Presiden Para Pendosa

Nur Khafi Udin
Akademisi Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Penulis buku Tafakkur Akademik (2022), Buku Melihat Indonesia dari Mata Pemuda (2023) dan Buku Konsep Agama Hijau (Greendeen) atas Kerusakan Lingkungan Hidup (2023).
Konten dari Pengguna
22 Oktober 2022 19:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nur Khafi Udin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Foto Gus Miftah/Sumber: Dokumentasi Pribadi
Transformasi teknologi komunikasi bergerak cepat, tanpa waktu yang lama semua berubah mengikuti perkembangan yang ada. Salah satu contoh yaitu muncul konten dakwah yang diproduksi di luar media klasik (Old Media) seperti televisi, radio, dan media cetak. Dulu konten dakwah hanya diproduksi oleh media klasik, sehingga pendakwah yang dakwah melalui media berjumlah sedikit.
ADVERTISEMENT
Zaman itu pendakwah yang tenar di televisi bisa mendapat undangan mengisi ceramah ke berbagai daerah, lain dengan pendakwah tingkat kecamatan yang hanya mendapat undangan di lingkup kecamatan saja, meskipun dia menarik ketika menyampaikan pesan dakwah.
Saat ini media memasuki era baru yang ditandai dengan akses internet yang semakin mudah ditemukan. Seiring dengan itu konten dakwah mulai diproduksi secara massal, setiap pendakwah dengan ciri khas masing-masing mengisi pelbagai segmen. Misalnya ada yang masuk Instagram, YouTube, Twitter, bahkan TikTok.
Karena ada kebebasan untuk memproduksi konten sendiri, jangkauan dakwah menjadi lebih luas, ada yang menyasar anak muda, kaum buruh, anak jalanan, bahkan kaum marginal.
Konten Lebih Berani dan Terbuka
Karena tidak dibatasi dengan aturan-aturan ketat seperti di media klasik, daya eksplorasi pendakwah semakin berkembang. Banyak anak muda yang berani membicarakan isu sensitif seputar keagamaan yang jarang kita temui pada beberapa tahun lalu. Hal ini tentu memberi dampak positif pada pemikiran masyarakat.
ADVERTISEMENT
Misalnya ada Gus Miftah, pendakwah asal Yogyakarta yang dikenal karena menyebarkan agama kepada kaum marginal. Gus Miftah memiliki nama asli Miftah Maulana Habiburrahman, lahir tanggal 5 Agustus 1981 di Jabung, Lampung Timur. Selain sebagai pendakwah, Gus Miftah juga mengelola pesantren Ora Aji di Sleman, Yogkarta. Ia semakin menjadi sorotan ketika mendampingi Deddy Corbuzier menjadi mualaf pada 21 Juni 2019 lalu.
Sampai saat ini Gus Miftah masih aktif melakukan kegiatan dakwah di area lokalisasi Yogyakarta, kelab malam, dan salon plus-plus. Dalam sejarah penyebaran agama Islam di Jawa, banyak ditemukan kisah tentang pendakwah yang melakukan kegiatan dakwah di tempat serupa. Seperti Kisah Sunan Kalijaga yang berdakwah dengan media wayang.
Pada masa itu ketika masyarakat menonton suatu pertunjukan selalu membawa minuman alkohol, Sunan Kalijaga membimbing untuk meninggalkan minuman alkohol ketika menonton pertunjukan. Dengan kesabaran, Sunan Kalijaga mampu mengubah gaya hidup negatif pada kelompok masyarakat tersebut.
ADVERTISEMENT
Jadi apa yang dilakukan Gus Miftah bukan hal baru dalam kegiatan dakwah di Indonesia, namun dalam konteks abad ke-21 ini, cara berdakwah Gus Miftah mendobrak pendakwah muda yang menghadirkan kesan Islam formal, seperti melakukan kajian tur ke masjid-masjid, menggunakan pakaian yang seragam seperti berjubah, dan menghadirkan narasi pemurnian Islam tetapi cenderung menutup dialektika produktif.
Dakwah Gus Miftah dengan kaum marginal ini tersebar melalui media sosial, dengan segera ia mampu menjadi trendsetter atau pusat perhatian banyak orang. Alhasil banyak kaum marginal yang merasa mendapat rumah untuk belajar agama. Bahkan ceramah Gus Miftah juga semakin mudah ditemukan di media sosial, yaitu channel YouTube dengan nama “Gus miftah official”.
Presiden Para Pendosa
Bagi saya, Gus Miftah mampu menghadirkan sudut pandang baru terkait dunia hitam, ketika banyak pendakwah menganggap Pekerja Seks Komersial (PSK) sebagai tuna susila, Gus Miftah menganggap mereka seperti manusia lain yang memiliki kebaikan. Seperti dalam sebuah wawancara “Di tempat yang baik pasti ada keburukan, di tempat yang buruk pasti ada kebaikan”.
ADVERTISEMENT
Dengan gaya dakwah seperti itu tidak heran jika ia disebut sebagai “Presiden Para Pendosa” seperti dalam baliho pada sebuah masjid di daerah Borobudur. Dengan gelar unik seperti itu tentu banyak anak muda yang tertarik untuk menambah wawasan agama namun dengan suasana santai dan jenaka. Tentu kita harus mendukung dakwah dengan kemasan unik seperti ini, tapi ingat! Manusia adalah tempat salah dan lupa, kita tetap harus selektif dalam menangkap pesan-pesan keagamaan.
Jadi maksud dari Presiden para pendosa disini adalah sebuah penegasan jika kaum marginal yang selalu mendapat nomor dua di kelas sosial berhak mendapat rumah bernaung dalam belajar agama, seperti Gus Miftah yang sudah memberi contoh.