news-card-video
5 Ramadhan 1446 HRabu, 05 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Toxic Positivity: Ketika Berpikir Positif Menjadi Bumerang bagi Kesehatan Mental

Nurul Hidayati
Mahasiswa Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
4 Maret 2025 16:20 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nurul Hidayati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: https://www.shutterstock.com/id/image-vector/negative-business-environment-happy-businesswoman-running-1488831200
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: https://www.shutterstock.com/id/image-vector/negative-business-environment-happy-businesswoman-running-1488831200
ADVERTISEMENT
Pernahkah kamu merasa tertekan ketika seseorang mengatakan 'tetap positif' meskipun kamu sedang berjuang? Ternyata, ini adalah bentuk toxic positivity yang bisa berbahaya bagi kesehatan mental.
ADVERTISEMENT
Tentunya kita semua pasti pernah memiliki sebuah masalah, baik masalah ringan maupun masalah berat. Hal ini wajar terjadi di setiap fase kehidupan manusia. Akan tetapi, ketika mendapatkan masalah atau mengalami kegagalan, pasti ada perasaan yang mengganjal di dalam dirimu. Berbagai macam cara kamu lakukan untuk menghilangkan hal tersebut, sebagai sebuah bentuk pertahanan diri yang kamu lakukan. Salah satunya dengan tetap berpikir positif dan bersikap optimis atas apa yang telah terjadi. Namun, jika kamu memaksakan hal tersebut secara berlebihan, maka yang terjadi justru sebaliknya. Masalah yang kamu pikir akan terselesaikan, justru membuat kamu mendapatkan masalah yang baru. Sikap penyangkalan atas emosi negatif yang sedang kamu alami dengan menggunakan sikap positif dikenal dengan istilah toxic positivity.
ADVERTISEMENT
Toxic positivity merupakan kondisi ketika seseorang menuntut dirinya sendiri atau orang lain untuk selalu berfikir dan bersikap positif, serta menolak bahkan menyangkal semua emosi negatif. Biasanya seseorang yang punya pemikiran seperti ini akan sering melontarkan petuah yang kesannya positif, padahal dia sendiri sebenarnya merasakan emosi yang negatif. Orang yang punya pemikiran toxic positivity juga sering menyembunyikan perasaan yang sebenarnya dia rasakan dan kadang malah jadi menghindari masalah atau membiarkan masalah tersebut terus terjadi tanpa solusi.
Tidak hanya itu, mereka juga sering memberi semangat ke orang lain yang disertai dengan kata-kata yang mungkin bernada meremehkan, contohnya, “Jangan nyerah dong, masa gitu aja nggak bisa sih”, atau mengucapkan kalimat yang terkesan membandingkan diri sendiri dengan orang lain, misalnya, “Ah masih mending kamu, lihat orang lain banyak yang lebih menderita dari kamu”.
ADVERTISEMENT
Toxic positivity ini harus dihindari karena akan berdampak pada kehidupan kita kedepannya. Adapun dampak dari toxic positivity, diantaranya ialah:
1. Toxic positivity membuat kamu menolak emosi negatif.
Memaksa dirimu untuk tetap berpikir positif ketika sedang tidak baik-baik saja, hanya akan membuatmu semakin menderita. Rasa sedih, marah, dendam, dan berbagai emosi negatif lainnya, semakin kamu tahan dan pendam dalam-dalam, lalu kamu gantikan dengan kebahagiaan palsu dan rasa optimis yang tidak sesuai dengan kondisi yang sedang kamu alami sebenarnya, justru tidak akan menyelesaikan masalah yang dihadapi. Semua hal itu kamu lakukan, agar kamu tetap terlihat tegar dan kuat di hadapan orang lain. Ketika kamu sudah melakukan hal tersebut, tentu akan membuatmu semakin kesulitan dalam memvalidasi perasaan yang terjadi pada dirimu sendiri.
ADVERTISEMENT
2. Toxic positivity membuat kamu terisolasi.
Pura-pura menjadi kuat di setiap situasi dan kondisi, justru membuatmu menjauh dari fitrah manusia pada umumnya. Kamu semakin jauh dalam mengenal dirimu sendiri, hingga akhirnya membuatmu kesulitan untuk berinteraksi dengan orang lain dan menjadikanmu terisolasi dari lingkungan sekitarmu. Ketika kamu sudah merasakan hal itu, maka akan menghalangi dirimu dalam mencari bantuan. Padahal, kamu bisa meminta bantuan orang-orang terdekatmu sebagai teman bercerita ketika kamu sedang tidak baik-baik saja.
3. Merasa memiliki harga diri yang rendah.
Keberadaan toxic positivity justru mendorongmu untuk mengabaikan emosi negatif yang sedang dirasakan. Meskipun menahannya dapat membuatmu tampak terlihat lebih tegar dan kuat. Namun, ketika sudah tidak mampu merasa positif, maka akan membuatmu merasa gagal dan memiliki harga diri yang rendah.
ADVERTISEMENT
Berpikir positif bukanlah suatu hal yang buruk, asal diimbangi dengan respons emosional yang tepat terhadap situasi dan kondisi yang terjadi. Berikut beberapa strategi untuk menghindari toxic positivity, di antaranya yaitu:
1. Belajar memvalidasi emosi yang terjadi.
Berlatihlah untuk menjadi lebih terbuka dengan menceritakan keluh kesahmu kepada orang yang kamu percaya atau profesional seperti psikolog atau psikiater. Selain itu, cobalah untuk mendengarkan dan mempertimbangkan sudut pandang orang lain.
2. Melakukan journaling.
Kamu dapat mulai belajar mengenali emosi yang terjadi dengan menuliskan berbagai perasaan yang kamu rasakan ke dalam buku harian. Dengan mencatat bagaimana perasaan tersebut hadir, dapat membantumu menjadi lebih nyaman dalam memvalidasi emosi positif dan negatif dalam dunia nyata.
3. Mengurangi bermain sosial media
ADVERTISEMENT
Terlalu sering bermain sosial media, tanpa disadari dapat membuatmu semakin stres bahkan memperparah toxic positivity yang kamu alami. Oleh karena itu, mulailah kelola media sosialmu dengan menyingkirkan orang-orang toxic dan waktu penggunaannya. Waktu yang biasanya kamu habiskan untuk scrolling media sosialmu, bisa kamu gunakan untuk hal-hal yang produktif lainnya, seperti membaca buku, menghabiskan waktu bersama keluarga, dan aktivitas positif lainnya.
Sumber