Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Apa pun Bisa Dipanen di Sawah Tadah Hujan, Sebuah Taktik Petani Imogiri, Bantul
email: [email protected]
14 Agustus 2020 14:16 WIB
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tidak seperti kebanyakan tanaman tembakau di sekitarnya yang sudah besar dan tinggi, tembakau yang sedang disirami oleh Surawan, 45 tahun, masih kecil-kecil. Usia pohon tembakau yang dia tanam di sepetak lahan di Padukuhan Kalidadap II, Desa Selopamioro, Imogiri, Bantul itu belum genap sebulan. Padahal beberapa petani lain sudah hampir panen, setidaknya satu bulan lagi.
ADVERTISEMENT
“Soalnya kemarin nanam bawang merah dulu. Setelah panen baru nanam tembakau,” kata Surawan berbahasa Jawa saat ditemui di ladangnya, Sabtu (8/8).
Menurut Surawan, bawang merah saat ini lebih menguntungkan untuk ditanam karena harganya yang masih tinggi. Tapi sebanding dengan pengeluarannya, bawang merah membutuhkan perawatan yang ekstra. Selain pupuk, bawang merah juga tidak bisa kekurangan air. Itu yang kemudian membuat petani di sana tidak bisa menanam bawang merah sepanjang tahun.
Area pertanian di Kalidadap II merupakan area tadah hujan yang pengairannya sangat bergantung pada curah hujan. Terlebih wilayah itu merupakan dataran tinggi, sehingga jika ada hujanpun air akan sangat cepat mengalir ke bawah jika tidak ditampung dengan baik. Meski saat ini sudah dibangun beberapa sumur bor, namun tetap saja belum bisa mencukupi kebutuhan air 250 lebih petani di Kalidadap II.
ADVERTISEMENT
Surawan juga memilih menggunakan air dari sebuah kali kecil yang ada di sekitar ladangnya yang kemudian dia tampung dalam sumur kecil sedalam dua meter. Di tengah musim kemarau seperti ini, air di kali sangat terbatas dan mulai mengering. Surawan, dan tentunya petani lain di Kalidadap II, harus benar-benar memperhitungkan air yang mereka gunakan.
“Kalau mau nanam bawang merah lagi, enggak cukup airnya. Makanya kami nanam tembakau yang lebih tahan dengan air yang terbatas,” lanjutnya.
Idealnya, penyiraman tembakau dilakukan sedikitnya dua hari sekali, apalagi untuk tanaman-tanaman tembakau muda seperti milik Surawan. Tapi karena keterbatasan air, penyiraman dilakukan empat sampai lima hari sekali.
“Kalau tumbuh ya tetap tumbuh, cuman kualitasnya tentunya tidak maksimal,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Bersiasat dengan Air Hujan
Petani di Kalidadap II tidak hanya menanam bawang merah dan tembakau. Setelah tembakau selesai dipanen pada September atau Oktober, ladang akan diistirahatkan sebentar sembari menunggu datangnya musim penghujan dan memulai musim tanam selanjutnya.
Di sela waktu itu, biasanya petani akan mencangkul ladangnya supaya siap ditanami lagi ketika musim hujan tiba. Waktu jeda ini juga dimaksudkan untuk mengistirahatkan tanah, supaya bisa kembali lagi ke kondisi terbaiknya untuk ditanami.
“Pas mulai masuk musim hujan, baru ditanami lagi. Kebanyakan pada nanam jagung,” ujar Surawan.
Di awal musim penghujan itu petani juga mulai memperbaiki pematang dan tanggul-tanggul untuk menahan air hujan supaya tidak langsung pergi begitu saja. Dengan adanya pematang dan tanggul itu, air hujan bisa menggenang dan bertahan di lahan tersebut lebih lama.
ADVERTISEMENT
Dan setelah jagung dipanen, ketika musim penghujan sampai di puncaknya pada Desember atau Januari, lahan itu menjelma sawah. Siapapun yang datang ke Kalidadap II di musim kemarau mungkin tidak akan menyangka bahwa lahan gersang itu bisa menjadi sawah ketika musim penghujan.
“Bukan padi gogo (padi lahan kering), padi biasa. Ya bener-bener jadi sawah,” lanjutnya.
Praktis dalam setahun perani di Kalidadap II mengalami panen empat kali dengan komoditas yang berbeda. Keman Rimanto, Ketua Kelompok Tani Kalidadap II mengatakan bahwa sudah sekitar enam tahun petani di sana menerapkan metode tanam tumpang sari.
Selain bisa membantu pengairan, metode itu juga bisa menghemat pupuk. Pasalnya ketika bawang merah hampir panen, di sekitarnya sudah ditanami tembakau.
ADVERTISEMENT
“Jadi pas bawang dipanen, usia tembakau sudah sekitar 20 harian. Di awal juga tidak perlu pupuk, karena sudah dapat pupuk dari bawang merah tadi,” ujar Keman Rimato.
Tembakau juga tidak bisa ditanam sepanjang tahun. Sebab, panen tembakau harus bertepatan dengan musim kemarau karena petani masih memanfaatkan terik matahari untuk menjemur rajangan daun tembakaunya. Jika setelah panen tembakau mereka menanam tembakau lagi, artinya masa panen kedua akan bertepatan dengan musim penghujan.
Meskipun menggunakan metode tumpang sari, tapi tidak mengganggu hasil panen komoditas satu dengan yang lainnya. Bahkan menurut Keman, hasilnya lebih bagus dan secara ekonomi sangat membantu keuangan petani ketika menanti panen tembakau yang merupakan komoditas utama.
“Malah makin bagus. Bawang merah di sini juga banyak dicari tengkulak, soalnya keras, enggak empuk, jadi lebih lama busuknya,” lanjut Keman.
ADVERTISEMENT
Agar Tanah Tetap Subur
Puluhan tahun menjadi petani membuat Keman mafhum, bahwa semakin lama ditanami tanah akan semakin miskin nutrisi. Terlebih semakin masifnya penggunaan pestisida dan pupuk kimia pabrikan oleh petani. Karena itu, ladang perlu diistirahatkan beberapa saat dan diberi tambahan nutrisi untuk mengembalikan kembali kesuburannya.
Nyaris semua warga di sana juga memelihara sapi atau lembu. Kotoran sapi yang dipelihara ituk kemudian dipakai oleh petani untuk memupuk ladangnya masing-masing.
“Itu biar ndak rusak, bisa ditamani sepanjang tahun. Kalau pakai kimia saja kan cepat rusak tanahnya,” ujar Keman.
Pertanian tumpang sari dengan komoditas yang berbeda-beda juga turut berpengaruh terhadap kualitas kesuburan tanah. Adanya rotasi tanaman yang ditanam juga dapat menjaga kesuburan tanah ketimbang metode pertanian monokultur.
ADVERTISEMENT
“Sekarang baru sekitar 30an petani dari 252 petani di Kalidadap II yang menerapkan tumpang sari. Tapi ini terus kita dorong supaya hasil pertanian mereka bisa makin optimal dan beragam,” lanjutnya. (Widi Erha Pradana / YK-1)