Konten dari Pengguna

Barter Ikan Nelayan dengan Beras Petani, Cara Nelayan Bertahan di Tengah Pandemi

11 Mei 2020 17:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi barter ikan dengan beras. Oleh : ESP
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi barter ikan dengan beras. Oleh : ESP
ADVERTISEMENT
Dampak krisis pandemi virus corona tak memandang bulu. Hampir semua profesi dibuat kelimpungan gegara pandemi, tak terkecuali nelayan. Mengutip data Bapedda DIY, pada 2019 total ada 5.166 nelayan di DIY yang terdiri atas 576 nelayan penuh, 1.459 nelayan sambilan sambilan utama, serta 3.331 nelayan sambilan tambahan.
ADVERTISEMENT
DI DIY, Gunungkidul merupakan kabupaten dengan jumlah nelayan penuh paling banyak, mencapai 344 orang pada 2019. Ketua Himpun Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Gunungkidul, Rujimantoro mengatakan sampai sekarang aktivitas nelayan di Gunungkidul masih normal seperti sebelum pandemi, meskipun harga jual ikan mengalami penurunan cukup drastis.
“Nelayan Gunungkidul masih aktif seperti biasa. Walaupun harganya menurun sekitar 50 persen dengan harga sebelum wabah ini menyebar,” kata Rujimanto ketika dihubungi, Sabtu (9/5).
Tak hanya harga, jumlah tangkapan nelayan menurut Rujimanto juga mengalami penurunan karena mendekati perubahan musim angin timur. Situasi seperti ini menurutnya cukup mengkhawatirkan bagi nelayan, terlebih tak ada yang tahu sampai kapan pandemi ini akan berlangsung.
Adapun yang bisa dilakukan saat ini baru sekadar pembagian 100 paket bantuan dari HNSI Gunungkidul. “Dari HNSI kemarin menyalurkan 100 paket pengayem-ayem per paket berisi masker, sabun, dan beras. Tapi belum merata,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Melihat situasi seperti ini, Rujimanto berharap pemerintah memberikan perhatian lebih kepada nelayan-nelayan yang kini terdampak pandemi.
Barter Ikan Nelayan Indramayu
Sementara itu, nelayan di Indramayu yang tergabung dalam Serikat Nelayan Indonesia (SNI) melakukan barter bahan pangan dengan Paguyuban Tani Tenajar, Indramayu. Inisiatif barter pangan tersebut merupakan gagasan dan aksi bersama melalui gerakan Lumbung Pangan Nelayan.
Sekjen Serikat Nelayan Indonesia (SNI), Budi Laksana mengatakan daripada ikan dibawa ke pasar belum tentu laku mending langsung dibawa ke patani untuk dibarter dengan beras dan sayuran.
“Harganya sudah turun 50 persen saja ikan nggak ada yang beli karena warung dan restoran pada tutup. Ekspor juga susah, makanya inisiatif barter ini penting sekali dimulai,” kata Budi, kemarin.
ADVERTISEMENT
Lumbung Pangan Nelayan bertujuan untuk menggerakkan gotong royong dalam rangka mencukupi kebutuhan pangan sehari-hari sesuai dengan aktivitas produksi yang diusahakan dan dikerjakan.
Saat ini, Lumbung Pangan Nelayan sudah tersedia di empat desa di Jawa Barat, di antaranya di Desa Pabean Udik Indramayu, Desa Karangsong Indramayu, Desa Gebang Udik Cirebon, serta Desa Kebang Kulon Cirebon. Adapun produk pangan yang diolah dari jenis ikan-ikanan mencakup teri jengki, abon ikan tongkol, abon rajungan, gesek layur, dan kembung asap.
“Bahan pangan ikan ini ditangkap dan diolah oleh nelayan dan keluarganya. Harapannya, Lumbung Pangan Nelayan dapat menggerakan sosial dan ekonomi nelayan di tingkal lokal secara berkelanjutan,” lanjutnya.
Krisis Akibat Lambatnya Respons Pemerintah
Menurut Budi, pandemi COVID-19 telah menciptakan ketidakpastian dan kerentanan secara sosial-ekonomi bagi sebagian kelompok masyarakat termasuk nelayan dan pekerja perikanan. Ketidakpastian dan kerentanan itu muncul seiring dengan bahaya kesehatan yang ditimbulkan oleh COVID-19 dan pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sehingga mengakibatkan banyak aktivitas usaha perekonomian lumpuh.
ADVERTISEMENT
Bagi nelayan dan pekerja perikanan, dampak yang paling dirasakan adalah anjloknya harga ikan. Selain itu, pandemi juga mengakibatkan rantai pasok produksi dan distribusi menjadi terganggu serta sebagian pengolahan produk perikanan harus berhenti beroperasi.
Ketidakpastian dan kerentanan kecukupan pangan semakin nyata dan terasa bagi nelayan dan pekerja perikanan. Hal ini menurut Budi karena lambatnya respons pemerintah dalam menyusun strategi yang memadai dalam mengantisipasi dan meminimalisir dampak pandemi.
Pemerintah memang telah merancang bantuan sosial dengan berbagai skema, termasuk imbauan Menteri Kelautan dan Perikanan untuk menyerap produk perikanan dan memasukkan dalam program perlindungan sosial di tingkat provinsi dan kabupaten. “Namun yang seringkali terjadi adalah jauh panggang dari api. Ketidakpastian dan kerentanan ini jika terus dibiarkan maka akan berpotensi menyebabkan kemiskinan dan kerawanan pangan” ujar Budi. (Widi Erha Pradana / YK-1)
ADVERTISEMENT