Ganggu Madrasah, Sekolah 5 Hari Sepekan Tak Tepat Diterapkan Nasional

11 Juni 2017 18:17 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Siswa SD mengaji di Pondok Ramadhan (Foto: Saiful Bahri/ANTARA)
zoom-in-whitePerbesar
Siswa SD mengaji di Pondok Ramadhan (Foto: Saiful Bahri/ANTARA)
ADVERTISEMENT
Lembaga-lembaga keislaman keberatan dengan kebijakan sekolah 5 hari sepekan yang akan diterapkan secara nasional mulai Juli 2017. Alasannya, kebijakan itu akan mengganggu sekolah madrasah diniyah yang biasa dilakukan sepulang sekolah formal.
ADVERTISEMENT
Keberatan serupa juga diungkapkan oleh Ikatan Keluarga Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (IKAPMII) Jember.
"Kami menilai keputusan tersebut merupakan keputusan yang belum dilandasi kesadaran nasional yang dilihat dari karakter dan persebaran wilayah karena Indonesia merupakan negara yang sangat beragam, sehingga lima hari sekolah kurang tepat diterapkan secara menyeluruh di Indonesia," kata Ketua IKAPMII Jember Akhmad Taufiq menanggapi kebijakan Kemendikbud di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Minggu (11/6), seperti dilansir Antara.
Menurutnya pemberlakuan lima hari sekolah yang dilandaskan pada alasan memenuhi minimal 40 jam pelajaran merupakan alasan yang kurang mendasar karena alasan tersebut dinilai baru pada tataran normatif dan prosedural semata.
ADVERTISEMENT
"Pada tataran substantif, pemberlakuan kegiatan belajar di sekolah mulai Senin hingga Jumat tidak memenuhi derajat orientasi visional pendidikan nasional," ucap dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Jember itu.
Selain itu, lanjut dia, kebijakan yang sepenuhnya mempertimbangkan aspek nasionalitas ke-Indonesiaan seharusnya menjadi pertimbangan utama dalam segala bentuk kebijakan pendidikan yang akan dilakukan.
"IKAPMII menilai keputusan Mendikbud yang akan menerapkan lima hari sekolah dalam sepekan merupakan keputusan yang terlalu dini dan cenderung dipaksakan karena belum mempertimbangkan secara seksama karakter dan cakupan wilayah Indonesia yang sangat beragam tersebut," ujarnya.
Ia menjelaskan kegiatan belajar selama delapan jam sehari tentu dapat mengganggu kegiatan anak-anak yang biasanya belajar mengaji di tempat pendidikan Alquran, musala, masjid, dan pesantren yang dilaksanakan usai salat Asar.
ADVERTISEMENT
"Atas dasar beberapa pertimbangan tersebut, IKAPMII Jember berharap keputusan lima hari sekolah atau full day school oleh Mendikbud dapat ditinjau ulang atau dibatalkan demi stabilitas dan kondusivitas pendidikan nasional yang sedang berjalan," ucap Akhmad Taufiq yang juga Ketua LP3M (Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu) Universitas Jember.
Selain IKAPMII Jember, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga meminta Mendikbud mengkaji ulang kebijakan tersebut. Sebab kebijakan sekolah 5 hari sepekan bisa membuat madrasah diniyah dan pesantren gulung tikar.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya Menteri Mendikbud Muhadjir Effendy kepada sejumlah wartawan di Jakarta mengatakan kebijakan lima hari sekolah dalam sepekan itu sudah sesuai dengan standar kerja Aparatur Sipil Negara (ASN).
"Dalam lima hari kerja tersebut, waktu pembelajaran minimum menjadi delapan jam, sehingga dalam sepekan para guru akan mengajar selama 40 jam," katanya.
Kemendikbud akan memberlakukan kebijakan lima hari sekolah dalam sepekan di seluruh Indonesia mulai Juli 2017 dan pemerintah sedang menyusun regulasi terkait kebijakan tersebut.