Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
MUI Minta Mendikbud Kaji Aturan Sekolah 5 Hari Sepekan
11 Juni 2017 11:22 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
ADVERTISEMENT
Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk kembali mengkaji kebijakan sekolah lima hari. Kebijakan tersebut menurut mereka akan berpengaruh pada praktik penyelenggaraan keagamaan yang selama ini dikelola oleh masyarakat.
ADVERTISEMENT
"Praktik pendidikan tersebut semisal madrasah diniyah dan pesantren yang biasanya kegiatan belajarnya dimulai dari pelajar sepulang dari sekolah umum (SD, SMP, SMU)," ujar Wakil Ketua Umum MUI, Zainut Tauhid Sa'adi, dalam keterangan tertulis yang diterima kumparan (kumparan.com), Minggu (11/6).
Dia mengatakan pendidikan seperti madrasah diniyah dan pesantren, selama ini telah memberi kontribusi besar bagi penguatan nilai keagamaan, pembentukan karakter dan penanaman nilai akhlak mulia bagi anak didik.
Dengan diberlakukannya pendidikan selama delapan jam sehari, lanjut Zainut, dapat dipastikan pendidikan dengan model madrasah ini akan gulung tikar. Padahal keberadaannya masih sangat penting dan dibutuhkan oleh masyarakat.
"Saya tidak bisa membayangkan berapa jumlah madrasah diniyah yang dikelola secara mandiri dan sukarela oleh masyarakat akan tutup. Berapa jumlah pengajar yang selama ini mendidik anak siswa dengan ihlas tanpa pamrih akan kehilangan ladang pengabdiannya. Hal ini sangat menyedihkan dan akan menjadi sebuah catatan kelam bagi dunia pendidikan Islam di negeri yang berdasarkan Pancasila," kata dia.
ADVERTISEMENT
Zainut menyitir pernyataan pemerintah bahwa sekolah lima hari dalam satu pekan tersebut merupakan bagian dari program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) sehingga setiap hari pelajar akan menempuh pendidikan selama delapan jam.
"Kebijakan tersebut tujuannya bagus, namun perlu dipikirkan ulang. Apakah semua sekolah memiliki sarana pendukung untuk terciptanya sebuah proses pendidikan yang baik ? Seperti sarana untuk ibadah, olah raga, laboratorium, tempat bermain dan istirahat yang nyaman bagi pelajar, serta kantin yang sehat dan layak," jelasnya.
Sehingga MUI meminta kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, untuk mengkaji ulang kebijakan tersebut. Setidaknya kebijakan tersebut diberlakukan secara bertahap, selektif dan dengan persyaratan yang ketat. Misalnya hanya diberlakukan bagi sekolah yang sudah memiliki sarana pendukung yang memadai.
ADVERTISEMENT
Sedangkan bagi sekolah yang belum memiliki sarana pendukung tidak atau belum diwajibkan. Kebijakan tersebut menurutnya tidak diberlakukan untuk semua daerah dengan tujuan untuk menghormati nilai-nilai kearifan lokal.
"Jadi daerah diberikan opsi untuk mengikuti program pendidikan dari pemerintah, juga diberikan hak untuk menyelenggarakan pendidikan sebagaimana yang selama ini sudah berjalan di masyarakat," tutupnya.