Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Tidak pernah aku merasa sesenang ini saat bertemu dengan seorang pebatik. Kerutan tanda usia di wajahnya semakin menebus perjalanan panjang yang telah kami tempuh. Ya, kami --aku dan rekanku dari kumparan, Ulfa Rahayu-- sedang “melancong” untuk melihat sejumlah industri batik Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sepanjang perjalanan dari tempat kami menginap di area Malioboro menuju Giriloyo, Imogiri, Yogyakarta, hatiku gundah. Pasalnya, perjalanan satu jam menggunakan ojek mobil online tersebut hanya berbekal petunjuk tak terlampau kuat.
Katanya, jika mencari sentra batik di Kota Batik Yogyakarta, datanglah ke Imogiri. Petunjuknya hanya satu: lokasinya dekat Makam Raja-Raja serta Makam Sunan Cirebon.
Syukurlah, keberuntungan berpihak pada kami saat itu. Ternyata, tidak sulit mencari Mufiah, pebatik tersepuh di Giriloyo.
Saat kami datang, ia tengah duduk --di atas dingklik (bangku pendek kecil) yang terbuat dari kayu-- di samping rumahnya sambil membatik. Mufiah tampak sedikit lebih modern dibanding orang tua seumurannya di daerah itu. Busana yang ia kenakan mengombinasikan kaus hitam dengan jarik coklat.
ADVERTISEMENT
Selembar kain hijau dilipat segitiga dan dililitkan di kepalanya --entah berfungsi sebagai pengganti kerudung, aksesori penghias, atau alternatif bando untuk menjaga agar rambut berubannya tak menghalangi pandangan.
Di kanan Mufiah, wajan kecil berisi malam panas tampak di atas tumpukan kayu bakar, mengepulkan asap berbau khas. Ya, malam --lilin untuk membatik-- tentu tak bisa jauh-jauh dari Mufiah.
Sesekali, Mufiah mengambil kipas dan mengipasi bara dari kayu bakar ketika malam mulai mengeras.
“Kula asmanipun Mufiah,” ujarnya mengenalkan diri menggunakan Bahasa Jawa halus.
Seperti orang Jawa seusianya, Mufiah yang berusia 85 tahun hanya bisa berbicara Bahasa Jawa halus. Perbincangan kami pun sedikit tersendat karena kendala bahasa.
Aku --yang jadi merasa gagal sebagai orang Jawa-- hanya bisa berharap Mufiah tidak tersinggung karena aku terus menggunakan Bahasa Jawa ngoko, kasta terendah dalam Bahasa Jawa yang biasanya hanya boleh digunakan ke orang yang tingkatannya lebih rendah atau lebih muda.
Mufiah cukup terkenal. Ia beberapa kali diundang ke acara batik, dan pernah dikunjungi menteri karena senioritasnya. Bagaimana tidak, ia pebatik tertua di Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
“Saya mulai membatik sejak umur 10 tahun. Ibu saya yang mengajarkan membatik,” kata Mufiah.
Sejak itu, 75 tahun lamanya Mufiah berkecimpung di dunia batik. Tak heran tangannya begitu lincah menggoreskan motif Sri Kuncoro ke atas kain meski tanpa draf lebih dahulu. Ia hafal di luar kepala.
“Kalau belum jago ya memang harus pakai pensil atau pulpen dulu, lalu ditiru (dengan membatik di atasnya). Kalau saya ya gini aja langsung. Bikin dulu satu baris, lalu dilipat, nanti diikutin saja motifnya,” jelasnya sambil tertawa kecil ketika kulontarkan sebuah pujian.
Mufiah tidak punya hari libur tetap. Ia hanya benar-benar berhenti membatik ketika jatuh sakit. Jika sedang sehat, Mufiah akan membatik dari pagi hingga sore, dan baru berhenti istirahat saat waktu salat zuhur tiba.
ADVERTISEMENT
“Saat salat zuhur berhenti. Nanti kalau cuaca sudah tidak panas, lanjut lagi. Enggak ada berhentinya asal badan masih kuat aja,” kata Mufiah.
Setiap hari, selama 75 tahun, Mufiah terus membatik. Membuatku jadi penasaran, pernahkah terbesit rasa bosan di benaknya?
“Mau gimana lagi? Lagipula saya mau ngapain kalau enggak ngebatik? Adanya kerjaan juga cuma begini. Kalau enggak begini kan enggak dapet makan,” ujarnya.
Aku mendengar nada pilu tersirat dalam suaranya.
Mungkin, rasa jengah pernah singgah di benak Mufiah. Hanya, ia harus menepisnya jauh-jauh demi keempat anaknya. Apalagi semenjak suaminya tiada di usia begitu belia.
Lebih dari 50 tahun lalu, tidak ada firasat apapun yang dirasakan Mufiah saat suaminya berpamitan untuk pergi ke masjid, membantu pembangunan masjid tersebut. Hingga salah seorang warga datang ke rumahnya dengan panik, mengantarkan berita duka.
ADVERTISEMENT
Sang suami terjatuh saat memasang atap masjid.
“Padahal hanya dua meter saja tingginya. Enggak kelihatan ada luka. Katanya luka dalam, enggak bisa diobati,” ujar Mufiah dengan suara bergetar, seolah kembali lagi ke hari di mana ia harus kehilangan belahan jiwanya.
Anak-anaknya masih kecil, bahkan si bungsu baru berusia 7 bulan, saat ayah mereka pergi. Mufiah muda dipaksa oleh nasib untuk menjadi tulang punggung keluarga.
“Kalau saya enggak bekerja seperti ini (membatik), lalu bagaimana nasib anak-anak saya? Bagaimana kami bisa makan?”
Kini, anak-anak Mufiah telah tumbuh dewasa, namun Mufiah terlanjur tidak bisa lepas dari rutinitas membatik. Meski, tentu saja, ia tidak bisa membatik dengan beban kerja sebesar di masa mudanya.
“Sekarang saya cuma begini aja (membatik bagian outline), tapi enggak mepaki (membuat isian atau detail),” kata dia.
ADVERTISEMENT
Untuk satu lembar kain, Mufiah diberi upah Rp 70 ribu.
Kain lalu ia serahkan ke paguyuban yang dikelola salah satu menantunya, untuk diproses lagi sebelum menjadi satu kain batik utuh.
Bahan-bahan untuk membuat batik juga ia dapatkan dari paguyuban tersebut.
Setelah menyetorkan kain yang telah dibatik, Mufiah kembali mendapatkan kain kosong lengkap dengan malam baru yang siap digunakan.
“Biasanya satu lembar kain butuh 2 kilogram malam. Ini dikerjakannya bisa seminggu lamanya,” ujar Mufiah.
Tak terasa, kami telah menemaninya setengah hari. Hingga waktu salat zuhur tiba, menantunya datang dan mengingatkan Mufiah untuk istirahat.
“Berhenti dulu, Mbah. Ayo salat lalu makan. Istirahat,” panggil sang menantu.
Sambil tertatih-tatih, Mufiah lantas menyeret kaki tuanya menuju dalam rumah
ADVERTISEMENT
Kami pun tak mau mengganggunya lebih lama lagi, sehingga kami berpamitan.
“Hati-hati di jalan ya. Jangan lupa kalau butuh saya untuk membatik di Jakarta, panggil saja,” ucap Mufiah, menyalami kami satu per satu dengan erat dan hangat. Mengantarkan semangat kami menuju tujuan selanjutnya.
Baik-baik ya, Mbah. Orang-orang sepertimulah yang sepantasnya menerima ribuan ucapan terima kasih di Hari Batik Nasional ini.