Melihat Makam Dato Karama di Sulteng yang Tetap Utuh Meski Diterjang Tsunami

Konten Media Partner
14 November 2021 19:37 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Melihat Makam Dato Karama di Sulteng yang Tetap Utuh Meski Diterjang Tsunami. Foto: Palu Poso/Miftahul
zoom-in-whitePerbesar
Melihat Makam Dato Karama di Sulteng yang Tetap Utuh Meski Diterjang Tsunami. Foto: Palu Poso/Miftahul
ADVERTISEMENT
Angin sejuk mengantarkan langkah menuju pintu gerbang berwana putih yang diapit tembok hijau dengan corak Guma, senjata tradisional Suku Kaili yang digunakan Tadulako pada masanya. Sekitar 5 meter dari gerbang itu terlihat bangunan megah bak istana tempat peristirahatan.
ADVERTISEMENT
Bangunan itu merupakan makam dari salah satu ulama besar di Sulawesi Tengah, terletak di Jalan Selar, Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu. Masyarakat Sulawesi Tengah mengenalnya sebagai makam Dato Karama.
Bangunan tersebut didominasi warna kuning ciri khas Suku Kaili dan atap berwarna hijau. Tepat di samping kiri bangunan tersebut terdapat sebuah musala. Rerumputan dan bunga-bunga yang tumbuh di sekitar bangunan itu memberikan keindahan tersendiri.
Keramat, mungkin kata itu memang tepat untuk dikaitkan dengan makam Dato Karama. Sebab, kata keramat sering disematkan kepada sosok yang memilki kekuatan spritual dan kesaktian.
Koordinator Historia Sulawesi Tengah, Muhammad Herianto menyebut, kata Dato Karama sendiri adalah julukan dalam bahasa Kaili yang berarti seseorang yang memilki karomah atau kesaktian.
ADVERTISEMENT
Dato Karama memilki nama asli Abdullah Raqy, merupakan seorang ulama yang berasal dari Minangkabau. Menurut Herianto, ada beberapa pendapat terkait latar waktu kedatangan Dato Karama ke Lembah Palu.
"Ada yang mengatakan beliau (Dato Karama) datang bersama penyebar Islam yang ada di Sulawesi Selatan yakni Dato Ri Bandang, Dato Ri Patimang dan Dato Ri Tiro. Tetapi ada juga yang berasumsi beliau merupakan utusan Sultan Iskandar Muda di Aceh untuk menyebarkan Islam di Lembah Palu, tetapi sebelumnya beliau singgah di Ternate. Sekaitan dengan tahunnya ada yang mengatakan tahun 1605 M ada pula yang mengatakan tahun 1750 M, bahkan ada juga pendapat yang menuliskannya di tahun 1800an,” kata Herianto kepada media ini, Minggu (14/11).
ADVERTISEMENT
Melihat Makam Dato Karama di Sulteng yang Tetap Utuh Meski Diterjang Tsunami. Foto: Palu Poso/Miftahul
Herianto menerangkan, Dato Karama dalam tulisan A.C Kruyt di bukunya De Baree Sprekende Of Midden Celebes, menyebutkan, bahwa awal mula Dato Karama tiba di Lembah Palu bertemu dengan penguasa Palu bernama Pue Nggari, yang selanjutnya, ke duanya menjalin komunikasi hingga Dato Karama digambarkan Pue Nggari sebagai orang sakti, karena mampu menyembuhkan putranya hanya dengan segelas air putih yang telah dibacakan doa-doa.
Peninggalan, eksistensi Dato Karama saat ini dapat dilihat dengan adanya Kampung Baru yang dahulu dikenal sebagai Kampung Melayu. Kata itu lekat dengan asal-muasal Dato Karama. Karenanya, saat ini penamaan orang-orang di Kampung Melayu tersebut banyak menggunakan nama Intje.
Tak hanya sebagai pendakwah, Herianto menuturkan, Dato Karama mampu bersosialisasi dengan penduduk Lembah Palu, salah satunya lewat perkawinan. Dalam beberapa catatan, antara rombongan Dato Karama dan Keluarga Bangsawan Kerajaan Palu akhirnya terjadi proses perkawinan.
ADVERTISEMENT
Meskipun, kata Herianto, data tersebut sedikit kontroversi karena menurut Kruyt, bahwa Dato Karama sebenarnya hanya datang berdua dengan seorang pria, tetapi selanjutnya ada rombongan kedua yang berasal dari Minangkabau datang ke Lembah Palu dengan jumlah anggota rombongan yang lebih banyak.
Berdasarkan penuturan dari masyarakat setempat, kata Herianto, pada saat bencana gempa dan tsunami 28 September 2018 silam, makam Dato Karama tidak tersentuh oleh gelombang tsunami.
“Sampai saat ini, penduduk sekitar Kampung Panggona atau Kampung Lere dan Kampung Melayu (Kampung Baru) meyakini bahwa makam Dato Karama tak akan tersentuh gelombang tsunami, hal tersebut diperkuat melalui cerita rakyat di Lembah Palu, terkait Bomba Talu (Ombak Bersusun Tiga),” tuturnya.
Bahkan, penjaga makam Dato Karama terselamatkan dari bencana tsunami.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, Herianto mengatakan, sekaitan dengan Makam Dato Karama, perlu dilakukan riset yang lebih komprehensif lagi. Selanjutnya, bagi dia, makam itu harus segera ditetapkan menjadi Situs Cagar Budaya, di mana keberadaannya memiliki keterkaitan antara Provinsi Sulawesi Tengah dan Sumatera Barat. *** (Miftahul)