Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Beda Konsep IKN: Dari Kota Publik Menjadi Kota Bisnis
30 Juni 2024 9:35 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Nurul Intsan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) sudah menjadi wacana sejak era Presiden Soekarno, Soeharto, maupun Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dalam diskursusnya, ada sejumlah alasan yang melatarbelakangi ide pemindahan ibu kota. Namun, alasan utamanya adalah daya dukung Kota Jakarta yang dinilai terus mengalami penurunan. Selanjutnya, pada era Presiden Joko Widodo, rencana pemindahan IKN sudah menjadi pembahasan sejak periode pertamanya, yakni pada tahun 2014 melalui pembentukan tim “rahasia” yang bertugas mengkaji rencana pembangunan IKN.
ADVERTISEMENT
Merujuk pada “Buku Saku Pemindahan Ibu Kota Negara” (2021: 7) yang dipublikasikan oleh Kementerian PPN/Bappenas, ada beberapa alasan pemindahan ibu kota Indonesia ke Kalimantan Timur. Pertama, jumlah penduduk dan tingkat urbanisasi yang tinggi di Pulau Jawa. Hal ini dapat dilihat dari Data BPS tahun 2020 bahwa penduduk Pulau Jawa mencapai 151,59 juta jiwa atau setara 56,10 persen dari total populasi Indonesia. Kondisi ini menyebabkan beban Pulau Jawa, khususnya Kota Jakarta yang menjadi tujuan penghidupan mengalami kelebihan kapasitas (overcapacity). Selain itu, tingginya jumlah penduduk ini pun menyebabkan sulitnya pemenuhan kebutuhan dasar (sandang, pangan, dan papan) karena akses dan sumber daya yang terbatas.
Kedua, mewujudkan inklusivitas pembangunan. Apabila merujuk pada data perolehan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional tahun 2021, Pulau Jawa mendominasi sebesar 57,89% dari total PDB Nasional. Kondisi ini menyebabkan adanya ketimpangan antara provinsi-provinsi di Pulau Jawa dengan luar Jawa. Dalam hal ini, terjadi ketimpangan dari segi pembangunan dan ekonomi antara Kawasan Timur Indonesia (KTI) dengan Kawasan Barat Indonesia (KBI). Oleh karena itu, kehadiran IKN diharapkan dapat memicu masuknya investasi di kawasan Timur sehingga dapat mengoptimalkan potensi ekonomi daerah-daerah sekitar IKN sehingga terwujudnya pemerataan pembangunan.
ADVERTISEMENT
Ketiga, ancaman sosial-lingkungan di Pulau Jawa. Dalam berbagai kajian yang dilakukan oleh PUPR maupun BMKG, ada ancaman lingkungan yang besar di Pulau Jawa, termasuk Kota Jakarta. Diantaranya, bencana alam (banjir, longsor, pergeseran tanah, penurunan tanah, dan gempa bumi), krisis air, dan ancaman dari praktek konversi lahan. Kondisi ini memberikan ancaman serius terhadap keberlangsungan kehidupan masyarakat, termasuk pada daya dukung pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs). Contohnya, ketersediaan air bersih yang terus menurun.
Berdasarkan pada poin-poin tersebut, maka membangun IKN sama dengan membangun kota publik. Melalui pembangunan kota publik ini, diharapkan dapat mengendalikan laju urbanisasi di Pulau Jawa, termasuk Kota Jakarta. Oleh karena itu, dalam pembangunannya, IKN mengusung beberapa konsep yang sejalan dengan prinsip berkelanjutan yang dikenal dengan istilah kota hutan (forest city), kota spons (sponge city), dan kota cerdas (smart city).
ADVERTISEMENT
Pembangunan IKN Tidak Sesuai?
Baru-baru ini, Menteri PPN/Bappenas 2014-2015 sekaligus konseptor awal IKN, Andrinof Chaniago mengkritik pembangunan IKN Nusantara. Menurutnya, pembangunan IKN cenderung terburu-buru untuk mencapai target tertentu. Akibatnya, ada target dan beban kerja yang berlebihan. Terutama, tekanan untuk mendatangkan investor. Padahal, Andrinof menilai bahwa pembangunan IKN sejak awal dirancang sebagai kota publik, bukan kota bisnis. Oleh karena itu, selain sebagai pusat pemerintahan, IKN pun berfungsi untuk menunjang mobilitas masyarakat yang dihuni oleh sekitar 1,5 juta penduduk saja.
Dalam menjawab hal ini, kita perlu kembali pada tujuan awal yang dipetakan oleh Kementerian PPN/Bappenas yang menjadi latar belakang pembangunan IKN. Menurut Bappenas, IKN dibangun untuk pemerataan ekonomi di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Hal ini direalisasikan melalui transformasi ekonomi yang didesain dalam superhub ekonomi nusantara. Artinya, IKN diharapkan dapat memantik masuknya investasi di wilayah-wilayah sekitar atau daerah penyangga IKN, seperti Kota Balikpapan, Kota Samarinda, Kabupaten Penajam Paser Utara, dan Kabupaten Kutai Kartanegara. Daerah-daerah penyangga IKN inilah yang seharusnya menjadi lokasi investor dan pusat bisnis, bukan pada kawasan inti IKN.
ADVERTISEMENT
Sejak awal, masuknya investor ke daerah penyangga IKN ini diharapkan dapat mengoptimalkan tata kelola sumber daya dan potensi di daerah penyangga. Hal ini sejalan dengan klasterisasi ekonomi atau pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di sekitar IKN. Melalui skema ini, maka pemerintah menargetkan agar IKN dapat mendongkrak PDB Indonesia mencapai 28,5% pada tahun 2045. Harapan lainnya, IKN mampu mengeluarkan Indonesia dari middle income trap.
Sayangnya, dalam pembangunan IKN saat ini, pemerintah seolah menjadikan IKN sebagai “daya tarik utama” bagi investor. Bahkan, beberapa insentif yang diberikan kepada investor merujuk pada Undang-Undang Nomor 21 tahun 2023 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 3 Tahun 2022 Tentang Ibu Kota Negara, berusaha menempatkan kelompok bisnis dan pengusaha berada pada kawasan inti IKN. Hal ini berpotensi menyebabkan terjadinya pergeseran fungsi IKN dari kota publik menjadi kota bisnis. Selain itu, beberapa pernyataan yang disampaikan oleh Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia terkait masuknya investor asing ke IKN pun “blunder” karena tidak sesuai dengan konsep awal pembangunan IKN. Dalam konsep awal pembangunan IKN, tempat investor bukan di ring 1 IKN atau di kawasan inti, tetapi di wilayah penyangga IKN untuk turut memajukan potensi ekonomi lokal.
ADVERTISEMENT
Berpotensi Mengulang Kegagalan Kota Jakarta?
Perbedaan cara pandang dan kepentingan dalam pembangunan IKN berpotensi mendatangkan beberapa permasalahan. Diantaranya, pembangunan IKN yang berpotensi mundur dari timeline yang ditetapkan, gagalnya integrasi antara daerah penyangga dengan OIKN, gagalnya pemerataan pembangunan, dan potensi konflik internal dalam tata kelola pemerintahan karena perbedaan pandangan. Pembangunan IKN sebagai kota bisnis pun akan mengulang kegagalan Kota Jakarta sebagai ibu kota Indonesia.
Hal ini karena jika investasi hanya dipusatkan pada kawasan inti IKN, maka pusat urbanisasi pun akan ikut tersentralisasi di kawasan tersebut. John R. Harris dan Michael P. Todaro (1970: 128) mengembangkan “Two Sector Analysis” yang merupakan model ekonomi pembangunan bahwa migrasi dari pedesaan ke perkotaan dipengaruhi oleh perbedaan dalam pendapatan yang diharapkan sehingga kondisi ini relevan dengan push and pull theory yang menekankan bahwa migrasi dipengaruhi oleh “push” atau dorongan dari daerah asal, yakni kemiskinan, ketersediaan pekerjaan, dan kualitas hidup yang buruk. Selain itu, migrasi pun dipengaruhi oleh “pull” atau tarikan, yakni kondisi yang memikat di daerah atau wilayah tujuan, seperti ketersediaan pekerjaan, layanan publik, dan hal-hal lainnya yang dapat meningkatkan kualitas hidup.
ADVERTISEMENT
Model ekonomi dari Harris dan Todaro tersebut menggambarkan kondisi Pulau Jawa hari ini yang mengalami urbanisasi tertinggi di Indonesia. Fenomena ini pun turut menyebabkan terjadinya penumpukan penduduk di Kota Jakarta sehingga mempengaruhi kualitas hidup masyarakat. Bahkan, masyarakat di Pulau Jawa, termasuk Jakarta pun kesulitan dalam mengakses kebutuhan dasar karena terjadinya kelangkaan dan daya beli masyarakat yang rendah.
Berdasarkan poin tersebut, saya berpikir ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian serius pemerintah saat ini maupun pemerintah yang akan datang dalam mewujudkan pembangunan IKN. Pertama, diperlukan evaluasi menyeluruh terhadap progress pelaksanaan pembangunan. Hal ini perlu dilakukan untuk melihat kesesuaian antara perencanaan dalam masterplan dengan eksekusi pembangunan. Artinya, perlu mengembalikan orientasi pembangunan IKN sebagai kota publik, bukan kota bisnis.
ADVERTISEMENT
Kedua, pengisian berbagai posisi strategis harus bebas dari hubungan politis. Pada konteks ini, jabatan-jabatan strategis, misalnya Kepala dan Wakil Kepala OIKN harus bebas dari kepentingan politik, yakni diperlukan sosok yang memiliki latar belakang sebagai teknokrat agar proses pembangunan in line dengan kebutuhan IKN sebagai kota publik dan pemerintahan.
Ketiga, diperlukan penataan investor ulang untuk diarahkan kepada daerah-daerah penyangga IKN untuk menekan laju urbanisasi di masa depan.
Keempat, sinergi antara pusat, OIKN, dan daerah harus ditingkatkan karena perwujudan IKN melibatkan beberapa stakeholders vital. Selain itu, dari segi RTRW daerah pun harus disesuaikan dengan RTRW KSN IKN maupun RDTR IKN sesuai amanat dalam UU IKN.
Langkah strategis tersebut diperlukan untuk tetap menjaga kepentingan nasional dalam pembangunan IKN, bukan semata kepentingan pengusaha maupun bisnis. Konsep awal IKN sebagai kota publik dimaknai bahwa IKN bukanlah kawasan terpisah dengan daerah-daerah penyangga di Kalimantan Timur. Oleh karena itu, IKN dan daerah penyangganya akan saling dipengaruhi dan mempengaruhi (push and pull factors). Mengembalikan IKN pada konsep dasarnya pun merupakan upaya untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap super megaproyek IKN, pasca munculnya beberapa isu miring ke publik dalam beberapa waktu terakhir.
ADVERTISEMENT