Konten dari Pengguna

Di Jogja, Ada 1.100 Sapi yang 'Merumput' di Tempat Pembuangan Sampah

29 Desember 2020 16:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Beberapa ekor sapi sedang bersantai di atas tumpukan sampah. Foto: Widi Erha Pradana.
zoom-in-whitePerbesar
Beberapa ekor sapi sedang bersantai di atas tumpukan sampah. Foto: Widi Erha Pradana.
ADVERTISEMENT
Selain ratusan manusia, yang mengais rezeki dari tumpukan sampah di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan, Bantul, Yogyakarta, ada juga ribuan sapi. Sedikitnya, 1.100 ekor sapi yang ‘merumput’ di hamparan sampah seluas 10 hektar itu.
ADVERTISEMENT
Ikhsan, 45 tahun, adalah salah seorang pemilik sapi yang terdapat di TPST Piyungan. Dia memiliki lima ekor sapi yang dibiarkan berada di TPST Piyungan siang maupun malam, tak pernah dia bawa pulang kecuali ketika sapi itu mau dijual.
“Pernah ada yang tertukar, hampir berantem yang punya. Tapi jarang,” ujar Ikhsan, Rabu (23/12).
Tapi kejadian sapi yang tertukar menurut Ikhsan sangat jarang terjadi, meskipun nyaris tak ada pemilik sapi yang memberikan tanda khusus pada sapi-sapinya. Ikhsan
Pemilik sapi memang jarang yang memberikan tanda kepada sapi-sapi miliknya. Ikhsa misalnya, dia hanya menandai sapi dari ciri-cirinya, terutama corak bulunya. Menurut dia, setiap pemilik selalu hafal sapi miliknya hanya melihat corak sapinya.
Sapi-sapi di sana juga memiliki nama masing-masing dan telah memiliki hubungan emosional yang kuat dengan juragannya. Ketika dipanggil, mereka akan langsung menghampiri pemiliknya.
ADVERTISEMENT
“Sudah punya nama sendiri-sendiri, udah insting. Ada yang diberi nama Kliwon, Legi, Pahing, ada yang disiulin, tepukin. Ada yang namanya lebih bagus dari kita, ada yang diberi nama Reno, Frida, dan sebagainya,” kata dia.
Karena sejak lahir sudah digembalakan di padang sampah, dan setiap hari memakan sampah-sampah di TPST Piyungan, Ikhsan mengatakan sapi-sapinya kini justru sudah tidak suka memakan rumput. Kendati demikian, sejauh ini tidak ada gangguan kesehatan yang dialami oleh sapinya. Bahkan dia mengatakan sapi-sapinya tetap sehat dan gemuk tanpa tambahan berbagai macam vitamin.
Untuk harga jualnya, menurutnya juga tidak ada perbedaan dengan sapi di peternakan yang setiap hari diberi pakan rumput. Penentuan harga hanya berdasarkan pada bobot dan ukuran sapi.
ADVERTISEMENT
“Engak doyan rumput malah, cuman dari sampah itu, itu makannya cuman kayak gitu,” ujar Ikhsan.
Dari Plastik, Selang, sampai Cincin Emas
Berbeda dengan Ikhsan yang melepaskan begitu saja sapi-sapi miliknya, Sudiyono, 40 tahun, memilih untuk membawa pulang sapi-sapinya ke kandang ketika sore hari. Baru ketika pagi atau siang, dia akan menggembalakan sapinya ke lokasi pembuangan sampah.
“Kalau hilang enggak, tapi kan kasihan kalau di sana, apalagi musim hujan kayak sekarang,” ujar Sudiyono.
Sudiyono mengatakan kalau sapi-sapinya memang tidak pernah mengalami masalah kesehatan yang serius. Sapi-sapinya tetap sehat dan gemuk, paling tidak secara kasat mata.
Namun ketika disembelih, di dalam perut sapi terdapat berbagai macam benda yang mestinya tidak dia makan. Pernah di dalam perut sapi ditemukan plastik, selang, bahkan cincin emas.
ADVERTISEMENT
“Itu dulu ada yang nemu emas, setengah gram atau berapa,” ujarnya.
Sebenarnya menurut dia, sapi memiliki insting seperti manusia. Sapi tahu mana benda yang bisa dia makan dan mana yang tidak bisa. Mereka akan mengeluarkan benda-benda asing yang sulit dicerna oleh tubuhnya.
“Tapi ada juga sapi yang bodoh dia akan asal makan, tidak pilih-pilih. Sehingga ada yang makan plastik, bahkan selang, tapi enggak mati juga,” lanjutnya.
Cara Masyarakat Menetralisir Sapi dari Racun
Tidak semua sapi di TPST Piyungan milik penduduk sekitar, sebagian ada yang milik orang-orang kota. Juru Bicara Paguyuban Masyarakat Desa Bawuran Guyub Rukun sekaligus Ketua Kelompok Pemulung Mardiko TPST Piyungan, Maryono, 53 tahun, mengatakan orang-orang kota sengaja membeli sapi dan melepaskannya di TPST Piyungan sebagai bentuk investasi.
ADVERTISEMENT
“Karena kalau dimasukkan ke bank kan bertambahnya enggak seberapa, makanya dibelikan sapi,” kata Maryono.
Awalnya, hanya ada satu orang yang menggembalakan sapinya di TPST Piyungan ketika awal-awal dibuka pada seperempat abad silam. Orang tersebut kata Maryono dimarahi oleh tetangga-tetangganya, karena takut sapi miliknya keracunan dan mati.
“Ternyata bagaimana? Tidak keracunan, tidak mati, justru menjadi gemuk. Makanya warga sekitar TPST lalu ikut melepasliarkan sapi di sampah,” ujarnya.
Meski begitu, Maryono tidak menampik pengaruh buruk yang dialami oleh sapi-sapi pemakan sampah di TPST Piyungan. Karena setiap hari memakan sampah yang kandungannya tidak bisa dikontrol, sudah pasti daging-daging sapi tersebut menjadi mengandung zat yang tidak semestinya.
Tetapi masyarakat setempat punya cara bagaimana caranya menetralkan tubuh sapi pemakan sampah itu ketika akan dijual. Menurut Maryono, tiga bulan sebelum dijual atau dipotong, sapi-sapi itu akan dikarantina.
ADVERTISEMENT
“Dalam artian, tidak dilepasliarkan di sampah, tapi dikandangkan, kasih makan rumput, bekatul, dedak, dan sebagainya, insyaallah setelah tiga bulan nanti akan sehat, higienis, dikonsumsi manusia tidak mengandung zat timbal lagi yang menyebabkan penyakit kanker itu,” kata Maryono.
Cara beternak sapi seperti itu menurut Maryono sangat memangkas biaya. Sebab, peternak tidak perlu lagi mencarikan pakan, minum, konsentrat, dan tidak perlu mengawinkan juga.
“Jadi sangat hemat,” ujarnya. (Widi Erha Pradana / YK-1)