Konten dari Pengguna

Tren Menunda Menikah: Positif dan Negatif di Baliknya

Nuryum Saidah
Pengajar dan Ibu rumah tangga berdomisili di Gresik
13 Maret 2024 8:00 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nuryum Saidah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi menikah. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi menikah. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Sebut saja Pak Zain. Beliau adalah tetangga sekaligus guru matematika saya semasa duduk di bangku sekolah dasar. Saat itu beliau baru saja lulus dari perguruan tinggi dan langsung menjadi seorang guru. Dengan status beliau yang masih lajang, membuat beliau menjadi idola banyak guru dan siswa perempuan. Namun, seiring waktu, bahkan setelah saya lulus dari perguruan tinggi, saya belum mendengar kabar beliau telah menikah.
ADVERTISEMENT
Yang membuat saya miris adalah ketika mendengar kabar bahwa beliau dikeluarkan dari sekolah karena berbuat asusila pada beberapa siswi di sekolah tersebut. Bahkan hingga kini, beliau masih melajang.
Di tempat tinggal saya, sosok seperti pak Zain cukup banyak. 1 dari 10 laki-laki memilih untuk menunda menikah bahkan akhirnya kemudian melajang hingga tua.
Saat saya mencoba mencari tahu tentang hal ini kepada para sesepuh di tempat tinggal saya, jawaban yang saya dapatkan adalah para lelaki itu merasa baru 'berani' meminang perempuan ketika mereka sudah mempunyai rumah sendiri. Suatu persyaratan yang memberatkan mereka sendiri begitu pikir saya saat itu. Entah karena gengsi atau memang ingin memberikan jaminan kenyamanan kepada calon istrinya.
Seiring waktu, fenomena menunda menikah di tempat tinggal saya semakin menurun. Banyak laki-laki yang sudah tidak lagi mensyaratkan kepada dirinya harus memiliki rumah sebelum menikah. Asal mereka merasa sudah siap secara psikologis, dan memiliki pekerjaan maka mereka segera memutuskan menikah dengan perempuan pilihannya.
ADVERTISEMENT
Kini, tren menunda menikah mulai berkembang lagi. Berdasarkan data terbaru dari Badan Pusat Statistik, kecenderungan menunda menikah semakin meningkat dalam 10 tahun terakhir. Pada tahun 2023, angka pemuda yang menikah pada usia 25 hingga 30 tahun hanya sebesar 20,61%.
Kondisi ini tentunya karena berbagai faktor yang menjadi penyebab. Bukan semata faktor ekonomi seperti yang terjadi di tempat tinggal saya kala itu. Fokus pada karier dalam pekerjaan atau masih menempuh pendidikan yang lebih tinggi, ada juga yang lebih menikmati menjalani hubungan tanpa pernikahan, ketakutan memiliki anak dan berbagai hal lainnya menjadi daftar dari berbagai alasan untuk menunda menikah atau bahkan memilih tidak menikah.
Bila dicermati lebih lanjut, kecenderungan anak muda untuk menunda menikah bisa memberikan dampak positif bagi masa depan mereka.
ADVERTISEMENT
Ketika seseorang memutuskan untuk menikah maka tentu dia harus siap untuk beradaptasi dengan kehidupan berumah tangga yang jauh berbeda dengan kehidupan semasa lajang. Dengan menunda menikah, para pemuda bisa mempersiapkan diri untuk lebih matang menjalani kehidupan barunya. Kesiapan mental ini akan sangat mempengaruhi kehidupan berumah tangga selain kesiapan finansial.
Banyak kasus perceraian terjadi akibat ketidaksiapan mental suami istri menjalani kehidupan berumah tangga. Kasus perceraian tentu akan banyak memberikan banyak implikasi negatif. Trauma pernikahan salah satunya.
Tentunya, selain ada hal positif dibalik menunda menikah, kita juga perlu mengantisipasi berbagai hal yang akan terjadi dari tren menunda menikah yang kini terjadi di berbagai wilayah di negara kita.
Bila kita cermati, tren menunda menikah ini akan mengancam kehidupan keluarga dan sosial. Menurut para sosiolog, dengan semakin banyak orang yang menunda atau bahkan tidak menikah maka fungsi dan peran keluarga dalam kehidupan sosial akan terganggu. Hal ini mengakibatkan kontrol keluarga di masyarakat akan berkurang dan perbuatan kurang baik semakin berkembang.
ADVERTISEMENT
Pun, dari sisi kesehatan, banyak hal positif yang bisa diperoleh bila tidak menunda menikah. Kemampuan reproduksi salah satunya. Dengan menikah di usia yang ideal maka kemampuan reproduksi akan lebih prima. Menurut BKKBN, usia sebelum 30 tahun merupakan usia yang tepat bagi perempuan untuk hamil.
Selain itu, menikah di usia ideal menghindarkan dari seks bebas. Berbicara tentang seks bebas di negara-negara Barat adalah hal yang lumrah. Bahkan kini di negara kita, perspektif tentang seks bebas juga mulai bergeser. Dari hal yang tabu menjadi hal yang mulai dianggap biasa. Menurut BKKBN, seks bebas di Indonesia kini menjadi masalah yang membahayakan.
Sedangkan bila ditilik secara agama, ada anjuran untuk menyegerakan menikah pada para pemuda. Hal ini karena secara fitrah, menikah adalah kebutuhan setiap manusia. Anjuran agama lagi adalah bagi pemuda yang belum siap menikah, maka hendaknya dia memperbanyak puasa. Anjuran ini bertujuan untuk meredam syahwat yang bergejolak dalam diri para pemuda.
ADVERTISEMENT
Tren menunda menikah yang terjadi di negara kita tidak bisa dianggap biasa saja. Meski setiap kita bisa jadi memiliki pilihan yang tak sama: memilih melajang atau membina hubungan tanpa pernikahan atau membangun keluarga dalam sebuah lembaga pernikahan. Namun yang perlu dipahami bahwa pilihan untuk mengikuti sesuatu yang sesuai dengan fitrah kita itulah yang akan mengantarkan kita untuk mendapatkan keselamatan dalam menjalani hidup di dunia.