Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.87.1
Konten dari Pengguna
Hikayat Satu Babak
10 Juli 2021 14:12 WIB
·
waktu baca 14 menitDiperbarui 13 Agustus 2021 14:01 WIB
Tulisan dari Oliver Sianturi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Hei, kemari kau! Minta maaf!” Pekikku pada seorang pria tambun yang sedang ngacir lewat pintu depan. Bajingan tengik itu baru saja menumpahkan segelas penuh es teh manis, tidak berikut gelas plastiknya, tepat di punggungku. Bukan karena apa, hanya saja aku sedang tidak bawa baju ganti dan aku harus segera berangkat.
ADVERTISEMENT
Atau mungkin sebenarnya saat ini aku sedang uring-uringan. Makan di warung ini membuatku jengah, ditambah lagi, sepiring nasi kikil dan sayur kangkung pesananku rasanya hambar.
Tengoklah muka bibi penjaga warung ini, rautnya ketus seperti orang yang habis ditunggaki utang berjuta-juta dan tak akan pernah dibayar hingga malaikat maut kelak turun tangan dan melunaskan piutang-piutangnya dengan caranya sendiri, dilengkapi dengan tahi lalat besar di atas bibirnya, yang seakan bisa meledak kapan saja, serta hidung jambu air matang yang minta dicerabut dari sana secara paksa karena sudah akan membusuk. Persis nenek lampir penyihir jahat yang sering muncul di film-film barat. Bedanya, tak ada topi tinggi, tawa yang aneh, dan gigi-gigi membusuk. Sepertinya kalau ada yang harus dipuji dari bibi ini, itu adalah caranya merawat giginya, bersih mengilap seperti habis di-veneer.
ADVERTISEMENT
Itu baru tampangnya, belum perangainya. Tiap berapa menit ia buang reak lewat pintu belakang yang langsung bertemu dengan halaman berhias rumpun pohon pisang. Aba-aba tindakan itu adalah pipi tirusnya akan kembang-kempis sebanyak tiga atau empat kali sebelumnya, serupa jantung yang detaknya abnormal sesaat (bayangkan jantung orang kaget). Sebetulnya aku juga memang suka meludah, tapi tidak di depan orang yang sedang makan, jangan tanya di depan pelanggan.
Belum lagi udara dalam warung ini yang jauh dari apa yang bisa disebut bersih, pelbagai macam polusi melayang-layang dan saling sikut. Mulai dari polusi suara yang dihasilkan oleh pengamen-pengamen dengan gitar bobrok yang senarnya fales tak keruan dalam kompetisi dengan suara mereka (sejujurnya aku sering heran tiap kali melihat para pengamen ini. Apakah mereka tidak tahu, bahwa di muka bumi ini ada suatu aktivitas yang namanya “menyetem gitar”?), hadir berseling tiap lima menit. Ada juga denting pertemuan sendok dengan piring serta mulut yang mengecap saat mengunyah makanan. Kurang lebih sepuluh orang saat ini sedang makan di warung, dan semuanya seperti berkomplot—demi membuatku muak—untuk lupa etika makan.
ADVERTISEMENT
Kemudian polusi yang dihasilkan oleh penggorengan dengan minyak jelantah, yang barangkali hanya tuhan yang tahu sudah dipakai berapa ribu kali. Minyak menjijikkan itu ikut mengudara, sehingga partikel-partikel kecilnya bertengger di wajahku (semoga saja tidak ada yang menyelinap lewat lubang hidungku, karena aku baru saja mencukur bulu hidungku. Kalau tidak salah, mengutip guru biologi, bulu hidung hadir untuk menghalau kotoran yang dibawa udara, kemudian kotoran itu akan menggumpal dan jadi upil. Bayangkan partikel minyak itu nyelonong masuk tanpa ada palang penjaga. Hiii, bisa-bisa aku kena paru-paru basah. Atau malah jadi paru goreng?).
Ketidaksabaranku memuncak tatkala seekor cicak mendadak kena serangan jantung dan terjun bebas dari langit-langit menuju piring makanku. Tanpa menggasak habis isi piring, segera kulempar buntalan uang berjumlah dua puluh ribu, aku tidak tahu rincian pastinya, tapi aku yakin itu benar dua puluh ribu. Setidaknya, itu yang dikatakan kasir minimarket saat memberi kembalian uang rokok, dan kasir minimarket adalah orang-orang paling teliti sedunia. Kulempar tepat ke arah pahanya, kemudian berlalu tanpa bicara apapun. Ya, aku tahu itu memang tidak sopan, tetapi ketidaksopanan harus dibalas ketidaksopanan bukan? Seperti peribahasa: Air tuba harus dibalas air tuba. Persetan bunyi aslinya, seandainya aku punya air susu, lebih baik kuminum sendiri daripada kuberikan pada si penyiram air tuba.
ADVERTISEMENT
Pekarangan warung itu menyambutku: terik matahari yang membuat bajuku makin lengket karena keringat basah yang mengering dan kulit kering yang membasah, udara yang “kalau tidak sama, mungkin lebih” kotornya dengan udara di dalam (karena di luar ini ada asap knalpot, aku dengar itu bisa membuatmu kanker), deru mesin yang melintasi nadi perekonomian pulau jawa, kendaraan yang baru sampai maupun yang akan meninggalkan parkiran, serta yang terpenting dari semuanya: truk gandengku.
Aku segera lompat ke arah kabin, menancapkan kunci dan memutarnya. Sial. Sialan. Sialan banget. Sepertinya, sahabatku ini baru saja ikut bergabung dalam sindikat “alam semesta dan segala isinya akan membuatku kesal hari ini.” Alih-alih meraung dengan gagah, ia malah mencicit layaknya tikus tercekik. “Kampret, mogok.” Dengan penuh emosi kupukul langit-langit, setir, dasbor, dan kaca pintu secara membabi buta. Kaca pintu itu pecah, bertambahlah pengeluaranku. Sial. Sialan. Sialan banget.
ADVERTISEMENT
Aku segera turun untuk kemudian menghubungi kenalanku di kota ini. Kupijat tombol gawai sebelum menempelkannya pada daun telinga. Sebagai spesialis antar barang lintas Jawa, adalah sebuah keharusan untuk berkenalan dengan montir di kota-kota persinggahan, dengan maksud: tentu agar mereka bisa diminta bantuan di saat genting seperti ini. Kenalanku itu bilang ia baru bisa sampai kurang lebih setengah jam lagi, kutanya bisa lebih cepat atau tidak. Katanya tidak bisa karena ia sedang buang air besar dan ia lapar. Mau makan dulu sebelum mengutak-atik truk milikku, karena jika tidak, bisa-bisa ia berhalusinasi dan malah memakan baut yang seharusnya dipasang kembali seusai perbaikan.
“Anjing, amit-amit. Kalau sampai kejadian begitu... Sebenarnya aku tidak terlalu peduli dengan aksi debusmu itu, sayangnya aku masih sayang nyawaku. Aku tidak mau mesin trukku lepas ketika melaju dengan kecepatan 100 km/jam. Oh iya, satu hal: jangan lupa bahwa kaca pintuku pecah.”
ADVERTISEMENT
“Aku seorang montir, bung. Bukan tukang mebel. Plung.” Kenalanku lantas memutus percakapan.
Seorang starling alias Starbucks Keliling alias penjual minuman bubuk kemasan seduhan air keran dan dilengkapi es batu dari air got tiba-tiba melintas bertepatan dengan kembalinya gawai ke kantong celana.
“Apakah bapak bisa membilas pakaian?” Aku memberhentikan lajunya dengan mengibas-ngibaskan telapak tangan ke arahnya.
“Bisa.” Si Bapak mendirikan standar sepedanya.
“Kalau begitu bilaslah kaus yang sedang kupakai.”
“Gimana kalo masnya saya cemplungin ke empang deket sini? Saya starling bukan lonling.”
“Lonling?”
“Laundry keliling, atau apa sih, binatu keliling.”
“Oh, kalau begitu, jeruk dingin satu. Sekalian nasi goreng ikan asin, ya.”
“Jangan mulai lagi.”
Korek di tangan menyulut rokok yang bertengger di bibir. Kuhirup dalam-dalam sebelum menghembusnya perlahan. Sedotan menggantikan rokok, kuhisap cepat-cepat. Manis-manis-asam rasa jeruk artifisial menambah sejuknya hembusan angin (yang meski, sekali lagi, kotor) di pelataran ini. Sedikit semriwing memang, karena aku sedari tadi bertelanjang dada, tepatnya sejak Si Bapak mengiyakan pertanyaan pertamaku dan aku terbuai dalam satu ilusi bahwa ia bisa melakukannya di tempat.
ADVERTISEMENT
Minuman bubuk kemasan yang begini manis membawaku kembali ke area kantin kampus masa kuliah. Ya, meski aku seorang sopir truk, aku pernah lulus D3 akuntansi universitas semenjana yang namanya tidak pernah didengar orang lain selain mahasiswanya, dosennya, dekannya, dan bahkan mungkin pegawai kebersihan-nya sampai tidak tahu-menahu nama tempat mereka bekerja.
Dan mengingat masa lalu berarti me-riviu kembali pilihan hidup. Aku sering mengkhayalkan sebuah keadaan di mana aku tidak harus berjibaku dengan kerasnya jalur pantura, mempertaruhkan nyawa setiap hari hanya untuk uang yang tak seberapa. Tetapi hidup dalam sebuah monotonisme: bangun pagi dari kasur murahan, mandi dengan sabun dan sampo murahan, berpakaian necis kemeja dan celana bahan mengilap karena bahannya yang murah, menyemprotkan wewangian dengan aroma menyengat menusuk semua hidung dalam radius 3 meter yang sama murahannya, menyisir rambut ke arah kanan dan memaksanya tetap begitu dengan bantuan gel rambut murahan, berangkat ke kantor dengan motor bebek berbahan bakar bensin murahan, duduk di kursi murahan, melakukan pekerjaan-pekerjaan murahan, kemudian berhenti untuk pulang ketika jam dinding murahan menujukkan pukul 5 sore, kembali tidur di kasur murahan, dan mengulang semuanya lagi esok hari. Segalanya terkesan murahan karena aku sudah menerawang jauh. Meskipun gajinya lebih banyak dan hidupku lebih terjamin, aku tahu bahwa itu hanya sebuah kefanaan.
ADVERTISEMENT
Buat apa kaya di depan yang lain, kalau nyatanya tetap saja miskin di depan cermin. Benarkah fana? Atau label yang kusematkan hanyalah satu pembenaran atas kehampaan otakku dari hal-hal berbau akuntansi? Ya, aku memang lulus, tetapi pengetahuan akuntansiku sama dengan nol alias kosong melompong. Barangkali tidak ada yang tahu alasan mengapa aku bisa lulus dan diberi gelar, mungkin itulah mengapa universitasku dijuluki kampus semenjana. Tapi ya biarlah, toh aku memang sama sekali tidak minat dengan akuntansi, ditambah kebebalanku yang selalu berkata bahwa tiada guna belajar sesuatu yang tak diminati, pengetahuan yang tidak diminati hanya akan memenuhi kepala dan perlahan-lahan berkembang menjadi tumor ganas.
Waktu itu kupikir akan lebih baik jika kepalaku penuh dengan: kegiatan intrakampus, cinta-cin—Tiba-tiba ponselku berdering, kenalanku menelepon.
ADVERTISEMENT
“Berhenti melamun, bung. Melamun di malam hari seperti ini rawan dirasuki setan.”
“Setan mana yang mau merasuki pria setengah bugil seperti ini. Dimana kau?”
“Setan binaragawan pasti mau. Menolehlah kebelakang.”
Seketika aku terjengkang dari kursi panjang ketika Kenalanku mengagetkan dengan cahaya senter yang diarahkan tepat ke mukanya.
“Sialan. Ternyata hari sudah malam. Kenapa lama sekali? Kau bilang hanya butuh waktu setengah jam.”
“Soalnya bung tidak menelpon lagi, sih. Kusimpulkan kalau sedang tidak buru-buru. Jadilah aku tidur sebentar mentas makan, nikmat betul loh, bung. Eh kebablasan, padahal niat awalnya cuma 15 menit.”
“Kau ada benarnya, lagipula tadi aku terlalu asyik berpikir.”
“Sedang berpikir atau sedang menyesal, bung?” Tanyanya tanpa mengharap jawab sembari melangkah ke arah truk milikku.
ADVERTISEMENT
Perbaikan mesin itu tidak memakan waktu lama, kurang lebih setengah jam.
“Biasa...”
“’Biasa’ di sini menjelaskan apa? Bagian yang rusak dari mesin truk atau perkara bayaran?”
“Dua duanya dong, bung.” Kenalanku menutup kap mesin, terdengan bunyi ‘ctek’.
“Kubayar pada perjalanan berikutnya. Karena pertama, aku sedang tidak pegang uang dan sedang buru-buru mengejar tenggat waktu pengiriman. Kedua, kau tidak membenahi kaca pintunya.”
“Sudah kubilang, aku bukan—”
Aku segera lompat ke arah kabin, menancapkan kunci dan memutarnya. Truk meraung-raung dengan gahar. Kuinjak pedal gas hingga mentok, melaju cepat hingga hanya meninggalkan debu jalanan dan asap hitam knalpot. Tentu tak lupa melambaikan tangan melalui jendela pintu kanan yang tak lagi berkaca.
“Adios, amigo!” Teriakan dari jarak 30 meter ini pasti tidak terdengar oleh kenalanku, sekalipun ia mendengar, pasti ia tidak menahu artinya. Kunyalakan lampu jauh, tanda pertarungan dimulai.
ADVERTISEMENT
Sebuah sedan berjalan pelan di depan truk. Kuambil jalur kanan yang melawan arah untuk sesaat melewatinya. Langsung kubanting setir ke arah kiri. Hampir berciuman dengan bis penuh penumpang. Perasaan bersyukur campur takut campur gelisah tentu terasa setelahnya. Tetapi aku menikmatinya, karena kalau sampai aku tak lagi merasakan itu, barangkali aku sudah berhenti jadi sopir truk. Alasan lain menjadi pengemudi truk adalah untuk menikmati garis yang membatasi hidup dan mati.
Batas kota Tegal dan Brebes terlihat dari kaca spion, roda terus berputar dalam kecepatan 80 km/jam. Kerikil-kerikil yang tergilas ban terpental ke mana-mana, ada yang menghantam badan mobil di jalur sebelah, kadang menabrak pelek mobil, ada yang membuat retak kaca warung di pinggir jalan, bahkan ada (dan ini jumlahnya sedikit) yang menancap di mata pemberani bodoh tetapi sial yang sedang merokok di sisi jalan. Yang terpenting, meski memiliki perbedaan tujuan akhir yang ditandai dengan bunyi-bunyi: entah “ctang”, “cting”, “prak”, “pruk”, “plop”, atau “cssss”, mereka sama-sama mengguncang truk milikku.
ADVERTISEMENT
Mataku sedang awas kepada jalan lurus didepan ketika sekilat cahaya tampil dan membuatku merinding. Cahaya itu melaju cepat, makin lama makin dekat dan benderang.
***
Dibalik setir sedan tanpa buntut duduk seorang pria bertubuh tambun. Ketambunannya mencuat dari balik kancing kemeja yang meronta-ronta pada perut yang menbuncah. Di saat hitam malam mendaulat dan seharusnya semua terlihat lebih gelap, pengemudi sedan tanpa buntut malah melihat seberkas sinar terang yang menyilaukan. Di dalam lintasan cahaya itu, seperti sebuah rol film yang sedang memutar ulang adegan klise, kilas hidupnya berkelebat.
Pria Tambun sedang meninjau kembali kegiatannya sehari penuh. Sungguh aneh apabila melihat fakta bahwa di saat terakhir hidupnya, ia bukannya mengingat anak-anak dan istri di rumah. Masa-masa bahagia bersama mereka: masa pacaran dengan sang istri, hari pernikahannya, kelahiran putra dan putrinya, hari penganugerahan juara kelas anaknya, bahkan untuk yang terakhir dilaksanakan: sarapan bersama di meja makan. Semua tandas oleh pengalaman hari ini, atau barangkali kemampuan mengingat otaknya melemah digerus usia.
ADVERTISEMENT
Setengah jam yang lalu, ia baru saja selesai membayar petugas Stasiun Pengisiab Bahan Bakar untuk 20 liter bbm bersubsidi yang ditumpahkan ke dalam tangki bahan bakar sedan tanpa buntut miliknya. Kalau tidak salah, pada awalnya ia tak berniat untuk mengisi bahan bakar, hanya berhenti sebentar di sana untuk buang air. Setelah memasukkan uang ke dalam kotak yang tergeletak di atas kursi di antara pintu toilet dan kemudian berlari cepat ke arah mobilnya, ia pikir tidak ada salahnya mengisi bahan bakar, meski sebenarnya mobilnya masih kuat untuk mengantarkannya sampai ke rumah. Knop persneling digeser ke gigi mundur, dari arah parkiran mobilnya berpindah ke samping dispenser bahan bakar.
Seingatnya, dua jam kebelakang, Pria Tambun baru saja meninggalkan Restoran Saung Mamang Krisno yang terletak di pesisir kota Subang, Jawa Barat dengan menggenggam kantong plastik berisi tiga porsi nasi timbel dan ikan entong bakar hangat yang baru selesai dimasak. Hidangan khas Subang itu memang lebih mantap apabila disantap hangat-hangat di tempat, tetapi sejak kemunculan microwave dalam peradaban manusia, kudapan dingin tidak pernah lagi jadi masalah. Rencananya, hidangan dari restoran favorit keluarganya adalah untuk makan malam mereka bersama nanti. Keluarga kecil Pria Tambun selalu berhenti di sana untuk mengisi perut tiap kali melintasi jalan raya kota, di hari-hari libur saat mereka berpelesir lewat jalur darat.
ADVERTISEMENT
Pria Tambun tergesa-gesa membuka pintu dengan tangan kiri sementara tangan kanan menopang berat badan pada lutut kanannya. Sebuah map biru berisi lembaran kertas tertekuk meliuk mengikuti bentuk lututnya. Kejadian ini mengambil tempat tepat kurang lebih lima jam yang lalu.
Nafasnya memburu, keringat bercucuran di dahinya. Noda basah merembes di area pangkal lengan kemeja ia kenakan. Seisi ruangan bingung sesaat ketika serentak memalingkan wajah ke arah pintu masuk, bersamaan dengan itu, ketengangan rapat merenggang. Beberapa lelaki yang duduk dengan tangan tersilang di atas meja celingukan bertanya-tanya apa yang terjadi, beberapa yang lain terlihat acuh-tak-acuh. Mungkin beberapa yang lain itu memang sedari awal tidak berminat untuk hadir di rapat ini, kebiasaan para pemangku kuasa. Pemimpin rapat dengan kumis tebal dan rambut botak atas ingin mengatakan sesuatu, tetapi urung karena suara Pria Tambun terbit duluan.
ADVERTISEMENT
“Mohon maaf atas keterlambatan saya. Ban mobil saya sempat bocor di jalan.”
Ruangan itu hening sejenak, peserta rapat bersitatap satu dan yang lain, saling bertanya lewat kerut di dahi dan mata memicing. Kalau saja seseorang yang duduk di sisi lain meja melingkar tidak bicara sesuatu, nampaknya diam itu akan bertahan sampai lima belas menit kemudian.
“Eeee, aslinya kami sudah memutuskan untuk ndak make dokumen itu loh. Soalnya tadi agak lama nunggunya. Karena rapatnya ndak bisa mulai tanpa transkrip transaksi batang kelapa sawit itu, kami putuskan untuk merapatkan hal lain saja.” Seseorang yang duduk di sisi lain meja kemudian menenggak sirup markisa yang ada di depannya.
“Ta-tapi...” melas Pria Tambun sambil mengelap keringat yang mengalir ke arah kelopak mata.
ADVERTISEMENT
“Hmmm... Yasudah, kemarikan berkasnya. Bapak duduk saja di kursi bapak, itu ada segelas sirup markisa di meja, lumayan untuk meredakan capek. Atau mungkin mau yang lain? Kopi? Teh?” Ujar pemimpin rapat dengan suara kebapakan.
“Ti-tidak usah pak. Terimakasih banyak.” Pria tambun menyerahkan map biru kepada pemimpin rapat, lalu duduk di kursi yang tersedia, sesuai instruksi pemimpin rapat.
“Terimakasih kembali. Untuk yang lain, mari kembali pada pembahasan. Omong-omong tadi sampai dimana ya?”
Seperti seorang pemimpin bersahaja yang membimbing rakyatnya menuju kesejahteraan, si pemimpin rapat dengan kumis tebal dan rambut botak atas berhasil menguasai situasi rapat demi mengakhiri drama singkat yang datang tidak diundang ke rapat direksi tanpa banyak fafifu.
Pembahasan tentang kenaikan upah kurir pengantar gelondong kayu pun dilanjutkan. Mayoritas direksi nampak tidak setuju dengan ide tersebut. Bagi mereka, gaji yang sekarang didapat (meski sedikit dibawah UMR provinsi) sudah lebih dari cukup. Tugas sopir-sopir hanya ada dua: menyetir setengah hari dan mengaso di sisa hari, mengapa perlu digaji lebih, begitu kata mereka.
ADVERTISEMENT
Pihak minoritas menyanggah dengan argumen: menyetir dan mengaso makan lebih banyak risiko daripada duduk dalam ruangan dan bicara soal gaji orang. Ambil contoh suatu waktu para kurir itu berhenti di sebuah warung dalam konteks untuk mengaso, seandainya warung pilihan mereka butut sekali, buah dari upah yang begitu mencekik, bisa-bisa hati menjadi kacau hingga mereka tak lagi punya konsentrasi menyetir karena pikiran penuh tentang betapa mereka menyesal numpang berhenti di warung butut tadi. Menyetir tanpa pikiran jernih itu berbahaya sekali, rawan kecelakaan.
Pihak mayoritas tak kuasa menerima sanggahan sedemikian rupa, lantas secara cakap membual hal-hal tidak masuk akal, dengan intonasi tinggi dan penekanan sana-sini seolah itu semua masuk akal. Pihak minoritas menjawab lagi. Selama adu mulut itu berlangsung, Pria Tambun duduk anteng di kursinya, ditemani sirup markisa yang berkurang secara perlahan, seraya menyelaraskan detak jantungnya dengan kondisi semula.
ADVERTISEMENT
Rapat itu berakhir sebagaimana rapat-rapat lain di dunia berakhir, setengah jam kemudian. Dengan kesimpulan semu yang tafsirnya berbunyi: “Besok kita rapat lagi, karena rapat kali ini sia-sia belaka. Begitu juga rapat-rapat yang akan datang.” Sebelum bubaran, pria di sampingnya sempat bertanya mengenai ban mobilnya, bocor dimana, bagaimana penyelesaiannya, mengapa tidak dicek sebelum perjalanan, dsb. Pria Tambun merasa keramahan pria di sampingnya terlampau basa-basi, sampai ia sendiri lupa apakah ia sempat menjawab pertanyaannya atau tidak.
Daya ingat Pria Tambun mencoba meraih lebih jauh, apa daya otaknya sudah terlalu kempot, maka hal inilah yang terakhir diingatnya: delapan jam yang lalu ia menumpahkan segelas penuh es teh manis, tidak berikut gelas plastiknya, tepat di punggung seorang pemuda.
Pria Tambun ingat betul adegan itu, bagaimana langkahnya yang gopoh berkejaran dengan tenggat waktu mengakibatkan gelas plastik di tangan kirinya menyenggol bahu kiri si pemuda. Gambaran kejadian itu begitu terang di kepalanya, seterang cahaya yang jadi hal terakhir yang ia lihat dalam hidupnya. Begitu lekat hingga kalimat terakhir yang diucap bibirnya terkait dengan kejadian naas tersebut: “Aku belum meminta maaf kepada pemuda itu.”
ADVERTISEMENT