Konten dari Pengguna

Persoalan Kemiskinan di Dunia

Nur Setiawan
Alumnus jurusan Filsafat Universitas Islam Negeri Jakarta, dan Master Rural Sociology, Faculty of Human Ecology, IPB University
26 Juni 2022 15:21 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nur Setiawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Seorang lelaki tidur siang di trotoar di pusat kota Jakarta. Foto: AFP/BAY ISMOYO
zoom-in-whitePerbesar
Seorang lelaki tidur siang di trotoar di pusat kota Jakarta. Foto: AFP/BAY ISMOYO
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kemiskinan menjadi salah satu persoalan yang menghantui negara-negara maju, miskin, dan berkembang. Pasca Perang Dunia ke-2 negara-negara di dunia dikelompokkan ke dalam 3 kategori yaitu Dunia Pertama yang terdiri dari negara Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Kanada, Belanda, Swedia. Dunia Kedua adalah negara-negara dengan haluan ideologi sosialis-komunis yaitu Uni Sovyet dan negara-negara komunis Eropa Timur. Sisanya adalah negara dalam kategori Dunia Ketiga yaitu kebanyakan masyarakat di Amerika Latin, Asia, daan Afrika (Sanderson, 2003).
ADVERTISEMENT
Menurut Sanderson banyak ilmuwan sosial yang mempelajari sebab-sebab mengapa negara-negara Dunia Ketiga tidak mengalami kemajuan dalam ekonomi dan teknologi, atau dengan kata lain mengapa negara-negara tersebut mengalami keterbelakangan ekonomi dibanding dengan negara-negara Dunia Pertama dan Dunia Kedua.
Kemiskinan disebabkan oleh ketimpangan yang diciptakan oleh sistem ekonomi kapitalis-liberal yang membuat jurang antara kaya dan miskin semakin lebar. Ini terjadi karena para pemilik modal atau korporasi nasional dan multinasional bertujuan semata-mata mencari keuntungan tanpa peduli terhadap kesejahteraan pekerja atau masyarakat. Tujuan semata-mata mencari untung tersebut kemudian melahirkan eksploitasi tenaga kerja. Tenaga kerja dibayar murah dengan jam kerja yang berlebih. Pekerja-pekerja ini kemudian tidak mampu meningkatkan daya beli kebutuhan pokok untuk menghidupi keluarga mereka.
ADVERTISEMENT
Menurunnya daya beli masyarakat adalah salah satu prakondisi terjadinya kemiskinan. Masyarakat dengan daya beli rendah tidak mampu meningkatkan taraf hidupnya ke tingkat yang lebih baik. Hal ini kemudian berdampak pada rendahnya kualitas kesehatan masyarakat, pencemaran lingkungan, kejahatan, dan pengangguran. Dampak paling parah dari rendahnya daya beli masyarkat adalah kelaparan. Negara-negara maju sudah mengenalkan social security atau jaminan sosial untuk menghindari semakin lebarnya jurang ekonomi kaya-miskin. Social security adalah jaminan yang ditawarkan sistem kapitalisme untuk menghindari dampak-dampak dari tingginya tingkat kemiskinan.
Persoalan kelaparan masih belum dapat dituntaskan di beberapa negara-negara Asia dan Afrika. Abad Modern dengan sistem kapitalisme dengan janji-janji kesejahteraan meninggalkan persoalan-persoalan yang kerap kali justru berlawanan dengan janji-janji tersebut. Persoalan ini menjadi salah satu fokus agenda SDGs, yaitu bagaimana menuntaskan persoalan kelaparan yang masih menghantui negara-negara miskin dan berkembang. Belum adanya upaya yang serius dari negara-negara maju untuk merumuskan langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mengurangi angka kemiskinan di negara-negara Asia dan Afrika membuat persoalan kelaparan masih belum tuntas.
ADVERTISEMENT
Ketimpangan ekonomi negara maju dan negara miskin seharusnya menyadarkan para pengambil kebijakan dari negara-negara maju untuk menciptakan dunia yang lebih adil dan manusiawi sehingga persoalan kelaparan bisa dituntaskan dan tidak ada lagi wabah kelaparan di dunia. Sistem ekonomi dunia yang kapitalistik menciptakan jurang yang semakin lebar dan dalam dimana negara-negara kaya semakin makmur dan sebaliknya negara miskin semakin menderita. Sistem ini membuat negara-negara maju mengejar kepentingannya tanpa menghiraukan negara-negara yang jauh tertinggal dibelakang. Perlu dirumuskan solusi yang tepat dan holistik untuk mencegah bencana kelaparan dikemudian hari.
Solusi yang ditawarkan harus melibatkan negara-negara maju dan kaya untuk saling membantu negara-negara terbelakang agar dapat memenuhi kebutuhan pangan masyarakatnya. Paradigma modern yang parsial dan mekanistik sudah harus ditinggalkan. Negara-negara di dunia diharapkan tidak lagi individualis sehingga nantinya tercipta dunia yang lebih beradab dan berkeadilan.
ADVERTISEMENT
Meminjam konsep Herbert Marcuse, paradigma modern yang mekanistik menghasilkan "manusia satu dimensi". Manusia tidak lagi dilihat sebagai kesatuan yang utuh tetapi manusia yang sepenuhnya materil dan deterministik. Kejadian-kejadian dan perubahan-perubahan tubuh manusia kerap kali dijelaskan melalui hukum-hukum deterministik-mekanistik bukan dilihat dengan pandangan yang holistik-integratif. Pandangan deterministik-mekanistik mengabaikan dimensi rohani sehingga tubuh manusia dipandang sebagai benda mati belaka yang bisa dijelaskan menurut kaidah ilmiah yang mekanistik-deterministik. Oleh karena itu, misalnya, ketika dunia kedokteran gagal mengidentifikasi penyakit dalam tubuh manusia maka tidak ada solusi yang dihasilkan untuk penyembuhan.
Sebagian besar negara-negara di Afrika dan Asia saat ini masih belum memenuhi standar hidup layak yang pada akhirnya akan berdampak pada kualitas kesehatan dan kesejahteraan. Di Indonesia sendiri masyarakat yang hidup di perkotaan di pinggiran sungai kerap kali terserang penyakit. Ditambah dengan biaya pengobatan yang mahal menjadikan standar kesehatan mereka rendah. Paradigma masyarakat yang dipakai cenderung menciptakan jurang antara orang-orang kaya dan miskin. Orang kaya memiliki akses yang cukup untuk memenuhi standar kualitas kesehatan yang baik sedangkan orang miskin sebaliknya kesulitan memenuhi standar kualitas kesehatan yang layak. Jurang ini terus melebar dan semakin dalam, disitulah negara harusnya hadir untuk mewujudkan masyarakat yang berkeadilan sosial. Cara negara mewujudkan keadilan sosial adalah dengan menciptakan social security atau jaring pengaman sosial melalui sistem subsidi silang yang dikenal sebagai BPJS. Di bidang pendidikan negara hadir melalui program wajib belajar sembilan tahun pada era orde baru, dan kini digagas pendidikan inklusif dan merata melalui merdeka belajar.
ADVERTISEMENT
Salah satu persoalan SDGs yang dihadapi Indonesia adalah tingkat kemiskinan. Jika dijabarkan dalam iceberg maka fenomena yang terlihat mengenai tingkat kemiskinan di Indonesia adalah bertambahnya wilayah-wilayah kumuh di pusat-pusat kota, rendahnya kualitas kesehatan dan tingkat pendidikan, meningkatnya pengangguran dan angka kejahatan. Dengan kata lain, fenomena-fenomena tersebut adalah indikator tingkat kemiskinan di Indonesia. Pemerintah berupaya untuk mengatasi kemiskinan dengan meningkatkan pelayanan kesehatan, memperluas akses pendidikan, menciptakan lapangan kerja baru disertai pembekalan keterampilan dan peningkatan kompetensi lulusan sekolah dan sarjana.
Salah satu sebab kemiskinan di Indonesia adalah cara berpikir masyarakat yang dilandasi keyakinan dalam agama. Kasus kemiskinan di Indonesia selain diciptakan secara struktural juga disebabkan oleh perilaku yang dilandasi keyakinan agama. Misalnya saja seorang individu merasa kehidupan dunia hanya sementara dan yang kekal hanya kehidupan akhirat. Pandangan seperti ini melahirkan sikap hidup yang statis, tidak mau berusaha, dan tidak mau mengambil peluang-peluang yang tersedia.
ADVERTISEMENT
Kemiskinan struktural sering terkait dengan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Peluang selalu ada, tetapi karena masyarakat terkondisikan secara struktural maka mereka menjadi inkompeten untuk mengambil peluang yang ada. Misalnya, lapangan pekerjaan setiap tahun selalu tersedia, tetapi masyarakat tidak mampu mencapai kompetensi yang dibutuhkan oleh perusahaan pencari kerja. Kompetensi ini didapatkan melalui pendidikan, dan akses pendidikan hanya untuk orang-orang yang cukup secara ekonomi. Kondisi ini kemudian menjadi lingkaran yang tak berhenti. Oleh karena itu diperlukan kebijakan yang bukan hanya mengarah pada satu bidang saja tetapi juga pada sistem atau struktur secara keseluruhan. Sehingga perubahan yang terjadi tidak parsial.
Teori Donella Meadows mencoba menyelesaikan masalah dengan pendekatan sistem dimana setiap bagian mempengaruhi keseimbangan fungsi keseluruhan. Sistem berjalan ketika setiap bagiannya berfungsi sesuai dengan posisinya dalam keseluruhan. Tidak ada bagian yang berdiri sendiri lepas dari sistem. Ketika ada bagian yang rusak dan terganggu maka menganggu sistem. Pendeketan sistem dipakai dalam menyelesaikan masalah secara holistik dan tidak parsial.
ADVERTISEMENT
Mendekati masalah kemiskinan, kelaparan, kesejahteraan, dan pendidikan dalam SDGs tidak bisa lagi dengan pendekatan yang mekanik dan analitik yaitu memecah masalah kedalam bagian yang lebih sederhana kemudian dicarikan solusinya. Tetapi bagaimana persoalan-persoalan tersebut ditempatkan dalam suatu jejaring sistem yang lebih luas dan dicarikan solusinya dari berbagai perspektif sehingga menghasilkan solusi yang holistik dan berkelanjutan.
Melalui pendekatan sistem, persoalan kemiskinan mendapat perspektif yang lebih luas. Kemiskinan tidak bisa dilihat lepas dari persoalan-persoalan lain seperti penganguran, akses pendidikan, distribusi kesempatan yang tidak merata, dan lain-lain. Saya ingin mengambil empat persoalan dalam SDGs yang saling terkait langsung yaitu; kemiskinan, kelaparan, kesejahteraan dan kesehatan, dan Pendidikan berkualitas.
Kemiskinan adalah suatu masyarakat yang berada dibawah standar hidup yang rendah dibandingkan dengan standar hidup masyarakat kebanyakan. Standar hidup ini dipengaruhi oleh pendapatan yang diperoleh. Dengan kata lain, ketika seseorang memiliki pendapatan yang berada dibawah batas pendapatan yang layak menurut pemerintah maka dapat dikategorikan miskin.
ADVERTISEMENT
Lalu mengapa terjadi demikian? Orang miskin dengan pendapatan yang rendah biasanya juga berkorelasi dengan tingkat pendidikan. Makin tinggi tingkat pendidikan maka makin tinggi kesempatan untuk memperoleh pekerjaan yang layak. Semakin banyak masyarakat yang mendapat akses pendidikan yang baik, maka semakin besar pula akses ke dunia kerja. Selain akses pendidikan, tersedianya lapangan pekerjaan juga mempengaruhi tingkat kemiskinan. Saat ini akses pendidikan di Indonesia semakin baik, tetapi jumlah pengangguran juga tetap tinggi. Hal ini disebabkan oleh ketidakseimbangan antar kebutuhan dunia kerja dengan pencari kerja.
Data dari BPS menunjukkan angkatan kerja pada 2018 mencapai 131,01 juta orang, naik 2,95 % dari tahun 2017. Di tahun 2017 pengangguran berkurang 140.000 orang. Jumlah pengangguran sebanyak 6,87 juta orang dan yang bekerja sebanyak 127,07 juta orang. Ini artinya setiap tahun menghasilkan jutaan lulusan sekolah dan sarjana yang tidak terserap dunia kerja. Selain tidak seimbangnya antara kebutuhan dunia kerja dengan banyaknya lulusan sekolah dan perguruan tinggi setiap tahun, juga disebabkan oleh adanya gap antara kompetensi ilmu dengan kebutuhan dunia kerja. Persoalan-persoalan ini perlu mendapat perhatian yang serius dari pemerintah.
ADVERTISEMENT