harus berdampak pada kesalehan horizontal, seimbang antara kesalehan individual dan kesalehan sosial.
ADVERTISEMENT
Tugas setiap muslim adalah menjaga keseimbangan ini. Setiap muslim wajib menjaga kelestarian lingkungan sebagai konsekuensi dari keimanannya kepada Allah. Tetapi ironisnya justru di negeri-negeri dengan penduduk mayoritas Muslim persoalan lingkungan menjadi pembahasan yang sangat serius dan mendesak. Orang lalu bertanya, bagaimana mungkin ajaran islam yang mulia, yang sangat peduli terhadap lingkungan, tetapi justru di negeri-negeri islam kita melihat persoalan lingkungan yang tak kunjung selesai.
Letak persoalannya bukan pada ajaran islam, tapi pada individu itu sendiri. Individu yang tak mampu memahami substansi ajaran Islam. Kerap melihat islam dari kulit luar saja. Melihat Islam yang formalistik tetapi tidak menyentuh substansi. Substansi ajaran islam diabaikan seperti keadilan, keindahan, kebersihan, toleransi, kemaslahatan. Justru yang diperjuangkan adalah kulit luarnya yaitu bagaimana Islam di-legal-formal-kan dalam tatanan hukum dan politik.
ADVERTISEMENT
Itu problem dari internal umat islam. Tetapi ada yang tak kalah penting secara eksternal yaitu pengaruh pandangan Barat. Mau tidak mau kita harus mengakui bahwa pandangan Barat tentang alam ikut mempengaruhi cara pandang masyarakat Muslim. Pengaruh ini membentuk mental-psikologis masyarakat Muslim sampai saat ini.
PONDASI EPISTEMOLOGI BARAT
Epistemologi Barat diletakkan atas dasar pemikiran bahwa pengetahuan yang shahih adalah pengetahuan yang dapat di pertanggung jawabkan sumbernya. Pengetahuan yang dapat dibuktikan benar salahnya oleh panca indera. Pondasi ini diletakkan ketika Eropa mengalami revolusi pemikiran dalam bidang agama dan ilmu alam ± 5 abad yang lalu.
Ketika itu, diktum Descartes, “cogito ergo Sum” mewakili puncak pemikiran rasionalis Eropa versus ajaran “esse est percipi” aliran empirism dari George Berkeley, juga David Hume dan John Locke. Dua kubu yang berseberangan ini mempertahankan tesis masing-masing tentang bagaimana manusia memperoleh pengetahuan. Ajaran Cartesian ingin menarik garis pemisah antara ide, jiwa, ruh dengan realitas materi, tubuh. Pembedaan substansi yang dilakukan oleh pemikir Prancis ini akhirnya jatuh pada kesimpulan bahwa kehancuran alam materi tidak akan menyebabkan hancurnya jiwa.
ADVERTISEMENT
Bagi Descartes, dalam bukunya "Meditation On The First Philosophy", pemisahan antara dua substansi ini berakibat pada proses bagaimana manusia memperoleh pengetahuan. Pengetahuan yang sahih adalah pengetahuan yang ditarik dari proposisi-propisisi aksiomatik yang niscaya benar. Ini disebut dengan pengetahuan deduktif-rasional. Pertanyaannya terletak pada proposisi aksiomatik tersebut. Darimana seseorang memperoleh pengetahuan yang niscaya benar itu?
Di pihak lain Empirisme menyuguhkan teori tentang bagaimana manusia memperoleh pengetahuan sebagai sanggahan atas pengetahuan deduktif-rasional yang problematik itu. Empirisme membantah keyakinan para rasionalis yang menganggap pengetahuan aksiomatik itu sudah ada dari sananya. Menurut seorang empiris, ketika lahir pikiran manusia seperti kertas kosong, tidak berisi apapun, pengalaman-pengalamanlah kemudian yang menuliskan coretan-coretan bermakna pada pikiran manusia. Yang benar bagi empirisme adalah pengetahuan yang berdasar pada data-data indera. Dengan melihat kekurangan dan kelebihannya, dua paham ekstrem ini dikritik dan disimpulkan oleh Immanuel Kant, seorang pemikir Jerman, yang kemudian menawarkan metode Sintetis-Apriori.
ADVERTISEMENT
Epistemologi Barat dibangun di atas metode sintetis-apriori ala Kant yang sekarang menjadi semakin kokoh. Metode sintetis-apriori ala Immanuel Kant terbukti ampuh membangun peradaban Barat yang maju. Sains Barat dibangun di atas pondasi ini. Keberhasilan Barat dalam Ilmu Pengetahuan terbukti mampu memakmurkan bangsanya.
Penemuan-penemuan serta eksperimen-eksperimen baru muncul. Tetapi, dan sayangnya, metode sintetis-apriori ini justru free-value alias bebas nilai. Nihilnya nilai etika dan estetika menjadikan Sains Barat arogan. Paradigma ini tidak membuat Sains Barat menjadi rendah hati dan tawadhu dari hasil-hasil yang dicapai. Eksploitasi dan eksplorasi alam tak berjalan beriringan dengan kepedulian terhadap lingkungan dan kemanusiaan. Sains Barat sangat ingin menguasai alam, merekayasanya, mengeksploitasinya, untuk kepentingan manusia. Di atas pondasi ini sains Barat berhasil menciptakan teknologi-teknologi baru yang mempermudah kerja manusia. Tetapi tragisnya sekarang, teknologi-teknologi baru yang diciptakan justru balik mengendalikan hidup manusia. Tragis memang, tetapi ini faktanya. Ketika orang tak mampu lepas sehari saja tanpa teknologi, maka hakikatnya teknologi sedang mengendalikan hidup kognitif dan afektif manusia.
ADVERTISEMENT
Parahnya, epistemologi ini sekarang tidak hanya monopoli Barat. Tetapi dengan cepat Ilmuwan-ilmuwan Muslim pun ikut mengambilnya. Maka jangan heran ketika bumi kita semakin rusak, panas, dan kering. Alam kemudian kehilangan makna ilahinya, kehilangan makna keindahannya, alam semata-mata dilihat sebagi murni materi. Alam tak lagi dilihat sebagi objek keindahan (estetis), melainkan objek eksploitasi. Kita tak lagi melihat alam yang indah, melainkan alam penghasil uang. Bumi kita rusak dan bertambah rusak.
Nur Setiawan
Bogor, 7 Oktober 2020