news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Menyambung Hidup dari Daun Sagu

Konten Media Partner
11 November 2020 10:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana Deli, seorang ibu rumah tangga di Tolitoli, membuat atap rumbia di bawah kolom rumahnya. Foto: Moh. Sabran/PaluPoso
zoom-in-whitePerbesar
Suasana Deli, seorang ibu rumah tangga di Tolitoli, membuat atap rumbia di bawah kolom rumahnya. Foto: Moh. Sabran/PaluPoso
ADVERTISEMENT
Berbekal sebilah pisau, seorang ibu tampak membersihkan duri-duri yang masih melekat di daun sagu yang teronggok di bawah rumahnya agar ia bisa leluasa menyusun daun sagu pada sebatang bambu yang sudah diraut.
ADVERTISEMENT
Kolom rumahnya yang berbentuk rumah panggung berukuran 8x6 meter itu dijadikan tempat menganyam daun sagu menjadi atap rumbia.
Ia tetap fokus untuk menyelesaikan setiap helai agar atap yang dibuatnya bisa diselesaikannya tepat waktu.
Begitulah aktivitas sehari-hari dilakukan oleh Deli (21), ibu rumah tangga (IRT) di Desa Oyom, Kecamatan Lampasio, Kabupaten Tolitoli, Sulawesi Tengah, yang mencoba mencari tambahan penghasilan dengan menganyam atap dari bahan daun sagu.
"Saya membuat atap dari bahan daun sagu ini untuk membantu keperluan hidup sehari- hari bagi keluarga saya," kata Deli saat dijumpai, Rabu (11/11).
Atap rumbia hasil anyaman Deli, seorang ibu rumah tangga di Tolitoli, Sulteng. Foto: Moh. Sabran/PaluPoso
Ibu satu anak ini mengakui dalam sehari, ia biasanya membuat anyaman atap dari bahan daun sagu sebanyak 10 lembar. Bahkan, terkadang lebih jika ada pemesanan. Atap tersebut dijual Rp 4 ribu per lembar dengan pemasaran hanya sekitar wilayah Kecamatan Lampasio, Tolitoli.
ADVERTISEMENT
"Saya membuat atap ini sesuai dengan pesanan pak, kalau memang dalam jumlah banyak tentu harga yang kami berikan kepada pembeli di bawah harga lagi," ujarnya.
Membuat atap dari daun sagu itu katanya, sebenarnya hanya pekerjaan sampingan kala ada waktu lowong. Meski bahan yang diperoleh tidak membutuhkan modal karena banyak tersedia di kebun miliknya, namun pemesan atap dari daun sagu ini sudah sangat terbatas dibandingkan atap seng. Terlebih lagi daya tahan atap daun sagu ini terbilang terbatas, biasanya hanya bertahan maksimal setahun.
"Mumpung ada kesempatan. Apalagi masa pandemi corona begini kita manfaatkan waktu untuk mencari tambahan hidup," ujar Deli.
Deli menambahkan, selama masa pandemi Corona ia bersama keluarganya memilih pekerjaan tersebut disebabkan kondisi ekonomi. Apalagi di wilayahnya saat ini hanya mengandalkan hasil panen kebun yang cukup memakan waktu lama, sehingga nyaris tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup setiap harinya.
ADVERTISEMENT