Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Dimensi Privat dari Hak Ulayat
14 Februari 2021 14:27 WIB
Tulisan dari Nurul Firmansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pengakuan masyarakat adat dalam Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 mengandung makna bahwa masyarakat adat sebagai subjek hukum atas hak tradisional atau hak asal-usul.
ADVERTISEMENT
Secara konsep, masyarakat adat adalah persekutuan hukum yang mempunyai kapasitas sebagai subjek hukum, terutama dalam hal hak atas wilayah (Hak ulayat), baik dalam ranah hukum publik maupun dalam ranah hukum privat (keperdataan).
Masyarakat adat dalam konteks subjek hukum sendiri adalah Persekutuan hukum yang terbentuk karena perkembangan faktor-faktor sosial dan politik dalam sejarah (Gemeenschap), bukan dalam arti Subjek Hukum yang dibentuk, seperti badan hukum privat (perusahaan).
Dengan kata lain, Persekutuan hukum masyarakat adat sebagai subjek hukum melekat bersamanya hak bawaan (hak ulayat), baik dalam dimensinya yang publik maupun privat.
Masyarakat adat selain mempunyai kewenangan publik, juga melekat kewenangan-kewenangan yang bersifat keperdataan (privat), yaitu kewenangan untuk mengadakan perjanjian dengan pihak ketiga tentang pemanfaatan bagian-bagian dari ulayat (Kurniawarman, 2005).
ADVERTISEMENT
Hak masyarakat adat dalam dimensi hukum privat terkait erat dengan hak tanah (Hak Ulayat). Hak masyarakat adat sebagai subjek hukum atas tanah ini tidak terlepas dari konsep hak Pertuanan (Beschikkingsrecht) yang disebutkan dalam Pasal 3 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
Konsep Hak Ulayat
Hak ulayat (hak pertuanan) sendiri tidak dijelaskan rinci oleh UUPA, namun UUPA merujuk pada kepustakaan adat. Ter Haar menyebutkan bahwa: Sebagai Persekutuan Hukum, masyarakat (hukum) adat memiliki kewenangan terhadap tanah ulayat (Beschikkingsrecht) yang dapat dibagi dua:
Pertama, berlakunya ke dalam, bahwa masyarakat atau anggota-anggotanya berwenang menggunakan hak pertuanan itu dengan jalan memungut hasil tanah beserta binatang-binatang dan tanaman-tanaman yang terdapat di wilayah kekuasaannya.
Kedua, kewenangan yang berlaku ke luar. Bahwa orang luar dari masyarakat yang bersangkutan boleh memungut hasil pertuanannya, setelah mendapat izin dari persekutuan bersangkutan. Orang luar tersebut juga harus membayar uang pengakuan di muka, serta uang penggantian ke belakang. Hak yang diberikan itu adalah hak menikmati hasil (genotrecht) dan itu hanya berlaku sekali panen.
ADVERTISEMENT
Dalam hal berlaku ke dalam, setiap anggota masyarakat hukum adat sebagai individu (natuurlijk person) diperbolehkan mendapatkan hak atas sebagian tanah ulayat (Kurniawarman, 2012 : 18)—hubungan hukum antara anggota masyarakat hukum adat dengan tanahnya kemudian disebut hak privat.
Dimensi Privat dari Hak Ulayat
Hak privat atas tanah ulayat dalam persekutuan hukum masyarakat adat (hak ulayat berlaku ke dalam) digambarkan oleh Herman Soesangobeng sebagai berikut: "Ketika proses pemilikan tanah menurut hukum adat, yang terjadi pada saat hubungan hak atas tanah mulai dijalin, pengaruh kewenangan masyarakat adat masih kuat dan penuh, tetapi setelah intensitas penggunaan tanah berlangsung cukup lama, kewenangan subyek hak individu menjadi lebih kuat dan pada saat bersamaan kewenangan masyarakat adat menjadi semakin lemah, sekalipun tidak lenyap sama sekali."
ADVERTISEMENT
Dalam hal hak ulayat berlaku keluar, Van Vollenhoven menyebutkan bahwa Pemberian izin pemanfaatan oleh “orang asing” di luar persekutuan hukum mesti membayar uang pengakuan (recognitie) dan hak ulayat tersebut tidak dapat dilepaskan walaupun dimanfaatkan oleh “orang asing” di luar persekutuan hukum. Jika dilepaskan sementara untuk orang asing dan berakibat kerugian, maka orang asing tersebut harus membayar ganti kerugian kepada persekutuan hukum yang memiliki tanah (Kurniawarman, 2012).