Konten dari Pengguna

Kelahiran Nyi Blorong di Kedung Pengilon, Bantul, Yogyakarta

2 November 2019 17:57 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kedung Pengilon Bantul pada akhir Oktober 2019. Foto oleh Max Maul
zoom-in-whitePerbesar
Kedung Pengilon Bantul pada akhir Oktober 2019. Foto oleh Max Maul
ADVERTISEMENT
Daun kering meranggas di pucuk sebagian besar pohon jati yang mengelilingi dusun, jalan desa yang retak di sana-sini, semilir angin yang menghantam tumpukan daun jati kering di pinggir jalan, dan siulan burung kutilang, mengantarkan sore di Dusun Petung Desa Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada Selasa (29/10) lalu.
ADVERTISEMENT
Berjarak sekitar 20 menit dari pusat kota Yogyakarta, jalan masuk dusun itu bukanlah jalan dengan suasana nyaman untuk mengunjungi tempat wisata yang mengandalkan air sebagai daya magis utama. Kematian, beberapa kali datang di Kidung Pengilon, dan saya terus saja diterjang penasaran.
Menyusuri jalan setapak menuju Kedung Pengilon yang dibangun oleh hibah pemerintah daerah, hanya kesunyian yang eksis. Pohon jati bersisihan dengan pohon kelapa, tak ada gemericik air terjun tak ada cericit burung, tak ada manusia lain. Hanya gonggongan anjing liar di kejauhan.
Siang itu, air di kedung berwarna hijau keruh, bekas dupa dibakar tampak melipir di beberapa bagian bibir kedung, beberapa batu besar berbentuk pipih landai seperti jadi tempat orang bertapa.
ADVERTISEMENT
“Ini waktu yang enggak tepat untuk ke sini, Mas. Air terjun yang menjadi keunikan Kedung Pengilon tidak mengalir,” kata pengurus Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) bernama Pardal, ramah sekali.
Dia tidak tahu, saya datang tidak untuk wisata. Tapi, sebagaimana keramahan penduduk Jogja, Pardal dengan senang hati memberi tahu tetua desa yang bisa bercerita banyak tentang sisi mistis dari Kidung Pengilon.
Kematian 5 Perjaka Belasan
Tepi Kedung Pengilon. Foto oleh : Juan Baha
Tetua Dusun Petung itu bernama Mbah Sugiyanto. Pria berumur 70 tahun ini tinggal di rumah yang dikelilingi pepohonan jati.
Mbah Sugi, tanpa tedeng aling-aling, langsung membuka kisahnya dengan sosok penunggu Kedung Pengilon bernama Mbah Jenggot atau Mbah Werso.
“Menurut cerita kakek saya, Mbah Werso menunggu Kedung Pengilon sudah ratusan tahun. Dan sosoknya itu membawa kedamaian dan kebajikan,” terang Mbah Sugi, panggilan sehari-hari Mbah Sugiyanto.
ADVERTISEMENT
Raut mukanya seketika berubah ketika saya bertanya, bagaimana dengan kondisi Kedung Pangilon sekarang, apakah masih dijaga oleh Mbah Werso?
Kegusaran tampak dari tatapan matanya yang tajam. Ia berpendapat bahwa sekarang Kedung Pengilon dalam situasi berbahaya. Menurutnya, itu terjadi bukan karena faktor wisatawan, namun terkait dengan dimensi tak kasat mata. Berkali kali lelaki paruh baya itu mengungkapkan kata gawat dan rawan.
“Dulu hanya simbah jenggot, sekarang ada banyak yang datang. Termasuk nini (nyi) Blorong, saya pernah bertemu langsung,” ucapnya mantap.
Hutan Jati yang mengelilingi Dusun Petung Desa Bangunjiwo Bantul DIY.
Mbah Sugiyanto menghela nafas panjang, lalu menceritakan kisahnya bertemu dengan Nyi Blorong.
Pada tahun 2010 Mbah Sugi bersama istri bermaksud mencari jimat di Kedung Pengilon. Ia dan istrinya mengazamkan diri untuk tidur selama 7 hari 7 malam di Kedung Pengilon. Mereka tidur di batu mirip dipan yang ada di sekitar air terjun. Di malam ketiga, hal misterius terjadi pada istri Mbah Sugi.
ADVERTISEMENT
Di malam ketiga yang hening itu, Istri Mbah Sugi mendapatkan tanda aneh di tubuhnya, sebuah tanda mirip tato di beberapa bagian tubuh sang istri. Istri mbah Sugi menduga dirinya telah diraih oleh tangan-tangan jahat untuk masuk dalam proses menjadi tumbal. Istri Mbah Sugi yang ketakutan, memilih menyerah, pulang, dan tidak melanjutkan ritual. Tinggal Mbah Sugi sendirian hingga 7 hari 7 malam.
Melewati waktu sendirian, hanya keheningan yang menemani Mbah Sugi. Tiada yang lain. Baru di malam terakhir, mendadak Mbah Sugi mengalami keanehan. Tubuhnya kaku, mulutnya tidak bisa berkata kata, namun penglihatannya jalan. Tiba-tiba, datang sesosok wanita cantik berkulit putih menegurnya.
“Sudah, bukan hanya jimat tapi saya bantu semua yang kamu mau,” kata sosok itu. Belum usai keterkejutan Mbah Sugi, sosok misterius tersebut melanjutkan ucapannya, “tapi hidup dengan saya dan tinggalkan istrimu.”
ADVERTISEMENT
Sontak, Mbah Sugi menolak tawaran yang menggoda tersebut. Komitmennya terhadap istri tidak bisa ditukar dengan dunia. “Saya mengutamakan isteri saya mas dibanding yang lain,” tegasnya.
Peresmian Kedung Pengilon sebagai tempat wisata pada tahun 2012 tak serta merta membuat Mbah Sugiyanto tenang, justru ia semakin curiga pengaruh dimensi tak kasat mata di Kedung Pengilon semakin membahayakan. Pertama, kekeringan dan surutnya air belum pernah terjadi sebelum dibuka sebagai tempat wisata. Namun, setelah dibuka, justru sering terjadi kekeringan dan surutnya air terjun.
Anak perempuan Mbah Sugi yang bernama Yanti, 31 tahun, turut menguatkan pendapat ayahnya, “iya mas, dulu subur rimbun dan airnya mengalir meskipun kemarau, sekarang gersang dan airnya tidak mengalir.”
Kedua, lima kematian yang terjadi di Kedung Pengilon sejak dibukanya sebagai tempat wisata, bukanlah sembarang kematian.
ADVERTISEMENT
Menurut Mbah Sugi, para korban memiliki tiga kesamaan utama, yakni, berjenis kelamin laki laki, berusia belum 20 tahun, dan belum menikah.
Ia menghela nafas sejenak sebelum meneruskan ceritanya. Para korban ternyata bukan hanya orang luar yang tidak tahu medan sehingga bisa saja tenggelam di kedung karena terpeleset. Warga sekitar Kedung Pengilon yang tahu benar medan di sekitar kedung pun turut menjadi korban. “Termasuk keponakan saya mas,” katanya.
Keanehan ketiga, korban yang tenggelam sulit untuk diangkat dan mayatnya berpindah-pindah ke bagian tersulit kedung ketika akan diambil dari Kedung Pengilon. Pada satu proses pengangkatan jenazah, bahkan sepuluh orang dewasa warga dusun setempat pun tidak bisa mengangkat mayat, hingga harus memanggil bantuan dari pesisir pantai selatan.
ADVERTISEMENT
“Semua korban seperti itu semua mas, kecuali keponakan saya yang ditemukan mengapung,” beber Mbah Sugi.
Cermin Jaman
Mbah Sugi (kanan) saat melayani wawancara Juan Baha (kiri) dan Max Maul (yang memotret).
Sebagai anggota kelompok sadar wisata Kedung Pengilon, Pardal tak menolak bahwa kedung tersebut dimaknai mistis atau angker oleh sekelompok orang. Faktanya, kedung itu memang kerap digunakan untuk Ritual Ngalap berkah atau mencari berkah. Bukan cuma penduduk lokal, tapi juga banyak dari mereka yang melakukan ritual datang dari berbagai wilayah penjuru Nusantara.
“Banyak calon dewan atau calon pejabat lain yang minta berkah supaya terpilih, jadi memang begitulah mas, dipercaya begitu. Benar-atau tidaknya ya silahkan buktikan,” ungkapnya.
Malam Jumat Kliwon menjadi waktu yang menjadi favorit para pencari berkah untuk berkunjung. Lokasi yang digunakan tidak tentu asalkan masih berada dalan wilayah Kedung Pengilon.
ADVERTISEMENT
Tapi menurut Pardal, kematian yang terjadi di Kedung Pengilon tidak terkait dengan dimensi lain. Menurutnya, itu murni karena kecelakaan biasa. "Namanya orang banyak, ada yang mengkaitkan dengan mitos-mitos apalah, itu terserah saja,” jelasnya.
Terlihat tak terlalu nyaman berbicara tentang kematian di Kedung, Pardal melanjutkan ceritanya mengenai keterkaitan Kedung Pengilon dengan Keraton Yogyakarta. Sultan HB IX disebut oleh Pardal kerap mengunjungi Kedung Pengilon untuk beristirahat dengan keluarganya. Ia tak menjelaskan mengapa Sultan HB IX memilih lokasi Kedung Pengilon.
Sebuah kisah unik yang didengar Pardal, burung penting milik kraton yang lepas dan tak ketemu dicari dimana-mana, akhirnya ditemukan oleh abdi dalem di Kedung Pengilon yang padahal letaknya puluhan kilometer dari kraton.
ADVERTISEMENT
Kedung atau mata air ini bernama Pengilon karena pada jaman dulu, kejernihan air di sana dapat digunakan untuk ngilo (bercermin). Saking jernihnya, burung yang sedang terbang di langit pun akan terlihat pantulannya di muka air Kedung Pengilon.
“Sekarang kalau kemarau airnya hijau dan kalau musim penghujan deras-derasnya kena banjir, jadi tidak bisa seperti itu lagi,” kata Pardal.
Sisi timur Kedung Pangilon. Foto oleh : Max Maul.
Kedung Pengilon, berada di perdesaan sisi barat daya Yogyakarta yang kini hendak bermetamorfosis menjadi rural urban. Beberapa kampus berdiri tak jauh dari sana dan akan ada kampus negeri besar yang telah bersiap menambah putaran ekonomi berbasis pendidikan di Yogyakarta. Karenanya, perumahan juga banyak didirikan di sana dan dijual dengan harga rata-rata mendekati Rp 1 milyar dengan luasan 100-an meter persegi saja.
ADVERTISEMENT
Menutup ceritanya, Mbah Sugi mengutip cerita dari orang sakti yang pernah mengunjungi Kedung Pengilon. Selain Nyi Blorong, di sebelah selatan kedung kini terdapat pagar bambu tak kasat mata yang atasnya tertancap mayat korban yang meninggal, sisi utara terdapat Mbah Werso, di area kamar mandi Kedung Pengilon terdapat Genderuwo.
“Belum lama ini ada yang cerita ke saya tentang itu mas,” tegasnya mantap.
Matahari nampak tidak terang lagi, langit berwarna merah, dan adzan maghrib berkumandang. Saya lalu berpamitan kepada Mbah Sugi dan keluarganya. (Max Maul dan Juan Baha / YK-1)