Konten dari Pengguna

Paradigma Ibadah Haji Harus Diubah: Pisahkan Ritual dan Pelayanan Penyelenggara

Nurjaman Mochtar
Wartawan Senior
13 Februari 2025 18:08 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nurjaman Mochtar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Adalah hal yang lazim ketika seorang jemaah haji mengeluhkan tentang lokasi pemondokan yang jauh, misalnya. Tapi keluhan ini selalu dijawab oleh petugas, "Sabar, ini bagian dari ujian."
ADVERTISEMENT
Saya bahkan pernah bentak petugas haji yang mengatakan seperti itu. "Ini bukan ujian, tapi pelayanan anda tidak bagus. Mengapa tidak bisa mengusahakan pemondokan yang dekat Masjidil Haram?" Tentu saja petugas tersebut berkelit bahwa itu adalah kebijakan "di atas" alias Kementerian Agama.
Waktu itu saya mendapatkan penginapan di Ajiziyah, letaknya empat kilometer lebih dari Masjidil Haram. Ini sih mending, karena ada teman saya yang pemondokannya 12 kilometer jauhnya dari Masjidil Haram. Akibatnya selama musim haji, dia tidak bisa salat di Masjidil Haram setiap saat dan lebih banyak salat di masjid setempat.
Memang ada bus jemputan, tapi rebutannya minta ampun. Apalagi teman saya itu membawa orang tua. Padahal, pasti, mereka inginnya bisa salat setiap saat di Masjidil Haram.
ADVERTISEMENT
Penginapan tempat saya tinggal, menurut petugas, hanya dipergunakan di musim haji saja. Sehingga pengairannya pun tidak permanen. Tiap hari harus di-supply air dengan mobil tangki. Jadi jangan kaget kalau saat mandi kehabisan air.
Tapi memang kelihatan jika gedung itu baru dibersihkan. Kebetulan saya rombongan pertama, sehingga ketemu dengan yang melakukan pembersihan dan perbaikan bagian gedung. Sekali-sekali pemiliknya datang mengontrol. Menurut cerita petugas gedung, keuntungan satu musim haji, gedung ini bisa membuat pemiliknya ongkang-ongkang selama setahun. Padahal gedung itu hanya memiliki tujuh lantai saja. Pokoknya bisa bikin pemiliknya kaya raya.
Mengapa kita setiap tahun tidak bisa mendapatkan penginapan yang dekat dengan Masjidil Haram? Mestinya sih bisa, tapi mengapa tidak bisa didapatkan? Selalu saja kita berdebat masalah penginapan ini setiap musim haji.
ADVERTISEMENT
Mengapa pemerintah, Kementerian Agama, tidak bisa mendapatkan penginapan yang sesuai harapan? Karena proses birokrasi untuk menentukan harga pemondokan yang panjang, belum lagi persetujuan anggaran DPR yang ikut memperpanjang proses pengadaan itu.
Kita memang harus mengubah dulu paradigmanya. Ritual ibadah Haji dan pelayanan ibadah Haji harus dipisahkan. Ini dua hal yang berbeda.
Ibadah Haji merupakan tuntutan untuk menjalankan ritual Haji, sehingga mungkin ini bisa dibebankan ke Kementerian Agama atau Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sementara itu, pelayanan ibadah Haji adalah suatu pekerjaan atau bisnis yang harus dikelola secara profesional dengan menganut prinsip-prinsip ekonomi, sehingga bisa dilakukan business to business bukan government to business.
Jadi pelayanan ibadah Haji, mestinya, dikelola sebuah entitas bisnis seperti Badan Usaha Milik Negara atau BUMN, sehingga pelayanan ibadah Haji bisa lebih profesional. Kalau pelayanan Haji kurang baik tinggal tegur BUMN-nya. Jadi tidak menyalahkan nasib terus. Tentu saja pelayanan ibadah Haji ini tidak bisa diserahkan kepada birokrasi.
ADVERTISEMENT
Jemaah haji Indonesia menunggu bus untuk kembali ke hotel di Mina, Makkah, Arab Saudi, Selasa (18/6/2024). Foto: Sigid Kurniawan/ANTARA FOTO
Biasanya pelayanan publik yang bersifat statis seperti pembuatan KTP atau SIM bisa dilakukan birokrasi. Tapi kalau pelayanan menyangkut pasar harus diserahkan ke entitas bisnis. Pelayanan ibadah Haji itu meliputi pasar transportasi, akomodasi, dan catering. Bayangkan kementerian harus bernegosiasi untuk tiga hal ini. Pasti harus berliku panjang bahkan bisa terjebak keterlibatan calo. Sangat tidak efisien dan efektif.
Bisa dibayangkan ketika masalah penyediaan penginapan, misalnya, bisa dilakukan jauh-jauh hari. Bahkan bisa saja secara jangka panjang dengan membeli tower atau menyewa secara puluhan tahun, tentu saja ini akan lebih murah. Untuk sehari-harinya tower ini disewakan kepada yang Umrah, dan kualitasnya hotel bukan maktab atau penginapan seperti selama ini. Jadi kita tidak perlu ribut masalah penginapan ini setiap musim Haji dan pasti akan lebih efisien.
ADVERTISEMENT
Dengan perputaran dana Haji yang puluhan triliun tentu saja bukan hal yang sulit untuk membangun sebuah BUMN yang memberi pelayanan ibadah Haji. Pasti BUMN-nya akan kompetitif karena captive market. BUMN ini akan mengurusi mulai pengelolaan dana Haji, pendaftaran Haji, akomodasi, transportasi, dan catering Haji. Dengan demikian seluruh proses pelayanan ibadah Haji dilakukan oleh sebuah korporasi yang memiliki cabang di mana-mana seperti halnya BUMN yang lain.
Semua proses pengadaan barang dan jasa dilakukan secara kompetitif dengan proses tender, sehingga akan sangat efisien. Hanya perusahaan yang pelayanannya bagus yang bisa mendapatkan pekerjaan layanan jasa transportasi, akomodasi, dan catering. Semua pekerjaan layanan ini pasti akan lebih efisien, karena melalui proses biding, sehingga ujungnya bisa saja menurunkan Ongkos Naik Haji (ONH) ke masyarakat.
ADVERTISEMENT
Saat ini memang sudah ada Badan Pengelola Keuangan Haji atau BPKH. Jadi menurut Undang Undang nomor 34 tahun 2014 BPKH ini memiliki tugas pengelolaan dana haji untuk meningkatkan kebermanfaatan lebih maksimal keuangan haji dengan prinsip-prinsip syariah. Jadi tidak bisa sembarangan investasi.
Ada juga badan baru Badan Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah atau BPH yang didirikan berdasarkan Keppres. Rencananya badan ini akan menggantikan peran Direktorat Haji dan Umrah Kementerian Agama. Badan yang akan di bawah presiden ini akan mulai bertransisi untuk menyelenggarakan ibadah Haji mulai tahun 2025 ini sambil menunggu pengesahan Undang-Undang Haji baru yang sudah masuk prolegnas.
Ini memang usulan paling radikal. Mengapa penyelenggaraan dan pengelolaan pelayanan haji sekadar badan tidak langsung saja menjadi BUMN sehingga sebagai entitas bisnis akan lebih luwes dan cepat dalam mengambil keputusan?
ADVERTISEMENT
Filosofinya pelayanan Haji itu bisnis karena menyangkut market transportasi, akomodasi, dan catering. Kalau sekadar badan, saya khawatir, tidak akan kuat mengimbangi dinamika pasar yang jatuhnya birokrasi lagi. Dengan menjadi BUMN maka tingkat efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan Haji dan Umrah akan lebih terukur.
Bahkan pernah terlontar ide dari salah satu calon presiden untuk membangun Kampung Indonesia di Makkah dan Madinah. Menurut capres ini, Indonesia mungkin bisa membangun atau memiliki superblock di dua kota ini yang meliputi apartemen atau hotel sekelas bintang 4 ke atas, supermarket dan restoran kuliner. Pasti akan jadi nilai tambah yang cukup tinggi buat perekonomian Indonesia. Tapi mengelola superblock tidak bisa hanya dengan badan, harus korporasi.
Jadi pengelolaan pelayanan ibadah Haji harusnya dilakukan secara B to B. Dengan demikian, semua kualitas pelayanan akan menjadi lebih kompetitif dan terukur. Begitu pelayanannya kurang baik, manajemen BUMN-nya bisa ditegur atau bahkan diganti.
ADVERTISEMENT
Tapi apakah pemerintah tertarik untuk merevolusi pelayanan ibadah Haji dan tidak lagi menyerahkan keluhan para jemaah dengan kata sakti "ini ujian" atau "ini nasib"? Wallahu ‘alam bissawab.