Beda Ramadan, Berbeda Rasa

Octavianus Bima Archa Wibowo
Mahasiswa Program Studi Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran.
Konten dari Pengguna
28 April 2020 13:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Octavianus Bima Archa Wibowo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bale Pabukon terletak persis berseberangan dengan Universitas Padjadjaran, tepatnya di Jalan Raya Bandung-Sumedang Km. 21 Jatinangor. Setiap bulan Ramadan, biasanya ramai pedagang menawarkan takjil menjelang waktu berbuka puasa. (Foto: Miftahur Rizqi)
zoom-in-whitePerbesar
Bale Pabukon terletak persis berseberangan dengan Universitas Padjadjaran, tepatnya di Jalan Raya Bandung-Sumedang Km. 21 Jatinangor. Setiap bulan Ramadan, biasanya ramai pedagang menawarkan takjil menjelang waktu berbuka puasa. (Foto: Miftahur Rizqi)
ADVERTISEMENT
Riuh pemburu takjil Bale Pabukon mengisi senja Jatinangor jelang waktu buka puasa pada bulan Ramadan yang lalu. Gerombolan mahasiswa berpencar, berbaur dengan masyarakat setempat, dan berburu takjil dari setiap lapak penjaja. Takjil hasil berburu kemudian dibawa menuju salah satu indekos yang terdapat di daerah Ciseke, tak jauh dari lokasi perburuan.
ADVERTISEMENT
Salah seorang dari gerombolan mahasiswa, Hardi Nugraha, merupakan penyewa dari indekos tersebut. Berburu takjil bersama teman-teman kuliah menjadi pengalaman perdana baginya semasa menjadi mahasiswa tingkat pertama. Hardi mengatakan, pengalaman itu mengajarkannya untuk hidup hemat dan mandiri saat berada di perantauan.
“Setelah azan magrib dan mendapatkan makanan, kita gabung (makanannya), saling coba satu dengan yang lain. Sebenarnya ini alternatif untuk menghemat uang, jadi makanannya ada banyak, pengeluaran juga jadi sedikit,” ujar pria yang mengambil jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran.
Seminggu setelahnya, Hardi menjadi salah satu dari penjaja takjil Bale Pabukon. Keuntungan dari penjualan takjil menjadi dana awal kepanitiaan untuk mengadakan perlombaan lari fakultas. Hardi mengungkapkan, kepanitiaannya dapat meraup untung besar dari penjualan takjil kala itu.
ADVERTISEMENT
“Sebenarnya yang mengisi stand di sana (Bale Pabukon) untung gede banget. Satu hari mengisi stand, cuma dari jam empat sampai jam enam, bisa dapat untung 600 ribu, hanya jualan tempe mendoan sama minuman. Lumayan juga isi stand, makanya banyak juga mahasiswa yang isi stand, hanya bayar ke petugas, tidak terlalu mahal juga,” ujar Hardi.
Pengalaman berburu dan berjualan takjil hanya menjadi sebuah kerinduan bagi Hardi pada bulan Ramadan tahun ini. Pemerintah memberikan anjuran untuk tetap di rumah dan melakukan pembatasan fisik untuk memutus mata rantai penyebaran COVID-19. Selaras dengan pemerintah, Universitas Padjadjaran memutuskan untuk melakukan perkuliahan jarak jauh.
Hardi akhirnya kembali ke kampung halamannya, Cimahi. Awalnya, Hardi menyangka perkuliahan jarak jauh hanya berlangsung sebentar, hanya dua minggu. Hardi tak membawa banyak barang dari indekos. Teman-teman Hardi juga memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya masing-masing.
ADVERTISEMENT

Rencana yang Batal

Hardi sempat merencanakan untuk berjualan takjil kembali pada bulan Ramadan tahun ini. Rencana tersebut dilakukan untuk memenuhi tugas salah satu mata kuliah. Rencana tersebut batal menyusul keputusan Universitas Padjadjaran untuk memperpanjang masa perkuliahan jarak jauh hingga akhir semester akibat penyebaran wabah berbahaya COVID-19.
“Sebelum balik, sudah ada rencana jualan, ajak teman-teman juga berjualan (takjil) di Bale Pabukon lagi. Sudah ada konsep, kita masak bareng. Rencananya, berjualan keripik ubi, keripik talas, dan es krim bayam,” kata Hardi.
Hardi berencana untuk menjual produk olahan hasil tani sesuai dengan arahan mata kuliah Agribisnis. Berjualan takjil merupakan upaya Hardi untuk merealisasikan inovasi dalam produksi olahan hasil tani, tak semata-mata soal keuntungan. Pengambilan nilai mata kuliah tersebut akhirnya berubah, menyesuaikan dengan situasi wabah COVID-19.
ADVERTISEMENT
“Akhirnya yah, gak bisa menghasilkan sebuah produk. Apalagi dengan situasi seperti ini, sudah pasrah juga, sedih banget. Kecewa juga telah merancang konsep dan membagi tugas untuk produksi sebelum ada wabah ini,” kata Hardi.
Hardi tetap memiliki keinginan untuk berbisnis. Hanya saja, Hardi ingin melanjutkannya setelah masuk kuliah kembali. Hardi menilai bulan Ramadan sebagai momen yang tepat untuk mencoba peruntungan berjualan takjil dari olahan hasil tani. Hardi mengatakan, metode pemasarannya bisnisnya tentu akan berubah akibat perubahan waktu berjualan.
“Orang-orang sudah pasti mencari makan saat Ramadan, ibaratnya kita tidak perlu lagi mencari konsumen, akan datang dengan sendirinya. Sudah ada obrolan dengan teman-teman juga tapi karena dikacaukan oleh wabah, perlu dipikirkan kembali untuk berbisnis,” kata Hardi.
ADVERTISEMENT

Puasa di Rumah

Hardi merasakan perbedaan bulan Ramadan sebelumnya dengan yang terjadi pada tahun ini. Hardi awalnya membayangkan, tahun ini akan banyak sekali kegiatan buka puasa bersama dengan teman-teman organisasi dan kepanitiaan. Hardi kini menikmati kebersamaan dalam keluarga selagi masih ada waktu setelah merantau tiga semester.
“Enaknya di rumah, makanan sudah ada di meja, baik sahur dan berbuka puasa. Istilahnya, tinggal duduk manis aja. Tidak mengeluarkan uang juga, bisa menabung,” kata Hardi.
Hardi juga aktif menjadi remaja masjid, kala masih tinggal di Cimahi. Letak rumah Hardi dengan masjid hanya berjarak lebih kurang lima puluh meter. Hardi mengatakan, beberapa kegiatan selama bulan Ramadan mengalami perubahan. Tarawih, tadarus, dan kultum tak lagi dilakukan berjemaah di masjid.
ADVERTISEMENT
“Pengganti ibadah, yah dilakukan di rumah. Biasanya bersama keluarga pergi ke masjid. Sekarang hanya bisa di rumah saja, mulai dari tadarus hingga tarawih. Kalau kultum, paling mendengar dari radio atau internet menjelang buka puasa,” kata Hardi.
Kesempatan untuk tetap di rumah selama bulan Ramadan menjadi cara untuk melindungi keluarga masing-masing. Hardi mengatakan, banyak orang telah kehilangan anggota keluarganya akibat wabah berbahaya ini. Ramadan tahun ini menjadi kesempatan bagi Hardi untuk lebih menghargai waktu bersama keluarga.
“Banyak orang yang mengejar cita-cita dan impiannya sampai lupa dengan keluarga, memikirkan hal duniawi saja. Manfaatkan waktu kumpul bersama keluarga selama pandemi ini. Banyak orang yang sudah kehilangan keluarga akibat wabah ini dan sekarang mereka baru menyesal,” kata Hardi.
ADVERTISEMENT
Octavianus Bima Archa Wibowo
Mahasiswa Program Studi Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran.