Sastra, Ideologi, dan Mitos

Okta Firmansyah
Dosen Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas
Konten dari Pengguna
1 Februari 2024 5:55 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Okta Firmansyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi buku puisi. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi buku puisi. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Manusia yang selalu berhadapan dengan sederetan peran dan kompleksitas peristiwa dalam kenyataan hidup selalu menjadi godaan terbesar bagi para sastrawan untuk menjelajahinya. Teoritikus sastra, Rene Wellek dan Austin Warren (1966) mengatakan bahwa sastra menyajikan kehidupan, dan kehidupan sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga meniru alam dan dunia subjektif manusia.
ADVERTISEMENT
Dengan kata lain, karya sastra adalah tesis atas kenyataan hidup yang kemudian diresepsi sastrawan untuk artikulasikan kembali dengan disertai berbagai pemikiran dan nilai (kebenaran), yang membawa pada sebuah kesadaran (baru). Karena konon, lembaga kebenaran yang dikenal manusia selain agama, filsafat, dan sains, adalah seni, dan sastra adalah bagian dari seni.
Sebagai karya seni, sastra juga erat kaitannya dengan apa yang disebut ideologi. Karena karya sastra akan berusaha mengacu pada kawasan yang ideasional dalam batasan tadi, sebagai penyataan pengarangnya, baik pernyataan pemikiran maupun berkaitan dengan nilai. Sementara ideologi dalam kaitannya dengan karya sastra tentu akan dikomunikasikan kepada masyarakat pembacanya melalui perantara bahasa, baik lisan maupun tulisan. Sebuah bahasa yang khas dimiliki karya sastra.
ADVERTISEMENT
Penulis dan pembaca, seperti juga orang-orang lain, tunduk pada ideologi-ideologi yang dominan dalam masyarakatnya. Bagi tindak komunikasi sastra, konsep-konsep ideologis sangatlah penting, mengingat bahasa tidak hanya merefleksikan secara deskriptif norma-norma nilai-nilai suatu masyarakat, melainkan sebaliknya, mungkin saja memperkuat atau meruntuhkan nilai dan norma tersebut. Bahkan kesadaran seorang individu pun dapat dibangun melalui ideologi.
Sampai pada titik ini, ada dua hal menarik untuk dilihat lebih jauh, yakni bahasa khas sastra dan ideologi dalam karya sastra. Pertama, bahasa khas sastra. Wellek dan Warren (1989) mengemukakan bahwa bahasa adalah bahan baku dari karya sastra, seperti halnya cat untuk lukisan, bunyi untuk musik, dan lain sebagainya. Sementara kekhasan bahasa sastra terletak pada ambiguistas dan homonimitas bahasa yang digunakannya serta memiliki kategori-kategori yang tak beraturan dan tak rasional. Bahasa sastra juga penuh dengan asosiasi, mengacu pada ungkapan atau karya yang diciptakan sebelumnya. Pendek kata, bahasa sastra sangat konotatif sifatnya. Bahasa sastra bukan sekedar bahasa referensial yang mengacu pada satu hal tertentu. Hal penting lainnya dalam kekhasan bahasa sastra adalah tanda, simbolisme suara dari kata-kata (Wellek dan Warren, 1989).
ADVERTISEMENT
Kedua, ideologi dalam karya sastra. Karya sastra mempunyai fungsi ekspresif, menunjukkan nada (tone) dan sikap sastrawannya. Dengan kata lain, karya sastra merupakan cerminan ideologi sastrawannya. Karena karya sastra pada akhirnya akan berusaha mempengaruhi, membujuk, dan bahkan mengubah sikap pembaca (Wellek dan Warren, 1989).
Menyoal ideologi dalam bahasa karya sastra layaknya sebuah petualangan yang begitu mendebarkan, karena terkadang diperlukan upaya lebih untuk mengetahuinya. Salah tokoh yang tertarik untuk melihat bagaimana ideologi dalam pandangan kajian bahasa, adalah Roland Barthes (1919-1980), seorang filsuf cum kritikus sastra dari Perancis. Ideologi menurut Barthes, tersebar memakai jasa mitos.
Setiap kebudayaan memiliki beragam kekayaan mitos, yang dapat hidup dan berkelanjutan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Seperti halnya mitos-mitos primitif, seperti tentang hidup-mati, manusia-tuhan, kebaikan-keburukan. Atau mitos-mitos modern, seperti tentang maskulinitas-feminimitas, keluarga, sukses, kecantikan, hukum, ilmu pengetahuan dan lain-lain. Mitos-mitos tersebut hanya dapat hidup dan diwariskan melalui semacam kendaraan, yaitu kendaraan bahasa dan tanda. Dengan kata lain, mitos selalu menampakkan dirinya melalui tanda-tanda sebagai kendaraan semiologisnya (Yasraf Amir Pilliang, 2012).
ADVERTISEMENT
Mitos, dalam pemahaman semiologi adalah pengkodean makna, nilai, sikap dan ideologi tertentu yang sebetulnya sifatnya arbitrer atau konotatif. Setiap hari manusia, memaknai benda secara subyektif. Bunga mawar misalnya, sering digunakan untuk mengungkapkan rasa cinta. Bunga mawar memuat tiga aspek: penanda (signifier—mawar), petanda (signified—perasaan cinta), dan tanda (sign—bunga mawar sebagai ungkapan rasa cinta). Di sini perlu dibedakan antara mawar sebagai penanda dan mawar sebagai tanda. Mawar sebagai penanda merupakan suatu potensi yang selalu siap dimaknai (misalnya, mawar dimaknai sebagai gadis cantik yang sering melukai hati seorang pria). Sedangkan sebagai tanda, mawar adalah sesuatu yang bersifat penuh, definitif, dan mapan. Dalam mitos selalu ditemukan konsep triadik: penanda, pertanda, dan tanda. Sifat penanda yang kosong, potensial dan terbuka membuat berkembangnya proses pemaknaan. Terdapat satu pergeseran dari makna denotatif menjadi makna konotatif. Melalui pemaknaan sekunder yang dimapankan, mitos muncul ke permukaan.
ADVERTISEMENT
Prinsip utama mitos adalah “mengubah sejarah menjadi alamiah” (turn history into nature). Dapat dipahami mengapa para “konsumen” mitos tidak menyadari adanya motivasi secara tersembunyi (terselubung) dalam suatu mitos. Mereka cenderung memandang mitos sebagai sesuatu yang alamiah. Proses pembentukan mitos ini kemudian memunculkan ideologi.
Dari dua uraian di atas, hematnya, karya sastra sangat potensial untuk dikatakan sebagai mitos dalam kerangka pemikiran Roland Barthes. Karena kekhasan bahasa karya sastra adalah dua sistem rantai pertandaan bertingkat, yang pada tingkat terdalamnya, ia merupakan representasi pemikiran, nilai, norma, sikap dan ideologi yang dianut sastrawannya untuk kemudian ditawarkan (pada pembacanya) —baik sebagai ideologi “kawan” atau ideologi “lawan” yang meruntuhkan wacana, keyakinan, dan praktik lainnya.