Konten dari Pengguna

Teladan

Prof. Dr. Ok Saidin SH M. Hum H
Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
9 September 2021 14:52 WIB
·
waktu baca 12 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Prof. Dr. Ok Saidin SH M. Hum H tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sejumlah anggota Pramuka mengikuti kegiatan malam renungan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Taruna, Kota Tangerang, Banten, Selasa (17/8/2021). Foto: Fauzan/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah anggota Pramuka mengikuti kegiatan malam renungan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Taruna, Kota Tangerang, Banten, Selasa (17/8/2021). Foto: Fauzan/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Tanggal 21 Juni tahun 2001, usia Oka masih 39 tahun. Hari itu adalah pertemuan pertama dan terakhir Oka dengan Baharuddin Lopa, karena setelah itu 13 hari kemudian, tepatnya pada tanggal 3 Juli 2001 beliau mengembuskan napasnya yang terakhir di Rumah sakit Al-Hamadi, Riyadh, Arab Saudi.
ADVERTISEMENT
Pertemuan itu berlangsung sekaitan dengan acara Lokakarya Internasional Kejahatan Kemanusiaan yang diselenggarakan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang berlangsung selama dua hari. Pertemuan Oka dengan Baharuddin Lopa pada saat usia kepemimpinan beliau sebagai Jaksa Agung baru berjalan 15 hari. Beliau dilantik sebagai Jaksa Agung tanggal 6 Juni tahun 2001, menggantikan Marzuki Darusman. Oka menghadiri acara itu sebagai utusan dari Universitas Sumatera Utara yang juga menyampaikan pandangannya terkait pertanggungjawaban orang yang bekerja di bawah pengawasannya dari perspektif hukum adat. Nama-nama yang sempat direkam Oka dalam ingatannya yang hadir pada acara itu selain Baharuddin Lopa adalah Yap Thiam Hien, dan satu lagi Tandyo Wignjosoebroto. Ketiganya adalah tokoh yang pantas untuk diteladani. Yang pertama adalah penegak hukum yang memiliki integritas, satunya lagi sebagai advokat senior pembela HAM dan yang terakhir sebagai akademisi yang sampai akhir hayatnya mereka semua konsisten menekuni profesinya dan ditunaikan tanpa cacat celah.
ADVERTISEMENT
Ketiganya berlatar belakang pendidikan hukum, walaupun Prof Tandyo lebih banyak menghabiskan waktunya pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik karena pendekatan ilmu hukumnya yang cenderung pada kajian sosiologi hukum atau studi hukum empiris. Itu jugalah yang mengantarkan beliau menjadi salah seorang yang menduduki jabatan sebagai Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, di akhir karirnya sebagai akademisi. Baharuddin Lopa, ketika itu menjabat sebagai Jaksa Agung Republik Indonesia, pada Kabinet Gus Dur. Tekadnya untuk mengungkapkan pelanggaran HAM pada masa rezim sebelumnya ikut disuarakannya pada pertemuan itu. Dengan suaranya yang lantang dengan nada tinggi dengan type suara bariton ditambah lagi dengan dialek khas Makassar, peserta lokakarya terpukau pada saat ia menyampaikan paparannya sebagai Key Note Speech pada acara itu. Siapa yang tak kenal nama Baharuddin Lopa, seorang yang sangat religius, pribadi yang sederhana, jujur, bersahabat, dan memiliki integritas tinggi. Tak pernah ada cacat celah dalam ia menjalani kehidupannya baik sebagai anggota masyarakat, maupun sebagai aparatur negara dan sebagai pejabat negara. Gebrakannya untuk mengungkap kasus korupsi, termasuk mengungkap pelanggaran HAM membuat siapapun yang merasa terlibat akan ketar ketir dan membuat tidurnya menjadi tidak nyenyak. Itulah sebabnya Baharuddin Lopa menjadi inspirasi setiap orang, tapi bagi yang lain menganggap Baharuddin Lopa merupakan ancaman. Kini Allahyarham Baharuddin Lopa, telah tenang di Sisi Sang Khalik. Sebagian dari kita mengingatnya sebagai sosok yang perlu ditauladani.
ADVERTISEMENT
Lopa dilahirkan di Mandar, Sulawesi Selatan, tanggal 27 Agustus 1935 yang juga pernah menjadi Duta Besar Republik Indonesia untuk Arab Saudi. Kariernya sebagai Jaksa dan mengepalai beberapa Kantor Kejaksaan Tinggi di Sulteng, Aceh, Kalbar, dan Sulawesi Selatan ia jalani tanpa rasa takut. Yang ia takuti hanya satu, yaitu Sang Khalik. Satu hari setelah ia dilantik sebagai Jaksa Agung ia langsung memulai perburuannya terhadap para koruptor--Syamsul Nursalim yang sedang dirawat di Jepang dan Prajogo Pangestu yang juga sedang dirawat di Singapura menjadi sasaran pedang keadilannya. Ia meminta keduanya segera pulang ke Indonesia. Lopa juga mengeluarkan Surat Pencekalan atas nama Marimutu Sinivasan. Namun ketiga konglomerat hitam itu, mendapat penangguhan proses pemeriksaan. Penangguhan itu langsung atas permintaan Presiden Kiyai Haji Abdurrahman Wahid. Tidak itu saja, jabatan yang ia pegang hanya selama 28 hari itu, telah mengusik kenyamanan Arifin Panigoro, Akbar Tanjung, dan Nurdin Halid yang disidik terkait keterlibatannya dalam kasus korupsi.
ADVERTISEMENT
Orang menghubungkan gebrakan Lopa memiliki kaitan atau setidak-tidaknya memiliki pertalian dengan kekuasaan yang mengandung nuansa politik. Tapi ia tak bergeming dengan tudingan itu. Ia terus berjalan dengan apa yang ia yakini. Ia sosok yang mempunyai pendirian dan keyakinan penuh bahwa kezaliman harus dihentikan. Kezaliman dari orang-orang yang merampok hak-hak rakyat dan merampok uang negara. Koruptor, itulah musuh yang akan dihadapi oleh Lopa. Pakar yang mendampinginya cukup membuat ia percaya diri dan yakin akan langkah-langkah yang ia ambil untuk mengungkap praktik KKN yang kala itu ia bertekad untuk menjalankan amanah rakyat yang ditetapkan dalam TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, yang ditetapkan pada sidang lembaga tertinggi negara itu pada tanggal 13 November 1988. TAP MPR yang dilahirkan, seiring dengan kejatuhan Presiden Soeharto ketika itu.
ADVERTISEMENT
Semangatnya untuk memberantas korupsi semakin teguh karena ada pakar dengan keilmuannya yang tinggi yakni, Prof. Andi Hamzah dan Prof. Achmad Ali yang terus mendampingi Lopa dalam bekerja hingga pukul 23.00 setiap harinya. Namun Sang Khalik berkehendak lain. Sang Khalik ingin terus memeliharanya agar senantiasa berada di jalan-Nya. Ia pergi menghadap Sang Khalik, tepat pada saat ia membongkar kasus-kasus besar korupsi di Indonesia. Ia pergi dengan Husnul Khotimah dan meninggalkan kenangan dan inspirasi bagi generasinya. Malam kepergiannya tanggal 3 Juli 2001, hujan deras disertai kilat menyelimuti Istana Presiden. Gus Dur tersentak dari istirahat tidurnya. Ia tersedu-sedan menahan tangisnya dan berucap lirih, "Malam ini salah satu tiang langit Indonesia telah runtuh".
ADVERTISEMENT
Beberapa menit kemudian, telepon berdering dari Kedutaan RI di Arab Saudi yang menyampaikan berita duka, Baharuddin Lopa telah pergi menghadap Sang Khalik. Pagi harinya Kompas menulis dalam Tajuk Rencananya, "Cahaya di tengah gelap gulitanya penegakan hukum itu telah padam". Baharuddin Lopa tidak hanya sosok yang lurus dan tegar dalam pendiriannya, tapi ia adalah sosok pemberani yang berjuang sendiri untuk menegakkan hukum, yang kala itu di lingkungan kerjanya sendiri juga dilingkupi oleh orang-orang yang tidak sependirian dengannya. Tidak heran jika kemudian Kantor Berita "Associated Press" Amerika Serikat pada 4 Juli 2001 memberitakan " Indonesia's Anti-Corruption Crusader has Died" Crusader bermakna pendekar yang teguh dalam perjuangan. Teguh dalam memperjuangkan pemberantasan korupsi. Belum ada tokoh penegak hukum yang dapat menggantikan beliau. Sosok yang sederhana dan bersahaja namun sangat gigih dalam memperjuangkan kebenaran. Rosihan Anwar menulis dalam Petite Histoire Indonesia Jilid 5 (2012,219), "Lopa pantas untuk disebut sebagai pejuang nomor wahid yang menentang korupsi". Wartawan senior, Asro Kamal Rokan, menyebutnya, "Lopa pantas menjadi teladan sebagai cahaya pelita di tengah-tengah kegelapan penegakan hukum".
ADVERTISEMENT
Oka kembali mengenang perjumpaannya dua puluh tahun yang lalu, ketika ia membalik-balik album yang tersimpan di lemari di samping perpustakaannya. Mengapa kini kita sulit untuk mencari sosok seperti Lopa? Itu yang ada dalam benaknya. Sore itu, Oka mendapat kontak dari sahabatnya, Bahlul, di Istanbul. Setelah berbincang panjang lebar tentang kondisi sahabatnya yang duduk di Parlemen Istanbul, Oka pun menceritakan sosok penegak hukum di negerinya yang pernah ada dua puluh tahun yang lalu.
"Bahlul," terdengar suara Oka lirih melalui sambungan telepon. "Bagaiman dengan sahabat kita Ali Cettin, Amarullah, dan Emin Cinaar?" Oka memulai perbincangannya. "Mereka semua baik-baik," jawab Bahlul. "Begini, Bahlul," sambung Oka. "Banyak negeri yang tak dapat mewujudkan cita-cita pendiri bangsanya, karena gagalnya pelaksanaan penegakan hukum. Di negeri kami keadaan itupun sepertinya belum tuntas. Meskipun seluruh pembesar negeri telah berjuang untuk itu. Ada saja oknum-oknum anak negeri yang belum memahami arti sebuah penegakan hukum yang berkeadilan. Hingga akhirnya kondisi penegakan hukum dua puluh tahun yang lalu tidak jauh berbeda dengan kondisi hari ini," demikian Oka menyampaikan kegelisahannya, seraya mengisahkan sosok seorang penegak hukum yang andal yang pernah ada di negerinya dua puluh tahun yang lalu.
ADVERTISEMENT
Bahlul pun merespons kisah itu dengan baik. Keesokan harinya, Bahlul menyampaikan kisah pendekar hukum yang mendobrak kebiasaan dan tradisi penegakan hukum di negeri sahabatnya itu kepada gurunya, Syekh Soramettin. Bahlul menyampaikan cerita itu secara utuh yang membuat gurunya lama terdiam dan menunduk.
Ketika Syekh Soramettin mengangkat kepalanya, terdengar suara serak namun tegas yang keluar dari tenggorokannya, "Ada pepatah Arab Bahlul, "Merubah kebiasaan itu akan menimbulkan musuh". Sosok yang sahabatmu ceritakan itu adalah sosok yang ingin melakukan perubahan di negerinya. Ia ingin mengubah tradisi para pecundang dan para penyamun, setelah bertahun-tahun negeri itu hidup di lingkungan para penjarah uang rakyat, penjarah kekayaan negara. Banyak negeri di dunia ini seperti itu, Bahlul. Negeri yang mendapat gelar sebagai negeri para penyamun. Itu terjadi karena kerakusan dan dorongan hawa nafsu yang tak terkendali. Mereka bukannya orang-orang yang ghabiun (bodoh) atau majnun (gila), mereka cerdas, Bahlul. Hanya saja pikiran dan hati mereka dilingkupi oleh nafsu serakah. Mereka orang-orang cerdas yang tidak meletakkan adab dan akhlak sebagai dasar pijakan dalam kehidupannya. Sosok tokoh yang diceritakan sahabatmu itu Bahlul, adalah sosok manusia yang memiliki adab dan akhlak. Imam Al Ghazali pernah mengatakan Bahlul, " Orang yang berilmu tanpa berakhlak, seperti pohon yang tidak berbuah". Akhlak itu bukan ilmu pengetahuan dan bukan pula hanya sekadar perbuatan, tetapi upaya manusia menggabungkan tiap-tiap perbuatannya dengan jiwanya. Karena itu, jiwa itulah yang perlu diisi dengan petunjuk yang dititahkan oleh Sang Khalik. Petunjuk itu adalah kitab yang diturunkan oleh Sang Khalik. Kitab yang tak ada keraguan di dalamnya yang diturunkan kepada dan diikuti oleh Sang kekasih-Nya.
ADVERTISEMENT
Ada kisah menarik Bahlul, ketika sahabat bertanya kepada Sayyidah Aisyah ra. Binti Abu Bakar As Shiddiq ra. isteri dari Kekasih Sang Khalik tentang akhlaknya, Sayyidah Aisyah ra. menjawab, "Akhlak Kekasih Sang Khalik adalah Al – Hudan, Al-Furqan, Kitab yang diturunkan Sang Khalik". Sang Khalik pun menitahkan bahwa, "Dia Kekasih Sang Khalik, tidak akan di utus di muka bumi ini kecuali untuk memperbaiki akhlak manusia". Sedemikian burukkah akhlak manusia pada waktu itu? Ya, manusia dan masyarakat di zaman itu dinaungi oleh payung kebodohan dan kepicikan, jahiliyah. Kebiasaan menumpuk-numpuk harta, membunuh anak-anak perempuan karena kehadiran anak perempuan dianggap sebagai aib dalam keluarga, adalah suatu perbuatan yang lazim dilakukan pada waktu itu. Wanita-wanita dan para budak saling dipertukarkan. Jika bisa mendapatkan harta dengan cara lebih mudah, mereka tidak akan menempuh jalan yang sulit. Menipu timbangan dalam berniaga, serta melakukan praktik riba adalah hal yang biasa ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Tak ada panduan, tak ada petunjuk yang jelas untuk berperilaku. Kepemimpinan selalu ditentukan oleh orang-orang yang berpunya dan dari keturunan terpandang. Kesalahan-kesalahan bisa dibenarkan dan yang benar bisa disalahkan, tergantung keinginan penguasa.
ADVERTISEMENT
Satu demi satu petunjuk diturunkan oleh Sang Khalik. Pernahkah Engkau mendengar kisah ini, Bahlul? Pada suatu ketika ada seorang wanita yang berasal dari keluarga terhormat dari Bani Makhzum, telah melakukan perbuatan mencuri. Karena perbuatan itu ia harus dijatuhi hukuman dengan memotong tangannya. Di luar dugaan, keluarga wanita itu menolak untuk menerima hukuman itu. Mereka pun melakukan berbagai upaya untuk menunda hukuman itu. Akhirnya mereka menemui Usamah bin Zain, seorang sahabat dekat dan disayangi Kekasih Sang Khalik. Mereka memohon kepada Usamah bin Zain agar menyampaikan hal itu kepada Kekasih Sang Khalik. Usamah bin Zain pun beranjak pergi menemui Kekasih Sang Khalik seraya menyampaikan permintaan keluarga wanita terpidana itu. Setelah mendengar penjelasan Usamah, Kekasih Sang Khalik berdiri, seraya berujar kepada Usamah, "Apakah Engkau meminta keringanan atas hukum yang telah ditetapkan Sang Khalik?" Dalam posisi berdiri, Kekasih Sang Khalik kemudian berkhotbah di hadapan para sahabat yang hadir ketika itu. Kekasih Sang Khalik dalam khotbahnya mengatakan, "Sesungguhnya yang telah membinasakan umat sebelum kalian adalah jika ada orang terhormat dan mulia di antara mereka mencuri, mereka lalu tidak menghukumnya.
ADVERTISEMENT
Sebaliknya, jika ada orang rendahan yang melakukan perbuatan yang sama, mereka tegakkan hukuman terhadapnya. Demi Allah, bahkan jika seandainya anakku Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya." Tak ada yang berubah pada ketetapan Sang Khalik, wanita dari keluarga terpandang itu pun harus menjalani hukuman potong tangan. Begitulah sosok orang yang dimuliakan Sang Khalik di negeri sahabatmu itu, Bahlul. Ia telah membantahaksioma yang berbunyi, "Hukum tajam ke atas dan tumpul ke bawah". Di negeri itu ia tajamkan pedang hukumnya untuk menembus jantung para konglomerat yang dekat dengan kekuasaan. Bahkan pada suatu ketika ia berkata, "Aku tak perlu di beri hadiah karena aku bukan orang yang berhak untuk menerima hadiah. Berikan hadiah kepada orang-orang pantas untuk mendapatkannya, yakni fakir miskin dan kaum papa, orang-orang susah. Aku bekerja digaji pemerintah, dan gaji itu sudah lebih dari cukup." Sungguh beliau mengikuti akhlak Kekasih Sang Khalik, ketika Salman Al Farisi hendak memberi sesuatu kepada-Nya pada saat perkenalan pertamanya dengan Kekasih Sang Khalik, Kekasih Sang Lhalik mengingat Salman, bahwa Dia bukan orang yang berhak menerima sedekah.
ADVERTISEMENT
Sosok penegak hukum yang bersahaja yang diceritakan oleh sahabatmu itu, Bahlul, benar-benar telah mengikuti akhlak Kekasih Sang Khalik, ketika ia katakan kepada anak-anaknya, "Bapak tidak mampu memberikan kalian melebihi yang bapak mampu. Bapak tidak mau memberi kalian makan dengan sumber-sumber yang syubhat, haram dan melanggar hukum". Lihatlah Kekasih Sang Khalik, merestui Fatimah bin Muhammad putrinya untuk mengambil upah sebagai tukang cuci pakaian. Kekasih Sang Khalik mengeluarkan kurma dari tenggorokan cucunya, yang ketika itu di hadapan Sang Cucu menumpuk buah kurma hasil pembayaran zakat, lalu ia petik dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Kekasih Sang Khalik tidak ingin ada benda haram yang masuk dan menjadi darah daging di tubuh cucunya. Itulah akhlak Kekasih Sang Khalik. Pantaslah Sang Khalik bersabda, Sesungguhnya pada diri Kekasih-Nya itu terdapat contoh dan teladan yang baik bagi manusia." Itu telah diteladani oleh sosok "Pemegang Pedang Keadilan" di negeri sahabatmu itu Bahlul. Engkau pun harus belajar banyak dari orang-orang yang telah meneladani Kekasih Sang Khalik yang jumlahnya tidak terlalu banyak di muka bumi ini. Ketika Kekasih Sang Khalik sebagai contoh dan teladan yang sempurna tidak lagi hidup bersama kita, kita pun boleh meneladani orang-orang yang berakhlak sama seperti Kekasih Sang Khalik, walaupun tak ada di antara kita yang bisa menandingi kemuliaan akhlak Kekasih Sang Khalik, karena Dia adalah insan yang paripurna yang dipilih Sang Khalik."
ADVERTISEMENT
Sebelum menutup pencerahannya, Bahlul dan Syekh Soramettin menengadahkan tangannya, membacakan Ummul Qur'an dan Salawat kepada Kekasih Sang Khalik. Terdengar lantunan doa dari keduanya,
"Allahummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fu'anhu. Semoga Allahyarham Baharuddin Lopa berada bersama-sama orang yang sholeh dan ditempatkan dalam Jannatul Firdaus. Aaamin Ya Rabb," demikian Syekh Soramettin mengakhiri pencerahannya dan menutupnya dengan doa untuk Sang Teladan, Sang Pendekar Hukum.
Kini Bahlul menjadi mengerti tentang sosok seorang yang pantas untuk diteladani.
Petang itu, langit Istanbul tampak cerah. Matahari senja di balik Masjid Biru tampak bergerak perlahan-lahan merayap dan cahayanya menyusup di balik pantulan Selat Bosporus. Bahlul meletakkan kedua tangannya di dadanya seraya membungkukkan badannya ke arah Syekh Sora. Syekh Sora meletakkan tangan kanannya di dadanya dan membalas dengan membungkukkan badannya. Bahlul membalikkan badannya, tampak langkah kakinya menyusup di celah-celah keramaian kota Istanbul menjelang malam tiba.
ADVERTISEMENT