Ngopi di Melbourne: Budaya 'Tak Kenal Maka Tak Sayang'

Oldrin Lawalata
Yellow to Red
Konten dari Pengguna
21 Oktober 2018 16:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Oldrin Lawalata tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
(St Ali Latte, Foto: Flickr)
“Latte extra shot one sugar,” pasti menjadi menjawab pertanyaan pelayan di St. Ali Café di Setia Budi One building di Kawasan Rasuna maupun tempat ngopi lainnya di Jakarta. St. Ali adalah satu dari beberapa café di Jakarta d mana saya mendapatkan latte kesukaan saya karena mengingatkan saya pada kopi Melbourne.
ADVERTISEMENT
Latte di St Ali mengingatkan saya pada setiap sudut kota Melbourne, terutama pada musim semi, di mana ngopi dalam suhu udara 10-20 derajat celsius yang cerah di Melbourne sambil melakukan observasi terhadap para pengunjung lainnya dari berbagai latar belakang budaya.
Kopi dan Melbourne kini menjadi salah satu hal yang tidak bisa dipisahkan. Ngopi bukan hanya menjadi salah satu kebutuhan di Melbourne tapi menjadi budaya dan gaya hidup Melbourne.
Bila anda berkunjung ke kota yang 5 kali mendapat predikat sebagai “the best living city in the world” tersebut, anda akan menjumpai café-café yang bukan hanya jadi tempat untuk santai sambal menikmati kopi atau juga coffee shop untuk hanya mendapatkan 1 take away cup of coffee.
ADVERTISEMENT
Menariknya, Australia bukan merupakan negara penghasil kopi utama, namun kopi seakan menjadi salah satu bagian dari kehidupan di Melbourne. Berbagai tulisan bahkan telah menobatkan beberapa café di Melbourne dengan barista terbaik atau kopi dengan cita rasa terbaik. Fakta ini sungguh menggelitik untuk melihat perspektif sejarah mengenai budaya ngopi di Melbourne.
Ngopi dan Alkohol, 1880
(Federal Coffee Palace, Foto: Wikimedia)
Dari beberapa artikel mengenai budaya ngopi di Melbourne, dapat dikonfirmasi era tahun 1880-an adalah era yang sangat penting dalam budaya kopi di Melbourne. Era ini ditandai dengan “Temperance Movement” yang merupakan gerakan sosal akibat terhadap perilaku ‘mabuk mabukan” dan anti sosial di Melbourne.
Pemerintah koloni dan masyarakat mulai menyuarakan menghentikan penjualan alkohol dan mulai membudayakan ngopi di beberapa titik di kota Melbourne. Sebagai bentuk upaya tersebut, di Melbourne mulai dibangun beberapa gedung dengan nama “Coffee Palace” yang menjadi tempat untuk masyarakat bersosialisasi tanpa alkohol.
ADVERTISEMENT
Sayangnya gerakan tersebut tidak bertahan lama mengingat minuman keras kembali diperkenalkan pada coffee palace. Krisis keuangan pada beberapa Bank di Australia sehingga tidak ada pilihan lain selain kembali menyediakan alkohol. Namun demikian, kopi tetap menjadi salah satu suguhan utama pada palace tersebut sehingga tidak membuat budaya ngopi menjadi punah di kota Melbourne.
Ngopi: Espresso, Perang Dunia II, Imigran, dan Inclusiveness
(Central Place, Foto: wikimedia)
Seiring berjalannya waktu, tahun 1930-an memunculkan era baru pada budaya ngopi di Melborne. Pada era ini, budaya kopi Eropa mulai diperkenalkan. Mesin pembuat espresso mulai digunakan pada palace-palace di kota Melbourne. Sebelumnya kopi hanya disajikan dengan cara diseduh atau disaring.
Masa Perang Dunia II juga kemudian memunculkan tren baru dalam dunia ngopi di Melbourne. Para tentara Amerika yang bermarkas di Australia selama perang dunia II di Australia memperkenalkan campuran antara kopi dan “chicory”.
ADVERTISEMENT
Bahan dari biji sawi putih yang dapat mengurangi kafein di kopi diperkenalkan dengan cara pengolahan baru ala Amerika Serikat ini menjadi salah satu cara baru untuk meningkatkan kualitas sajian kopi di Melbourne pada era tersebut.
Setelah perang dunia II, terutama pada tahun 1950-an dapat disebut sebagai permulaan era inclusiveness ngopi di Melbourne melalui menjamurnya coffee lounge.
Imigran dari Eropa pun terutama Italia semakin mempopulerkan espresso sebagai model penyajian yang telah diperkenalkan sebelumnya. Untuk itu, apabila mengunjungi kota Melbourne, Lygon Street akan menjadi tempat yang perlu disinggahi untuk menikmati beberapa kopi khas Italia di Melbourne.
Ilustrasi kopi. (Foto: Instagram @saysomethingcoffee)
Namun yang terpenting, Coffee Lounge telah menjadi media yang juga membangun Melbourne sebagai salah satu kota yang multi-budaya dan plural. Walaupun fenomena menjamurnya coffee lounge menurunkan popularitas dari coffee palace, ngopi tetap menjadi sarana untuk membangun komuikasi antara para imigran yang berasal dari latar belakang kebangsaan maupun penduduk Australia sendiri.
ADVERTISEMENT
Coffee lounge menjadi tempat untuk saling berintersi antara salah satu komunitas dengan komunitas lainnya. Berbagai ide mengenai kebijakan Pemerintah serta sejauh mana imigran dapat berpartisipasi dalam kehidudapan politik, ekonomi dan sosial budaya di Australia juga muncul dari diskusi di coffee lounge yang kemudian dikenal sebagai café.
Menariknya, Melborne yang inclusive semakin kental dengan diterimanya disajikannya ‘teh’ pada Café atau Coffee Lounge. Hal ini menjadi jembatan bagi masyarakat dengan latar belakang kebangsaan budaya ngopi maupun negara dengan latar belakang budaya nge-teh yaitu Inggris serta negara Asia.
Perkembangan budaya ngopi di Melbourne, bukanlah tanpa catatan negative di mana coffee lounge juga saat itu digunakan sebagai transaksi ilegal. Pada 14 Januari 1961, The Truth, salah satu media di Australia menerbitkan artikel dengan judul Espresso Bar Vultures tentang kisah investigatif penggunaan coffee lounges atau café untuk transaksi prostitusi terselubung.
ADVERTISEMENT
Jill, salah seorang espresso bar girl saat itu menjadi sumber utama mengenai bagi para media untuk mengungkap kegiatan sindikat prostitusi dengan tameng coffee lounge di Melbourne. Hal ini mengakibatkan image dari café espresso khas Italia menjadi menurun.
Ngopi Milenial dan Inclusiveness
Prince Bridge, Melbourne (Sumber Wikimedia)
Kisah sejarah mengenai Melbourne dan Kopi yang cukup panjang dan memiliki sisi positif dan negatif tersebut mengakibatkan tidak salah apabila Sarah Mathews yang tulisannya tentang Sejarah Kopi di Melbourne yang diterbitkan oleh State Library of Victoria memberikan judul “Melbourne Love Affairs”.
Kopi maupun Ngopi dan Melbourne adalah salah dua sisi yang saling mencintai yang telah membentuk Melbourne menjadi kota yang inclusive yang menghargai pluralism. Komunikasi politik antara kelompok dari berbagai latar belakang kebangsaan dapat dilakukan dengan media café atau coffee shop.
ADVERTISEMENT
Perkembangan budaya ngopi di Melbourne kini pada abad 21 semakin menunjukkan Melbourne sebagai kota multikultural. Café di Melbourne tidak lagi didominasi oleh komunitas dari mana “espresso” berasal. Café kini muncul dari tema beragam dengan racikan kopi yang berasal dari berbagai wilayah di dunia.
7 seeds, salah satu café dengan cita rasa terbaik di Melbourne menggunakan biji kopi cita rasa Amerika Selatan. Selain itu, di Melbourne juga dijumpai kopi organik atau kopi yang memiliki cita rasa Asia.
Belajar dari Melbourne, ngopi hanyalah media, namun yang terpenting adalah membangun komunikasi antara masyarakat dengan latar belakang yang berbeda. Media seperti coffee lounge dan café dapat menjadi tempat untuk mencegah masyarakat untuk anti sosial serta menjadi tempat untuk berinteraksi.
ADVERTISEMENT
So, It’s simple. Siswa Sekolah Dasar pun kenal dengan peribahasa “Tak Kenal maka Tak Sayang”.