Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Asal Usul Nama Binatang Sebagai Nama Orang di Era Jawa Kuno
email: [email protected]
12 Januari 2021 18:37 WIB
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Budaya Jawa mengenal penamaan diri yang diambil berdasarkan nama alam, religi, tumbuhan, binatang, dan sebagainya. Sumber karya sastra Jawa Kuno, umumnya cerita-cerita panji, banyak memuat nama-nama tokoh yang menggunakan nama diri dari nama binatang. Misalnya ada Kebo Kanigara, Kidang Walengka, Banyak Kapuk, Gagak Sumiring, Kidang Glatik, juga Gajah Mada yang tentu familiar di telinga orang Indonesia.
ADVERTISEMENT
“(Tak hanya di cerita panji) nama-nama semacam ini juga sebenarnya cukup banyak ditemui dalam nama-nama tokoh pada karya sastra seperti Pararaton dan Ranggalawe,” kata Sasongko, ahli epigrafi dari Perkumpulan Ahli Epigrafi Indonesia (PAEI) dalam Diskusi Epigrafi Nusantara yang diadakan oleh PAEI pekan kemarin.
Sampai saat ini, studi tentang penggunaan nama hewan untuk nama orang pada zaman Jawa Kuno menurut Sasongko masih sangat terbatas. Namun topik ini sempat disinggung dalam tulisan beberapa peneliti dunia.
Misalnya Pigeaud, seorang ahli sastra Jawa dari Belanda, mengatakan bahwa fenomena penamaan ini terkait dengan panji-panjian (bendera) prajurit yang bergambar binatang. Setiap prajurit, menandai apa yang menjadi miliknya dengan gambar binatang.
“Oleh karena itu, penamaan diri prajurit dengan nama binatang ini juga bersifat heraldic (seni dalam menciptakan dan menghias lambang),” kata Sasongko.
ADVERTISEMENT
Selain Pigeaud, ada juga de Caparis, seorang filolog dari Belanda yang menyepakati temuan Pigeaud. Dia mengatakan, bahwa fenomena penamaan ini dikaitkan dengan identitas mekasirkasir, istilah yang berasal dari kata kasir-kasir yang artinya panji-panjian atau bendera.
De Casparis juga menambahkan, penamaan nama depan diri dengan nama Gajah, Menjangan, Macan, dan Tikus, pada masa Kediri-Majapahit mengindikasikan golongan kasta ksatria atau profesi ketentaraan waktu itu.
Sedangkan menurut Edi Sedyawati, penulis yang juga arkeolog Indonesia, menyebutkan bahwa pemakaian nama diri dari nama binatang dan penyebutan titel makasirkasir dalam prasasti masa Kediri mengindikasikan golongan panji-panjian seseorang yang seringkali ditandai oleh lambang bergambar binatang.
“Jadi pendapat Pigeaud, de Casparis, dan Sedyawati ini kurang lebih sama poinnya, dan cakupan bahasannya pun dari masa Kediri sampai Majapahit,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Pendapat paling baru dituliskan oleh Agus Aris Munandar, guru besar UI di bidang arkeologi yang pada 2010 menuliskan bahwa dalam kaitannya dengan tokoh Gajah Mada, nama binatang yang dipakai sebagai nama depan merupakan bentuk representasi diri dari hewan tunggangan dewa Hindu, yakni Airawata yang merupakan tunggangan dewa Indra.
Mayoritas Binatang Penghuni Ekosistem Jawa
Dalam penelitiannya tentang topik yang sama, Sasongko mendapat kesimpulan bahwa nama-nama binatang yang digunakan oleh orang zaman Jawa Kuno sebagai nama diri kebanyakan adalah nama hewan endemik pulau Jawa atau hewan yang pernah mendiami pulau Jawa.
Dalam temuannya, nama binatang yang paling banyak digunakan sebagai nama diri secara berturut-turut di antaranya ada Kebo, Gajah, Gagak, Lembu, Macan, Menjangan, Minda, Banyak, Bandeng, Iwak, Katak, Kuda, Layar, Tikus, Anjing, Asu, Babi, Burung, Hayam, Kadal, Kancil, Kura, Lele, dan Lutung.
ADVERTISEMENT
“Menurut saya, ekosistem tampaknya cukup berpengaruh dalam kemunculan fenomena ini,” ujar Sasongko.
Sementara itu, nama-nama seperti Makara, Naga, Sinha, Mahisya, menurutnya terpengaruh dari kebudayaan India. Selain faktor ekosistem, budaya agrikultur masyarakat Jawa Kuno waktu itu juga turut mempengaruhi penamaan diri.
Hal itu ditandai dengan adanya nama-nama seperti Kebo, Sapi, Minda, Lembu, Banyak, Hayam, Babi, dan sebagainya.
Kronologi kemunculan nama-nama ini menurutnya ditandai dari masa Rakai Pikatan (abad ke-9 M) sampai masa Majapahit akhir atau awal abad ke-16 M. Sedangkan gejala terbanyak ditemukan pada masa Krtanegara, Kroncaryyadipa, dan Sarwweswara. Atau dari masa Kadiri pertengahan hingga Singhasari akhir.
“Ini mungkin dapat dihubungkan dengan politik ekspansi atau diplomasi dari Krtanegara. Itu politik perluasan wilayah di luar pulau Jawa atau yang dikenal dengan Cakrawala Mandala Dwipantara yang melibatkan unsur-unsur militer,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Motivasi Penamaan
Jika mengacu pada konsep makna asosiatif Staffan Nystrom, nama-nama diri yang berasal dari nama binatang dapat dipersepsikan dengan wahana atau kendaraan dewa atau tokoh binatang mitologis Hindu-Buddha dan binatang tertentu yang dihargai dalam kebudayaan Jawa Kuno. Sehingga, nama binatang tertentu dapat diasosiasikan dengan dewa tertentu.
“Jadi menurut saya para penyandangnya barangkali meyakini dan mengharapkan kekuatan dari sifat dewa atau hewan mitologi Hindu-Buddha tertentu termanifestasi dalam dirinya melalui penamaan diri dari nama binatang yang berasosiasi,” kata Sasongko.
Pengharapan dan representasi kekuatan tersebut juga ada kemungkinan berlaku kepada hewan-hewan sakral dalam kepercayaan Jawa Kuno. Berdasarkan pencarian terhadap arti penting binatang dalam kebudayaan Jawa Kuno, nama Kebo, Hayam, Manjangan, dan Macan, merupakan hewan yang dianggap sakti dan mengandung kekuatan magis sehingga dijadikan persembahan untuk menangkal kekuatan jahat atau dikeramatkan karena dianggap sebagai penghubung dengan roh leluhur dan dunia atas.
ADVERTISEMENT
Secara umum, motivasi penamaan diri dengan nama binatang pada masa Jawa Kuno karena binatang-binatang tertentu dihargai.
“Sebab dianggap memiliki peran penting dalam kebudayaan masyarakat sehingga menempati tempat istimewa di hati pemakainya,” ujarnya.
Keistimewaan itu menurutnya dipengaruhi oleh keterkaitannya dengan dewa-dewa, kedudukannya dalam mitologi Hindu-Buddha, sifat teladan yang tergambar dalam fabel-fabel keagamaan, serta perannya dalam kebudayaan masyarakat Jawa Kuno.
“Fenomena tersebut merupakan salah satu bentuk perwujudan apresiasi budaya masyarakat Jawa Kuno terhadap alam sekitar,” ujar Sasongko. (Widi Erha Pradana / YK-1)