Pak Kasdi Tak Mengenal Senjakala

Nurul Uyuy
pemerhati dan penikmat kopi hitam
Konten dari Pengguna
10 Januari 2017 20:41 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nurul Uyuy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pak Kasdi (70) sedang mangkal di depan RSIA Brawijaya, Jakarta, Selasa (2/5) pagi/Nurulloh
ADVERTISEMENT
Begadang membuat badan saya terasa kurang energi selepas menemani istri menjalani proses persalinan di RSIA Brawijaya, Jakarta, Senin (2/5) tengah malam. Udara dingin dan kering di dalam ruangan menyelimuti sekujur tubuh semalaman suntuk. Mata pun sulit terpejam. Rasa lelah memang terbayar lunas setelah mengetahui sang buah hati terlahir ke dunia dibantu beberapa dokter di dalam ruang operasi.
Keesokan harinya, Selasa (3/5) pagi, kebiasaan menyeruput secangkit kopi hitam atau kopi susu ala vietnamese dripper yang beberapa bulan belakangan jadi ritual wajib di rumah sebelum berangkat ke kantor menggelora. Agak lebay, ya?! hehe... Di lobi rumah sakit terdapat dua coffee shop yang cukup dikenal, meski harga secangkir kopinya sedikit mahal tapi karena hasrat ngopi sudah memuncak, bergegas saya turun dari lantai dua sembari sedikit merayu istri untuk izin membeli kopi.
ADVERTISEMENT
Sial bukan kepalang, coffee shop yang rasa kopinya juga biasa saja itu belum buka. Semakin uring-uringan lah hati ini. Serentak kedua kaki mengajak saya untuk ke warung kopi yang ada di sebuah jalan di samping rumah sakit. Sebenarnya sedikit enggan minum kopi kemasan. Selain dipenuhi rasa dan aroma jagung, kadar gulanya pun terlampau manis. Tapi, tak apalah demi air hitam panas dengan aroma yang bisa menghilangkan rasa pusing saya lanjutkan untuk keluar rumah sakit.
Baru beberapa langkah dari lobi, tepatnya di pinggir jalan Taman Brawijaya, Jakarta Tuhan mempertemukan saya dengan seorang kakek dengan gerobak mungil di samping tempat ia berdiri sambil menjajakan barang dagangan yang ada di atas gerobak tersebut. Melihat wajahnya seperti tidak ada semburat energi yang terpancar. Benar-benar tua dan kusam. Topi ala koboi yang dikenakan pun sudah rapuh dengan anyaman yang sudah kusut dan terburai.
ADVERTISEMENT
Di atas gerobak mungilnya itu terdapat tiga sisir pisang segar seakan baru dipetik dari pohon. Tingkat kematangannya pun pas! Tidak mentah juga tidak terlalu matang. Montok! Siapa pun yang melihat pasti ingin mengupas dan mengunyah daging buah pisang tersebut, tak terkecuali saya.
"Pak berapa harga sesisirnya?" tanya saya sambil mengangkat sesisir pisang ambon.
"Lima puluh ribu, dek," Jawabnya.
Mahal sekali, pikir saya. Sesisir pisang ambon seperti ini bisa saya dapatkan lebih murah di Pasar Pisang di kawasan Palmerah Barat, Jakarta, beberapa puluh meter dari kantor. Hasrat ngopi yang memuncak, tiba-tiba saja berubah menjadi ingin memakan buah pisang. Saya pun memutuskan untuk membeli, tanpa menawar pastinya. Bukan karena banyak uang, tapi dengan cara seperti ini obrolan singkat kami dimulai.
ADVERTISEMENT
Setelah membeli pisang tersebut, saya tidak lekas masuk rumah sakit. Saya mulai membuka obrolan dengan kakek yang mengaku bernama Pak Kasdi ini. Saat saya tanya usia, spontan ia menghitung dengan jemarinya.
"Usianya berapa, Pak?" Tanya saya.
"Tujuh puluh tahun, Dek," jawab Pak Kasdi setelah mengira-ngira usianya dengan menghitung menggunakan jari.
"Wah! Masih kuat jualan ya, Pak," sedikit kagum dengan kegigihannya di usia senja.
Pak Kasdi (70) yang tinggal di daerah Cipete, Jakarta Selatan ini mengaku mulai keliling menjajakan buah dan sayuran menggunakan gerobak mungil sejak pukul 06.00 pagi dan pulang ke rumah pukul 11.00 siang dengan rute berjualan di sekitaran Cipete dan Jalan Brawijaya, Jakarta.
ADVERTISEMENT
"Keluar rumah jam enam pagi, jam sebelas udah pulang," tukasnya.
Tiap hari, tambahnya, selalu mangkal di depan rumah sakit.
Di Jakarta, ia tinggal bersama anak dan saudaranya. Meski hanya menjajakan sayur dan buah dengan porsi yang sedikit, Pak Kasdi mengaku bisa mendapatkan untung sebesar Rp 200.000 dengan modal Rp 300.000 per harinya. Buah dan sayur yang dijualnya tidak banyak dan tidak variatif juga.
Di tengah obrolan, Pak Kasdi mengaku sering sakit kepala dan ingin berobat selepas berjualan. Spontan, saya beri saran untuk segera pulang dan pergi ke dokter. Ia hanya tersenyum dan menganggukan kepala dan harus terus berjualan demi memberi nafkah keluarga dan mengisi waktu senja usia.
ADVERTISEMENT
Kakek asal Pekalongan, Jawa Tengah ini masih memiliki istri di kampung halaman yang tinggal bersama beberapa anak-cucu. Ia pun selalu menyempatkan diri untuk pulang ke kampung sekedar menyapa mereka.
Sesekali, di sela-sela obrolan, Pak Kasdi menata kembali barang dagangannya agar terus dilirik pembeli. Terik matahari bukan rintangan justru dijadikan semangat. Pendengarannya yang mulai terganggu, kadang membuat saya kesulitan berbicara dengannya, apalagi suara bising kendaraan dengan suara knalpot yang memekikan telinga.
Warna kornea matanya yang sudah memudar tetap bisa memberikan tatapan yang diisi dengan motivasi dan semangat hidup yang kuat. Tidak terasa hampir 30 menit kami berbincang. Meski kadang hanya jawaban singkat yang saya dapat, obrolan kami sungguh bernilai.
ADVERTISEMENT
Pak Kasdi telah merangsang urat malu siapa pun yang pernah bertemu dan ngobrol dengannya. Meski tidak pernah ada seuntai kata nasihat yang keluar dari bibirnya, Pak Kasdi telah mengajarkan kepada banyak orang bagaimana mencari rejeki halal dengan selalu melempar senyum kepada siapa pun yang ditemuinya.
Di usia senja yang biasa dilakoni oleh orang seusianya di atas ranjang atau bermain dengan cucu di teras rumah, hampir jarang dilakoni Pak Kasdi. Ia tak mengenal senjakala dan terus bekerja sambil beribadah dengan menebarkan inspirasi meski hanya sebatas Cipete dan sekitarnya.