Konten dari Pengguna

Pesta Panen dan Diplomasi Budaya Indonesia: Pelestarian Cagar Budaya Kato'nokang

Nurhaliza Hamzah
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Hasanuddin
12 Agustus 2023 21:33 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nurhaliza Hamzah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Indonesia merupakan negara yang memiliki begitu banyak warisan peninggalan sejarah dan budaya. Sejarah masa lalu yang sangat panjang yang dimulai dari masa kerajaan hingga penjajahan bangsa asing menjadikan Indonesia memiliki sejarah dan budaya yang unik serta memiliki ciri khas tersendiri. Oleh karena itu, warisan sejarah dan budaya harus dijaga dan dilestarikan. Undang-Undang Dasar 1945 telah mengamanatkan untuk menjaga kekayaan budaya bangsa tersebut dalam bentuk cagar budaya.
ADVERTISEMENT
Cagar budaya adalah warisan budaya yang memiliki nilai penting bagi ilmu pengetahuan, pendidikan, sejarah dan agama yang memiliki sifat kebendaan baik yang berbentuk bangunan, struktur, situs maupun kawasan cagar budaya. Situs atau kawasan cagar budaya tersebar di seluruh wilayah di Indonesia, termasuk di Sulawesi Selatan. Adapun di Sulawesi Selatan itu sendiri tidak hanya terdapat di Kota Makassar namun juga terdapat di Kabupaten Takalar.
Sumber: Dokumen Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Dokumen Pribadi
Kabupaten Takalar merupakan sebuah wilayah yang terletak di sebelah selatan Kota Makassar. Disana kita dapat menjumpai sebuah situs cagar budaya yang dikenal dengan nama Kompleks Makam Gaddong Tungku Kuno Kato’nokang yang terletak di Dusun Kato’nokang, Desa Bonto Kanang, Kec. Galesong Selatan.
Sumber: Dokumen Pribadi
Dalam kompleks cagar budaya tersebut terdapat sebuah tungku dan juga makam yang telah berumur lebih dari enam ratus tahun. Adapun kisahnya berawal dari seseorang yang bernama Sombaya. Beliau merupakan seorang pelaut dimasa lalu yang berlayar mengelilingi pulau-pulau. Suatu waktu ditengah perjalanannya ia menemukan sebuah pulau yang tidak berpenghuni dan sangat indah dipandang sehingga ia menamakan pulau tersebut Manjalling.
Sumber: Dokumen Pribadi
Setelah beberapa waktu berada di Manjalling, ia kemudian kembali melakukan perjalanan dan sampai pada sebuah tempat yang sangat terpencil dimana di tempat tersebut banyak sekali dijumpai orang yang telah meninggal namun tidak dimandikan, tempat tersebut di namakan Kabo’nokang. Tidak lama berada di Kabo’nokang ia pun kembali ke daerah asalnya yaitu di Turatea dan setelah berada disana ia memutuskan untuk menikah. Dari pernikahannya ia dikaruniai dua orang anak yaitu Idanda dan Ibunrang. Selain itu, Sombaya juga dikaruniai cucu yang diberi nama Imangurangi yang merupakan anak dari Idanda.
ADVERTISEMENT
Memasuki usia dewasa, Imangurangi Mengikuti jejak kakeknya ia juga melakukan perjalanan mengarungi lautan dengan kapalnya yang terbuat dari kayu maupun bambu. Imangurangi berkeliling dunia untuk menyebarkan agama islam. Atas izin dari keluarganya, Imangurangi kembali ke Kabo’nokang. Situasi di Kabo’nokang masih sama seperti dulu yaitu masih banyak mayat yang tidak di mandikan. Keberadaan Imangurangi mengubah situasi tersebut, ia mulai mengajarkan kepada orang-orang cara memandikan mayat dengan ajaran islam. Beliau menjadi guru dan imam di Kabo’nokang. Sehingga tempat tersebut tidak lagi disebut Kabo’nokang melainkan berubah menjadi Kato’nokang.
Sembari menyebarkan agama islam Imangurangi juga berdagang. Ia menjual taripang yang ia dapatkan dari berlayar. Selain itu, di Kato’nokang Imangurangi memiliki sawah yang sangat luas. Sehingga pada saat panen tiba ia selalu merayakannya secara besar-besaran bersama dengan semua orang yang ada di Kato’nokang. Kegiatan tersebut pun menjadi sebuah tradisi dimana masyarakat Dusun Kato’nokang dan Desa Bonto Kanang merayakan pesta panen setiap tahunnya. Pesta panen tersebut diadakan di setiap bulan Mei.
Sumber: Dokumen Pribadi
Adapun rangkaian acaranya adalah masyarakat menggelar padekko atau tumbuk padi bersama, bermain sepak raga, ada juga yang disebut dengan angaru yaitu beradu kris, dan juga makan-makan bersama. Pesta panen tersebut sangat ramai di setiap tahunnya sebab bukan hanya masyarakat sekitar yang datang melainkan dari berbagai daerah. Orang-orang mengetahui festival pesta panen tersebut dari mulut ke mulut, dari keluarga ke keluarga yang saling memberitahu apabila perayaannya sudah akan dilaksanakan.
ADVERTISEMENT
Festival pesta panen tersebut kemudian dikenal dengan nama Gaddong dan diadakan setiap tahunnya di Kompleks Makam dan Tungku. Dinamakan kompleks makam sebab ditempat tersebut terdapat makam dari Daeng Imangurangi dan Istrinya Daeng Ti’no. Terdapat pula tungku yang digunakan oleh orang orang dimasa lalu untuk memasak makanan mereka pada saat pesta panen.
Festival pesta panen yang dilakukan oleh masayarakat Desa Bonto Kanang merupakan salah satu bentuk usaha untuk melestarikan sejarah dan budaya serta cagar budaya yang ada. Seiring perubahan dan perkembangan zaman juga memengaruhi pola pikir masyarakat yang membuat masyarakat cenderung fokus pada hal-hal baru yang lebih modern dan kurang tertarik lagi dengan hal-hal yang berbau masa lampau. Sehingga penjagaan dan pelestarian cagar budaya kurang diminati lagi oleh masyarakat. Maka dari itu, sangat penting untuk dapat terus memperkenalkan dan melestarikan sejarah dan budaya ke masyarakat.
ADVERTISEMENT
Hal ini pun sejalan dengan diplomasi budaya yang dilakukan oleh Indonesia dimana negara aktif memperkenalkan dan memanfaatkan budayanya di dunia internasional untuk mencapai kepentingan nasionalnya. Untuk mencapai kepentingan nasional tersebut maka perlu untuk terus menjaga dan melestarikan sejarah, budaya dan juga cagar budaya.