Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Dilema Humanis dan Kedaulatan Negara dalam Ratifikasi Konvensi Pengungsi 1951
27 November 2024 15:47 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Nysia Theressa Louhenapessy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa dekade terakhir, krisis pengungsi telah menjadi salah satu tantangan terbesar yang dihadapi komunitas internasional. Konflik bersenjata, penindasan politik, dan bencana alam memaksa jutaan orang meninggalkan tanah air mereka demi mencari perlindungan di negeri asing. Di tengah krisis ini, Konvensi Pengungsi 1951 hadir sebagai payung hukum internasional yang menjamin perlindungan bagi mereka yang terusir dari rumah mereka. Namun hingga pada saat ini, Indonesia belum meratifikasi konvensi pengungsi tersebut.
ADVERTISEMENT
Langkah ini menimbulkan berbagai perdebatan, terutama karena posisi Indonesia sebagai negara yang kaya akan nilai kemanusiaan, tetapi di sisi lain, harus menjaga kedaulatan dan stabilitas nasional. Di tengah tekanan internasional untuk memberikan perlindungan pengungsi, Indonesia dihadapkan pada pilihan sulit: meratifikasi konvensi dan memperkuat peran humanisnya, atau mempertahankan kebijakan non-ratifikasi demi menghindari risiko terhadap kedaulatannya.
Dilema utama
Dilema yang muncul dari ketegangan antara dua prioritas yang tampaknya bertolak belakang:
Kedua pilihan ini bukan hanya soal komitmen internasonal, namun juga menyangkut implikasi domestik, seperti beban ekonomi hingga reaksi publik.
ADVERTISEMENT
Sejarah Singkat Konvensi Pengungsi 1951
Konvensi 1951 lahir sebagai respons terhadap krisis pengungsi yang terjadi setelah Perang Dunia II. Seperti yang kita ketahui, jutaan orang terpaksa meninggalkan negara asal mereka karena konflik, penindasan, dan hancurnya infrastruktur. Atas dasar inilah, masyarakat internasional menyadari bahwa harus ada peraturan khusus untuk melindungi para pengungsi. Hingga pada 28 Juli 1951, Konvensi tentang Status Pengungsi disahkan dalam Konferensi Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jenewa, Swiss.
Awalnya, Konvensi Pengungsi 1951 ini hanya berlaku bagi pengungsi yang terpaksa mengungsi akibat peristiwa yang terjadi sebelum 1 Januari 1951 dan terbatas hanya pada wilayah Eropa. Hal ini disebabkan oleh fokus utama penerapan pada saat itu adalah untuk menangani dampak pasca-Perang Dunia II di Eropa.
ADVERTISEMENT
Namun seiring berjalannya waktu, kesadaran bahwa perlindungan pengungsi harus melampaui batas waktu dan wilayah tertentu, maka dari itu, pada 1967 dibuat Protokol New York yang mencabut batasan geografis dan temporal tersebut, menjadikan Konvensi Pengungsi 1951 berlaku secara global.
Pada surat resmi mengenai Konvensi dan Protokol Mengenai Status Pengungsi yang dibuat oleh UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees) atau Komisariat Tinggi Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa Urusan Pengungsi menyatakan bahwa; Negara-negara yang menandatangani konvensi diwajibkan memberikan perlindungan dan membantu integrasi pengungsi.
Dalam surat tersebut juga ada daftar mengenai hak-hak yang diperoleh para pengungsi, antara lain; larangan untuk didiskriminasi, kebebasan beragama, akses ke pengadilan, hak atas pekerjaan berpenghasilan, perlindungan sosial, dukumen identitas dan perjalanan, larangan sanksi terhadap masuk atau tinggal secara ilegal (selama mereka segera melapor kepada otoritas dan memiliki alasan yang sah), perlindungan dari pengusiran, dan Non-Refoulement (larangan untuk mengembalikan pengungsi ke negara di mana hidup atau kebebasan mereka terancam karena ras, agama, kebangsaan, atau pandangan politik).
ADVERTISEMENT
Total, sudah ada 149 negara yang meratifikasi konvensi 1951 tentang Status Pengungsi dan/atau Protokol 1967, namun, hingga saat ini Indonesia belum menjadi negara penandatangan. Mengapa? Karena Indonesia lebih berfokus pada kerja sama regional dan penanganan pengungsi sesuai situasi lokal.
Kekhawatiran
Dilema utama Indonesia dalam meratifikasi konvensi ini adalah atas dasar kedaulatan negara. Konvensi tersebut diangap belum memenuhi parameter aman secara politis, keamanan, yudiris dan teknis. Belum lagi ratifikasi konvensi tersebut membutuhkan konsensus nasional. Konvensi ini dianggap menghasilkan kewajiban yang berat, seperti pada pasal 17 mengenai Hak untuk bekerja dan pada pasal 21 mengenai Hak untuk mempunyai rumah bagi para pengungsi. Beberapa kekhawatiran yang lainnya adalah; keterbatasan sumber daya dan infrastruktur, di mana Indonesia tentunya akan menghadapi tantangan dalam menyediakan fasilitas yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pengungsi (tempat tinggal, makanan, perawatan kesehatan, dan pendidikan).
ADVERTISEMENT
Hal lain yang menciptakan keraguan adalah pertimbangan sosial dan politik yang apabila Indonesia meratifikasi konvensi tersebut, ditakutkan sebagian masyarakat Indonesia akan memberikan reaksi negatif. Kekhawatiran jika jumlah pengungsi yang datang akan lebih dari kapasitas yang mampu ditampung atau jika pengungsi akan mendapatkan hak yang lebih daripada hak warga negara. Beberapa pihak berpendapat bahwa dengan banyaknya hak yang diberikan kepada pengungsi, hal tersebut justru akan menjadi awal dari persaingan antara pengungsi dan warga negara lokal.
Belum lagi masalah ekonomi yang akan melanda. Tentunya, meratifikasi konvensi 1951 ini akan berdampak negatif terhadap enokomi negara. Terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Indonesia, sebagai negara berkembang tentu saja memiliki keterbatasan dalam anggaran dan infrastruktur untuk penampung pengungsi dalam jumlah besar. Pengeluaran tambahan untuk kebutuhan pengungsi ini tentu akan menambah beban ekonomi negara.
ADVERTISEMENT
Dari sisi humanis sendiri, Indonesia mengalami dilema karena ketegangan antara prinsip kemanusiaan dan keterbatasan negara.
Ketergantungan pada bantuan internasional
Dalam menangani para pengungsi pun, Indonesia masih bergantung pada UNHCR untuk melindungi para pengungsi, mengingat posisi Indonesia yang bukan negara penandatangan. Indonesia belum memiliki kerangka hukum nasional yang mengatur perlindungan pengungsi secara langsung. Meskipun ingin menunjukan sikap humanis, namun keterbatasan Indonesia inilah yang menunjukan bahwa Indonesia masih belum bisa menangani pengungsi secara mandiri.
Ketidakpastian masa depan pengungsi
Mengingat Indonesia hanya negara transit, banyak juga pengungsi yang tidak memiliki kejelasan status di masa kedepan. Karena mereka hanya tinggal sementara sambil menunggu penempatan di negara tujuan. Dari sisi kemanusiaan, ini menciptakan sebuah jarak antara niat baik dan keterbatasan negara.
ADVERTISEMENT
Keterbatasan infrastruktur sosial
Fasilitas penampungan sering kali tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan dasar. Terkadang pengungsi yang datang melebihi jumlah dari kapasitas yang mampu ditampung oleh rumah detensi. Seperti contoh dari sekelompok pengungsi dari Afghanistan, Myanmar, Somalia, dan Sudan yang pernah tinggal di tenda daurat di trotoar dekat Rumah detensi Imigrasi Kalideres, Jakarta. Karena jumlah pengungsi yang sudah melebihi kapasitas, akhirnya beberapa dari mereka harus tidur beralaskan kardus dan kain tipis, serta bergantung pada masyarakat untuk menerima makanan dan pakaian.
Kesimpulan
Dilema antara kewajiban moral dan kedaulatan negara ini memang pilihan yang berat bagi Indonesia. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa terlepas dari keinginan Indonesia untuk membantu, Indonesia belum dalam kondisi yang mampu untuk menangani pengungsi secara mandiri. Dilihat dari beragam prespektif yang ada, Indonesia belum terbukti bisa memberikan perlindungan yang layak dan bermartabat bagi para pengungsi. Melakukan ratifikasi konvensi 1951 memang dapat memberikan kerangka hukum untuk melindungi hak pengungsi. Namun komitmen yang dibutuhkan untuk mengambil langkah tersebut tidaklah sedikit, yaitu untuk menyeimbangkan kebutuhan pengungsi dan warga lokal.
ADVERTISEMENT