Konten dari Pengguna

Bertemu Nadafa, Penggila Ilmu Cuaca dan Iklim asal Bantul, Yogyakarta

Pandangan Jogja Com
email: pandanganjogja@gmail.com
12 Januari 2020 16:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Nadafa saat susur sungai. Foto : dokumen pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Nadafa saat susur sungai. Foto : dokumen pribadi
ADVERTISEMENT
Sore itu sekitar pukul tiga sore, Muhammad Nadafa Isnain baru saja selesai rapat kepanitian Olimpiade Geografi tingkat nasional di kampusnya, Fakultas Geografi UGM. Pakaiannya sangat rapi, berbaju batik dan berjas krem kebanggaan anak-anak UGM. Dia adalah mahasiswa semester 3 Geografi Lingkungan di Fakultas Geografi UGM yang menekuni studi meteorologi dan klimatologi.
ADVERTISEMENT
Sebagai mahasiswa Geografi Lingkungan, Nadafa bisa dibilang sebagai mahasiswa yang gila dengan ilmu iklim dan cuaca. Sejak SMP, dia berkali-kali ikut olimpiade di bidang geografi, bahkan sampai tingkat internasional. Olimpiade internasional terakhir yang dia ikuti kala SMA, ia meraih perak di perlombaan yang berlangsung di Kanada itu.
“Dapat medali perak olimpiade internasional memudahkan saya untuk kuliah sampai S2 yang rencananya akan ambil di Ultrecht Belanda atau Chiba Jepang, semua sudah gratis ditanggung beasiswa negara,” kata Nadafa.
Dafa menyebut Ultrecht dan Chiba karena menurutnya dua kampus itu memiliki studi cuaca dan iklim terbaik di dunia dan juga di kedua kampus itu UGM memiliki kerjasama yang kuat.
Nadafa kini sudah bosan ikut lomba. Selama 1,5 tahun menjadi mahasiswa, Dafa, panggilan sehari-harinya, lebih banyak menghabiskan waktu luangnya untuk riset dan mengisi materi di berbagai sekolah, tak hanya di wilayah Yogyakarta, bulan ini dia bahkan akan terbang ke Medan untuk mengisi materi di salah satu SMA di sana. Sebelum Medan, Dafa akan riset geomorfologi di Purworejo dan mengajar di Malang.
ADVERTISEMENT
“Pekan ini saya terlibat di olimpiade geografi mahasiswa tapi sebagai panitia. Jadi baru setelah 16 Februari bisa selo lagi. Saya sudah bosan lomba kecuali lomba riset dan esai ilmiah, lebih suka ke ngajar dan pengabdian masyarakat juga,” kata pemuda asal Bantul itu ketika ditemui di sebuah kedai di dekat UGM pekan kemarin.
Ya, meski baru semester 3, Dafa adalah mahasiswa terbaik di bidang iklim dan cuaca yang dipunyai UGM. Selain jago di aspek keilmuan iklim, Dafa juga begitu mencintai ilmu itu.
“Saya kenal Dafa sejak dia masih SMA di ajang olimpiade geografi. Anak itu salah satu anak yang luar biasa di UGM,” kata dosen dan Pakar Iklim dan Cuaca Fakultas Geografi UGM, Emilya Nurjani.
ADVERTISEMENT
Berawal dari Biang Keringat
Selama hampir 2 jam, Pandangan Jogja @ Kumparan, berbincang dengan Dafa di sela agenda padatnya. Hampir bisa dikatakan, kekaguman dan optimisme akan masa depan ilmu iklim dan cuaca Indonesia, menyeruak selama kami mendengarkan dunia cuaca dari Dafa.
Ketertarikan Dafa pada cuaca sebenarnya berawal dari berbagai kebetulan. Kondisi kesehatan salah satu yang mendorongnya menekuni cuaca.
Kisahnya dimulai dari alergi pada kulitnya ketika berkeringat sejak ia kecil. Sekujur badannya jadi gatal dan panas disertai bintil-bintil merah, Nadafa menyebutnya keringet buntet. Dalam istilah yang lebih umum, apa yang dialami Nadafa dikenal dengan biang keringat. Biang keringat ini terjadi karena saluran keringat tersumbat, sehingga keringat terjebak di bawah kulit dan menyebabkan bintil-bintil merah.
ADVERTISEMENT
“Karena dari kecil begitu, saya jadi punya hobi touring ke gunung, nyari tempat-tempat yang dingin, ke Ijen, Bromo, Dieng, Jawa Barat, yang terakhir saya muter ke Salatiga,” ujarnya.
Dia sengaja selalu memilih tempat-tempat yang dingin untuk meminimalisir produksi keringat, lama-lama dia justru jadi hobi berburu tempat-tempat yang dingin. Dari situ dia kemudian mulai kenal dengan BMKG dan ilmu tentang cuaca dan iklim.
“Kalau mau berangkat iseng-iseng buka cuaca, BMKG, buat nyari tempat-tempat yang dingin. Awalnya enggak sengaja, kepo, akhirnya malah suka mendalami ilmunya,” lanjut Nadafa.
Pesantren dan Orang Jawa
Dafa, tengah, seusai mengajar di sebuah SMA. Foto : dokumen pribadi.
Dua hal yang juga memiliki peran penting dalam studi Dafa mengenai cuaca dan iklim adalah pesantren dan takdir dirinya sebagai orang Jawa.
ADVERTISEMENT
Dafa mengenyam bangku SMP di SMP 1 Pleret Bantul. Ayahnya seorang pensiunan pegawai di PDAM dan ibunya Kepala Taman Kanak-kanak TK Satu Atap – SD Srumbung, Bantul, sebuah sekolah yang menggabungkan TK dan SD dengan ibunya sebagai kepala TK. Sementara kakeknya mengelola sebuah pesantren kecil di Pacar, Bantul, DIY.
Dari TK hingga SD kelas 3 Dafa adalah anak lomba panggung kesenian dari nyanyi, melukis, hingga menari. Kelas 4-6 dia masih rutin ikut lomba, namun sudah banting setir ke lomba bidang studi. Saat awal SMP, gairahnya dengan kehidupan luar sekolah, yakni belajar ilmu agama di pesantren kakeknya sepulang sekolah, membuatnya menjadi jagoan lomba cerdas cermat ilmu agama.
“Baru akhir SMP dan kemudian di SMA saya menekuni geografi karena penasaran dengan ilmu di balik ramalan cuaca BMKG, sampai mewakali Indonesia di ajang olimpiade geografi internasional,” jelas Dafa yang melanjurkan pendidikan SMA di SMA Kesatuan Bangsa Wates Kulon Progo. Ini adalah salah satu SMA Favorit berasrama di Yogya yang disokong oleh Yayasan Islam berasal dari Turki.
ADVERTISEMENT
Kehidupan di pesantren pelosok desa Jawa di Pleret Bantul dan sekolah asrama Islam internasional memiliki peran penting bagi Dafa untuk bisa merasa sejajar dengan siswa-siswa lain yang dia temui saat mengikuti perlombaan di luar negeri.
Ilmu geografi menurut Dafa adalah ilmu yang belajar tentang tidak hanya aspek teknis dari cuaca dan iklim namun juga sejarah hidup manusia dan negara bangsa seluruh dunia. Sehingga setiap perjumpaan dengan siswa lain dari seluruh dunia menjadi pengalaman Dafa untuk mengerti bagaimana sekolah di luar negeri mendidik siswanya.
Dari perjumpaan dengan kompetitor di olimpiade geografi dari Amerika dan Eropa, Dafa tahu bahwa dari dua benua itu, anak-anak muda terbaiknya begitu tergila-gila dengan sejarah bangsanya.
ADVERTISEMENT
“Anak-anak Rusia itu gila. Sejarah negaranya dari sebelum Masehi dia juga ngerti. Siapa musuh negaranya, siapa yang pernah berkawan dengan negaranya, mereka faham betul siapakah dirinya di antara bangsa-bangsa lain di dunia,” papar Dafa.
Sementara anak-anak dari China dan Jepang, sedikit berbeda, lebih faham mengenai identitas budaya bangsanya ketimbang aspek internasional negaranya.
“Anak China dan Jepang lebih menonjol kebanggaan pada aspek budaya mereka. Dampaknya, mereka sangat membanggakan produk negaranya, mereka malu kalau nggak pakai produk sendiri,” jelas Dafa.
Keberuntungan tinggal di lingkungan pesantren dan kejawaan yang sangat kental, Dafa pun sejak kecil telah banyak mendengar bagaimana Jawa dibentuk oleh perjumpaan dengan bangsa-bangsa besar lain di seluruh dunia, baik hindu India maupun periode Islam. Dari Majapahit hingga Mataram Islam, Dafa lama tenggelam oleh sejarah kerajaan-kerajaan Jawa.
ADVERTISEMENT
Jadi menurut Dafa, belajar cuaca dan iklim adalah sebenar-benarnya belajar tentang alam. Sebagai orang Jawa yang mengenal idiom manunggaling kawula gusti, yang artinya menurut Dafa adalah prinsip orang Jawa untuk selalu bisa bersatu dengan seluruh semesta alam.
“Untuk bisa menyatu dengan alam maka saya harus mengenal alam dulu,” katanya.
Dihapus dari Pengetahuan Sejarah dan Alam
Ilustrasi ilmu geografi. Foto : Pixabay
Berbeda dengan kenyataan yang Dafa dapati di lingkungan pesantren dan asrama serta perjumpaan dengan siswa terbaik di luar negeri, anak-anak sebayanya di Indonesia hari ini dia rasakan justru makin tenggelam dalam dunia symbol. Di satu sisi, menurutnya, anak muda banyak tenggelam di dunia symbol keagamaan dan sisi lain kelewat habis di dunia gaya hidup kopi dan fashion.
ADVERTISEMENT
“Saya seperti merasa anak muda Indonesia seperti tidak tahu apa-apa dengan sejarah panjang kita hingga terbentuk menjadi sekarang. Jadi benar-benar tidak tahu sejarah dan ilmu alam, ya, sehingga tersekat-sekat semua,” papar Dafa.
Dafa mengatakan banyak remaja seusianya yang banyak mengaji Islam dengam mengandalkan kajian dari internet. Ekspresi keagamaannya kemudian lebih banyak pada simbol. Tidak boleh mengucapkan natal, meneror orang lain yang tidak berhijab, dan sebagainya.
“Lebih menghormati simbol ketimbang nilai. Paling gampang, mengucapkan selamat natal selalu ribut. Ya itu yang bikin Indonesia mundur. Kalau saya di ponpes, mengucapkan natal ya nggak masalah, selow aja. Itu hanya ucapan bukti kita berbahagia dengan kebahagiaan orang lain. Nggak ada hubungan ama iman,” paparnya.
ADVERTISEMENT
Sementara di circle pergaulan yang lain, remaja seusianya, menurut Dafa begitu menikmati kehidupan yang disokong oleh tren gaya hidup.
“Teman-teman saya juga banyak yang gandrung sama kopi dan fashion, tidak masalah juga asal tidak lupa untuk belajar hal-hal prinsip hidup, alam, agar kita bisa terlibat dalam memperbaiki masalah alam yang sekarang jadi masalah utama manusia seluruh dunia,” papar Dafa.
Bisnis Model Geografi
Ilustrasi pendapat Dafa bahwa ilmu cuaca penting untuk mengembangkan layanan transportasi seperti Gojek. Foto : Pixabay
Ilmu geografi tampaknya membawa Dafa pada pengetahuan yang kompleks tentang kehidupan manusia, tak sebatas pada ilmu tentang iklim dan cuaca. Lebih jauh, ilmu geografi membawa pada pemahamannya akan bisnis dan ekonomi.
Untuk anak seusianya, semester 3 kuliah, kami jarang mendengar idiom business model saat anak muda bicara tentang bisnis. Seringnya, enterpreneurship, kerja keras, marketing, jualan lewat medsos, adalah kata-kata yang terus meluncur dari mahasiswa yang sudah hobi nyari duit. Tapi dari Dafa kami berulang kali dia menyebut business model dan Gojek sebagai perusahaan yang ingin ia nanti bekerja.
ADVERTISEMENT
“Hahaha, kalau business model saya sudah dengar dan belajar sejak olimpiade geografi tingkat kabupaten di SMA kelas 1,” katanya.
Menurut Dafa, geografi tidak hanya belajar aspek teknis namun juga bisnis karena di sana ada pokok bahasan geografi ekonomi. Pengetahuan yang musti dikuasai oleh anak yang ikut olimpiade geografi saat kelas 1 SMA, menurut Dafa, sudah sama dengan ilmu geografi di bangku kuliah.
Maka sudah sejak SMA, Dafa memiliki kecenderungan untuk berkarir di perusahaan rintisan seperti Gojek ketimbang menjadi dosen atau pegawai di BMKG. Tapi buru-buru ia melarang untuk menuliskan bahwa dia tidak ingin jadi PNS. Hanya saja menurutnya, ia lebih membayangkan dirinya terlibat di organisasi yang lebih bebas untuk mengembangkan inovasi.
ADVERTISEMENT
“Kata kuncinya purpose oriented, mengembangkan potensi yang dimiliki. Inovasi. Gojek ini purposed solve everybody problem. Bagaimana memecahkan masalah sehari-hari dengan padat ilmu pengetahuan. Ilmu cuaca penting sekali untuk layanan seperti Gojek,” papar Dafa.
Masih tertarik dengan kisah Dafa, cuaca, dan perusahaan masa depan ? Yuk tunggu kisah selanjutnya Dafa hanya di Pandangan Jogja @kumparan. ( Widi Erha Pradana / Eko SP/ YK-1)