Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
IDEA Temukan 53 Kasus Penyelewengan Dana Bansos COVID-19 di DIY
6 Agustus 2020 20:17 WIB
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Penyaluran bantuan sosial (bansos) kepada rakyat yang terdampak pandemi COVID-19 di Provinsi DIY banyak diselewengkan oleh aparat. Total ada 53 kasus penyelewengan dengan Kabupaten Bantul sementara memiliki kasus terbanyak dengan 33 kasus, disusul 7 kasus di Sleman, 5 kasus di Gunungkidul, 4 kasus di Kota Yogyakarta, 1 kasus di Kulon Progo, serta 3 kasus yang terjadi di tingkat provinsi.
ADVERTISEMENT
Demikian yang terungkap dalam konferensi pers daring yang digelar Ide dan Analitika Indonesia (IDEA) Yogyakarta, Kamis (6/8).
Peneliti IDEA Yogyakarta, Ahmad Hedar, mengatakan ada beberapa modus dan titik rawan penyalahgunaan yang disoroti karena sering terjadi dalam penyaluran bantuan sosial. Potensi penyalahgunaan tersebut di antaranya politisasi bantuan, bantuan tidak tepat sasaran, penyaluran atau penerimaan ganda, pemotongan nilai bantuan, serta pungutan liar.
“Metode pemantauan yang kami lakukan yaitu dengan membuka posko aduan, melakukan penelusuran di media massa, kajian dokumen, serta wawancara mendalam, baik ke pelapor maupun terlapor,” kata Ahmad Hedar.
Total 53 kasus yang ditemukan, barulah hasil dari pemantauan periode pertama sejak Mei sampai Juli dan berpotensi terus bertambah seiring waktu. “Wilayah yang paling banyak kasus dalam penyaluran program Jaringan Pengamanan Sosial itu adalah Kabupaten Bantul, yang kita data sejauh ini sudah ada 33 kasus, disusul Sleman, Gunung Kidul, Kota Yogya, Provinsi, dan Kulon Progo,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Setikdanya ada lima jenis bantuan yang menjadi fokus pemantauan IDEA di Yogyakarta, yakni Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BNPT), Bantuan Sosial Tunai (BST), Bantuan Provinsi/Kabupaten, serta Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT-DD).
Bantuan Tidak Tepat Sasaran Paling Banyak Terjadi
Dari 53 kasus yang sudah terdata oleh IDEA sejauh ini, kasus yang paling dominan adalah penyaluran bantuan yang tidak tepat sasaran. Kasus ini dibagi menjadi dua jenis, yakni exclusion error dan inclusion error. Exclusion error yakni warga terdampak COVID-19 namun tidak terdaftar dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan tidak menerima bantuan. Sedangkan inclusion error yakni warga dengan kriteria mampu yang tidak layak menerima bantuan tapi justru menerima bantuan sosial.
ADVERTISEMENT
“Berdasarkan jenis pelanggaran itu paling banyak memang didominasi oleh aduan atau temuan soal ketidaktepat sasaran. Jadi ada 45 kasus tidak tepat sasaran bantuan tanggap darurat penanganan COVID ini,” ujar Hedar.
Baru sisanya merupakan kasus pemotongan bantuan, penggelapan, penyaluran ganda, serta transparansi data. Hedar mengatakan tingginya angka tidak tepat sasaran bantuan ini tidak terlepas dari masalah mekanisme pendataan, baik dari proses verifikasi, validasi, sinkronisasi, serta pembaruan data.
“Kita tahu bahwa data yang dipakai oleh Kementerian Sosial merupakan data yang di-update terakhir pada tahun 2015. Ini yang kemungkinan berkontribusi pada tingginya angka tidak tepat sasaran,” lanjutnya.
Padahal, kondisi perekonomian masyarakat terus mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Meski pemerintah desa sudah dianjurkan untuk melakukan verifikasi DTKS, namun hal itu tidak menunjukkan hasil yang efektif.
ADVERTISEMENT
“Hal ini terbukti dari adanya kasus yang muncul, misalnya warga yang saat ini masuk kedalam DTKS namun kondisi perekonomian keluarga sudah relatif sejahtera,” ujarnya.
Selain itu, ada beberapa faktor lain yang juga menyebabkan tingginya kasus tidak tepat sasaran penyaluran bansos. Pertama, adanya perbedaan metode pendataan. Pada jenis bantuan Program Keluarga Harapan (PKH), metode pendataan yang digunakan berbasis rumah tangga, sementara pada penyaluran Bantuan Sosial Tunai (BST) berbasis pada warga yang terdampak.
Perbedaan metode ini berdampak pada adanya warga yang menerima bantuan ganda, sementara di sisi lain ada warga yang seharusnya berhak menerima bantuan namun tidak menerima.
Faktor kedua adalah persoalan tata kala atau waktu penyaluran. Pemerintah, kata Hedar belum memiliki peraturan mengenai urutan penyaluran bantuan kepada warga yang berhak menerima. Sedangkan jenis program bantuan sosial memiliki banyak jenis yang disalurkan pada periode waktu yang sama.
ADVERTISEMENT
“Hal ini berdampak pada dua jenis bantuan yang berbeda disalurkan dalam waktu yang bersamaan dengan penerima manfaat yang sama pula,” lanjutnya.
Politisasi sampai Penggelapan Bantuan
IDEA juga menemukan adanya dugaan politisasi penyaluran bantuan COVID-19. Indikasi pelanggaran itu ditemukan di Kabupaten Sleman, tepatnya di Desa Hargobinangun, Purwobinangun, serta Pandowoharjo. Di lokasi itu, diduga ada keterlibatan partai politik dalam penyaluran dana bantuan COVID-19.
Dari persoalan itu kemudian muncul beberapa dampak turunan, seperti adanya penerima yang merupakan pensiunan PNS, ada juga penerima yang memiliki usaha warung makan yang sampai sekarang masih beroperasi, sehingga seharusnya tidak layak menerima bantuan.
“Proses itu yang sedang kita dalami, apakah kemudian betul, karena pelapornya ada, terlapornya juga ada, tinggal verifikasi yang masih dalam tahap pendalaman,” ujar Hedar.
ADVERTISEMENT
Di Bantul, ditemukan juga indikasi kasus pemotongan dana bantuan sosial, tepatnya di Desa Srihardono, Pundong. Ada informasi pemotongan bantuan sosial sebesar 50 persen oleh salah seorang ketua RT dengan alasan untuk dibagikan kepada anak yatim piatu. Alasan seperti itu sebenarnya lazim sebagai upaya pemerataan bantuan. Persoalannya adalah ketika penerima bantuan tidak bersedia bantuannya dipotong.
Ada juga kasus penggelapan di Bantul, tepatnya di Desa Trimurti, Srandakan. Ada indikasi penggelapan dana bantuan sebesar kurang lebih Rp 8 juta yang dilakukan oleh pendamping PKH. Ada dua penerima bantuan PKH yang sudah mundur dari penerima PKH, dan telah menyerahkan kartu penerima bantuan kepada pendamping PKH. Tetapi kemudian ditemukan ada penarikan dana bantuan oleh pendamping yang bersangkutan.
ADVERTISEMENT
“Kasus ini ditemukan saat pencairan tambahan bantuan dari APBD DIY,” ujar Hedar.
Dari permasalahan penyaluran bantuan COVID-19 di DIY, menurut Hedar ada dua hal yang harus dilakukan oleh pemerintah. Pertama pemerintah harus melakukan sinkronisasi hasil update data DTKS antara pusat dan daerah.
“Yang kedua, pemerintah harus memuat aturan tentang tata kala atau waktu penyaluran antara jenis bantuan yang lain,” ujar Hedar. (Widi Erha Pradana / YK-1)