Meski Thrifting Dilarang, Toh Masalah Masih Berdatangan

Nuryum Saidah
Pengajar dan Ibu rumah tangga berdomisili di Gresik
Konten dari Pengguna
21 Maret 2023 22:25 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nuryum Saidah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Calon pembeli memilih pakaian impor bekas di Pasar Senen, Jakarta, Jumat (8/7/2022). Foto: Muhammad Adimaja/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Calon pembeli memilih pakaian impor bekas di Pasar Senen, Jakarta, Jumat (8/7/2022). Foto: Muhammad Adimaja/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sebagai orang bertipe visual, kalau ada tulisan yang menyolok atau baliho menarik yang ada di pinggir jalan, saya mesti langsung terpikat untuk membaca dan mengamatinya. Termasuk, ketika ada tulisan besar berjudul Thrift Shop di depan sebuah toko yang lumayan ramai pengunjungnya. Sepertinya itu toko lama yang berganti nama. Seingat saya, nama sebelumnya adalah Secondhand.
ADVERTISEMENT
Tulisan Thrift Shop, lha kok saya jumpai lagi beberapa kilometer dari toko sebelumnya. "Itu toko jualan baju model apa, ya?" tanya saya dalam hati.
Hingga kemudian, saya menemukan jawabannya di sebuah acara gosip di salah satu stasiun TV. Sang presenter menyebutkan "thrifting, bergaya dengan harga miring" Di acara gosip tersebut, sang presenter mewawancarai dua artis muda yang sedang berburu outfit menarik di sebuah thrift shop.
Ternyata, beberapa tahun terakhir ini thrifting menjadi tren tersendiri. Terutama di kalangan anak muda. Bagi mereka, biar bisa tampil fashionable, berbagai cara akan ditempuh. Apalagi ada kesempatan bergaya menggunakan brand ternama dengan harga yang murah. Bisa-bisa mirip dengan artis Amerika atau Korea. Semua kepincut untuk mencoba.
ADVERTISEMENT
***
Sebenarnya, bisnis ini hadir sudah sejak lama. Dengan istilah baru, bisnis ini menjadi lebih hits dari sebelumnya. Salah satunya karena tuntutan bergaya yang semakin mewabah.
Bisnis thifting ini juga memiliki pangsa pasar yang jelas. Para remaja, dari anak sekolah menengah hingga mahasiswa. Dari yang muda hingga yang tua. Laki-laki dan wanita. Semua yang ingin tampil beda tertarik dalam tren thrifting yang semakin gempita.
Sayangnya, pemerintah mulai menilai bahwa thrifting ini menjadi sesuatu yang membahayakan bagi industri dalam negeri. Khususnya Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang bergerak di bidang tekstil dan fashion.
Sehingga kemudian pelarangan thrifting pun kembali disampaikan secara lugas oleh Presiden beberapa hari lalu.
Pelarangan thrifting ini masih akan menimbulkan masalah-masalah yang akan dihadapi. Masalah yang muncul di antaranya adalah terancamnya usaha para pedagang kecil. Larangan thrifting sebenarnya sudah dijabarkan di Peraturan Menteri Perdagangan pada tahun lalu. Nyatanya bisnis thrifting ini bukannya redup. Malah semakin bergeliat di mana-mana.
ADVERTISEMENT
Ketika saya mencari thrift shop yang ada di kota saya melalui map, maka bermunculan puluhan toko jenis ini di beberapa tempat. Tentu itu jumlah yang besar untuk ukuran sebuah kota kecil. Apalagi untuk kota-kota besar, jumlah pedagang baju bekas tentu jauh lebih banyak.
Ditambah lagi, banyak juga online thrift shop yang berjubelan di berbagai marketplace. Bisnis ini benar-benar mengambil hati para pedagang untuk melakoninya.
Bisnis thrifting ini menjadi pilihan usaha yang menjanjikan. Hanya dengan modal sekitar satu jutaan saja bisa mendapat ratusan baju bekas yang siap dijual kembali. Tidak butuh modal besar untuk memulainya. Dari sini bisa mendapat keuntungan yang besar. Tentu menggiurkan bagi masyarakat yang tidak memiliki modal besar untuk memulai usaha.
ADVERTISEMENT
Dengan melarang thrifting, banyak pedagang yang mengeluhkan penurunan omzet penjualan baju bekas. Jika kondisi ini terus berlanjut, kemungkinan banyak pedagang baju bekas yang akan gulung tikar. Akibatnya bisa berlanjut ke daya beli masyarakat yang akan menurun.
Masalah selanjutnya yang bisa muncul juga adalah berkurangnya retribusi daerah. Untuk membuka usaha tentu, pengusaha harus meminta izin dari pemerintah daerah. Pemerintah daerah pun akan mengenakan retribusi untuk usaha tersebut.
Dengan tumbuh suburnya thrifting, jumlah pertokoan yang menjual baju atau barang bekas bertambah banyak. Salah satu sumber retribusi adalah dari thrift shop yang ada di daerah tersebut. Namun, sejak pemerintah mengeluarkan kebijakan larangan thrifting, maka thrift shop akan banyak yang mulai menutup usahanya. Tentu saja, sumber retribusi pun akan berkurang dari sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Pun, akan muncul permasalahan yang dihadapi pemerintah yaitu semakin banyak jalur tikus yang perlu diwaspadai. Jalur masuk barang bekas ke Indonesia begitu banyak. Dengan pelarangan thrifting ini, pemasok barang bekas tentu tidak akan menyerah begitu saja.
Banyak titik di wilayah yang berdekatan dengan luar negeri yang digunakan sebagai pintu masuknya barang bekas dari luar negeri. Berbagai cara ditempuh untuk bisa memasukkan barang bekas dari luar negeri ke Indonesia. Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga, malah menjadi negara yang memiliki peran membawa barang bekas ke dalam negeri. Pekerjaan berat bagi pemerintah untuk mendeteksi, mengawasi dan menutup titik-titik masuknya barang bekas dari luar negeri.
Masalah berikutnya yang akan dihadapi adalah akan semakin berkurangnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Sejak thrifting semakin mewabah, pemerintah mensinyalir daya saing produk UMKM semakin melemah dan berakibat mematikan Industri tekstil dalam negri.
ADVERTISEMENT
Masyarakat lebih memilih membelanjakan uangnya untuk membeli produk luar negeri yang lebih berkualitas, trendi dan juga terlihat lebih bergengsi meski bukan barang baru alias barang bekas pakai. Maka, dengan ditetapkan kebijakan larangan thrifting oleh pemerintah, produk UMKM dan industri tekstil dalam negeri diharapkan dapat pulih dan bangkit kembali.
Pemerintah harus menunjukkan support nyatanya kepada produk UMKM. Program-program yang efektif dan tepat sasaran akan ditunggu para pelaku UMKM. Mengeluarkan larangan tanpa memberi solusi atau langkah konkret selanjutnya hanya akan membawa kekecewaan dari masyarakat. Kekecewaan masyarakat yang semakin menumpuk tentu akan berakibat buruk bagi pemerintah. Masyarakat akan memilih jalannya sendiri untuk bisa tetap survive tanpa perlu mengikuti aturan pemerintah.
Drama thrifting ini mungkin belum usai dengan pelarangan semata atau dengan pembakaran berton-ton baju bekas saja. Diperlukan langkah-langkah komprehensif dari pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan yang terkait isi piring rakyatnya.
ADVERTISEMENT