Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kisruh SBM ITB dan Rektorat: Langkah Mundur Pendidikan Indonesia
12 Maret 2022 18:47 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Oki Earlivan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Keinginan menjadi bagian dari Universitas Terbaik Dunia adalah harapan semua perguruan tinggi dan para stakeholder, baik itu dosen, mahasiswa, alumnus, industri, para donatur, dan pemerintah. Seluruh element tersebut adalah bagian tidak terpisahkan dalam institusi pendidikan tinggi yang berkualitas.
ADVERTISEMENT
Sejatinya Institut Teknologi Bandung (ITB) merupakan satu dari sekian kampus terbaik bangsa, yang seharusnya menjadi acuan berbagai kampus di negeri ini dalam berbagai hal termasuk good governance, collaboration dan academic teaching. Namun, perselisihan School of Business and Management (SBM) ITB dan Rektorat menjadi tamparan keras bagi para stakeholder ITB.
SBM sebagai jurusan bisnis dan manajemen dalam sebuah kampus teknik merupakan katalisator dalam pembangunan teknokrasi di Indonesia. Sebuah truism yang tidak dapat dibantah yang mana pendidikan terbaik dunia seperti Harvard, Stanford, dan MIT sudah melakukan ini jauh sebelum ITB.
Bagaimana industri microchip oleh Intel di Silicon Valley di inisiasi oleh Stanford University sehingga menjadi industri strategis dan kekuatan Amerika dalam industri perangkat lunak. Atau kasus NASA yang sejatinya adalah industri teknologi satelit dan militer yang diinisiasi oleh beberapa pusat riset termasuk Caltech dan kemudian Sloan MIT masuk dalam grup riset bersama untuk meningkatkan efisiensi dan inovasi di NASA.
ADVERTISEMENT
Mengapa peran sekolah bisnis penting? Karena seluruh translasi riset dalam bentuk produk membutuhkan peran eksekutor dan mereka yang mengerti pasar dan juga risikonya. Begitulah setidaknya perjalanan negara seperti Amerika, Inggris, dan negara maju lainnya dalam membangun steppingstone menuju negara industri.
SBM ITB sebagai jurusan sosial science tentu membutuhkan "Investasi" dalam bentuk material dan immaterial. Berbicara dua komponen tersebut seperti memilih "telur atau ayam". Apakah dana dahulu atau immaterial? Karena kita bicara dalam kaca mata "proyek jangka panjang" dan juga "bisnis", maka tidak mungkin kita bicara aspek immaterial.
Harus ada investasi di depan dan segala investasi harus memiliki Return On Investment (ROI) yang terukur. SBM ITB dikenal dengan sebuah jurusan yang mahal dan hal ini dapat dipahami dari bangunan yang sangat berbeda dari jurusan kebanyakan di ITB. Tidak hanya bangunan, dosen internasional pun menjadi bagian dari tim jajaran pengajar yang tentunya tidak mungkin dibayar dengan standar UMK.
ADVERTISEMENT
Adanya kerja sama industri dan program wirausaha yang di dukung oleh perbankan juga menjadi satu value tersendiri di mata "pasar". Bagaimana mungkin Bank mau meminjamkan uang kepada ratusan mahasiswa setiap tahunnya jika tidak ada deposito jaminan dari SBM? Laboratorium para mahasiswa dalam berbisnis yang menjadi salah satu program di SBM terbukti mampu membawa para alumni berkibar dalam kancah bisnis nasional.
Dimulai dari perusahaan startup hingga korporasi, bahkan bisnis di luar negeri. Tentu hal ini dapat dicari di internet tanpa menyebutkan satu persatu. Tidak hanya menjadi warna dalam bisnis nasional, banyak para alumni yang menembus jajaran universitas dunia dan menambah value stakeholder ITB itu sendiri.
Namun, semua tidak akan terjadi tanpa dosen yang berkompeten. Dalam bisnis, tentu efektifitas dan efisiensi seolah menjadi sebuah pagar yang harus selalu dijaga. Dosen dengan bayaran tinggi tentu memiliki konsekuensi yang harus dibayar dari kualitas dosen dan output yang dihasilkan.
ADVERTISEMENT
Tidak mudah! Tapi itu yang sedang dijalankan di SBM. Bagaimana ROI nya? Setelah hampir 20 tahun berdiri, tidak hanya hubungan antar industri yang dibangun oleh pemerintah dan juga Alumni, tetapi menjadi jurusan bisnis di Indonesia yang mendapat akreditasi Internasional AACSB, yang mana hanya 6 persen dari sekolah bisnis dunia yang berhasil meraih akreditasi tersebut.
Isu swakelola dana yang dilakukan oleh SBM ITB menjadi pemantik dari segala kisruh SBM dan Rektorat ITB. Jikalah kita melihat Oxford, Cambridge di Inggris atau Harvard dan Stanford di Amerika, mereka adalah kampus top dunia yang melakukan desentralisasi keuangan. Setiap department atau collage, di perbolehkan mengelola dana secara mandiri dengan mengedepankan prinsip-prinsip akuntabilitas.
Lalu apa manfaatnya? Setiap department memiliki daya kompetisi yang tinggi untuk mencapai tujuan masing-masing. Oxford University misalnya, berhasil menjadi Universitas dengan jumlah spin off company terbanyak di Inggris bahkan dunia bersama dengan Harvard, Stanford dan MIT.
ADVERTISEMENT
Kahnemann dalam teori organisasinya mengatakan bahwa organisasi yang sehat adalah organisasi yang mampu menghasilkan banyak spin off organisation. Tidak bisakah kita meniru institusi yang sudah tidak terbantahkan lagi kualitasnya?
Jika saja pendekatan penyelesaian masalah yang dilakukan oleh pihak Rektorat ITB bisa lebih solution based ketimbang pendekatan top down, tentu kisruh SBM ITB dan Rektorat bisa segera terselesaikan. Segala justifikasi yang tidak berimbang harus dikesampingkan.
Apa yang telah dihasilkan SBM merupakan Investasi ITB dan stakeholder bukan hanya rektorat. Sudah selayaknya civitas akademi ITB bersatu dalam tujuan yang lebih luhur dan rektorat sebagai pengayom lebih bijak dan mendengar apa yang menjadi keluhan SBM ITB. Albert Einstein pernah mengatakan “wisdom is not a product of schooling but of the lifelong attempt to acquire it.”
ADVERTISEMENT
Oki Earlivan
Ketua Persatuan Pelajar Indonesia United Kingdom
Alumni SBM ITB
University of Oxford