Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Memahami Aksi Konvoi Kelulusan Anak SMA, Jangan Melulu Salahkan Mereka
4 Mei 2020 19:36 WIB
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di tengah pandemi, masyarakat terutama warganet dibuat geram oleh tingkah sejumlah siswa-siswi SMA yang baru saja dinyatakan lulus. Salah satu video yang membuat banyak orang geram adalah aksi pelajar sebuah SMA di Tanjungpinang, Kepulauan Riau yang tidak hanya melakukan konvoi kelulusan tapi juga melakukan vandalisme.
ADVERTISEMENT
Kabar terbaru, sejumlah siswa dalam video tersebut telah diamankan aparat dan diberikan hukuman mengecat kembali Tugu Motivasi Pemuda berupa patung pelajar di simpang tiga kalan Wiranto, jalan Soekarno Hatta, dan Batu Hitam Tanjungpinang yang mereka coret-coret ketika konvoi. Tak hanya itu, di bawah teriknya sinar matahari, mereka juga dihukum untuk hormat pada patung pelajar tersebut.
Sejumlah foto aksi konvoi pelajar SMA lainnya yang beredar di Twitter juga membuat geram warganet. Tak hanya konvoi dan corat-coret seragam, pose mereka dalam foto tersebut juga dinilai tidak senonoh. Unggahan itu langsung disambar oleh akun resmi @Itjen_Kemendikbud. “Jika ada informasi nama sekolahnya ya kak, agar kami koordinasikan melalui dinas pendidikan setempat. Salam,” tulis @Itjen_Kemendikbud akhir pekan.
ADVERTISEMENT
Namun jadi pertanyaan sejumlah ahi pendidikan adalah, kenapa euforia pelajar ketika lulus sekolah begitu besar, seolah mereka baru saja lepas dari bui yang sudah sekian lama memenjara kebebasan mereka.
Dosen Psikologi UGM yang juga Co-Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), Novi Poespita Candra mengatakan pelajar tidak bisa disalahkan sepenuhnya atas apa yang mereka lakukan. Pasalnya, anak-anak dibangun dari kebiasaan turun-temurun serta kebiasaan sekolah dan masyarakat. “Kalau mereka tidak diarahkan mereka hanya tahuya mengulang saja perilaku biasanya,” kata Novi Poespita Candra ketika dihubungi, Senin (5/4).
Merayakan Kebebasan dari Sekolah yang Membosankan
Dari penelitian yang telah dilakukan oleh Novi Poespita Candra terhadap pelajar SMA di Yogyakarta dan Jawa Tengah, ditemukan bahwa persentase jawaban tertinggi ketika anak mendengar kata sekolah adalah bosan. Mengapa? Alasan terbanyak karena dalam proses belajar mengajar terlalu banyak teori dan mengerjakan soal, minim praktik.
ADVERTISEMENT
“Beruntung ada teman-teman, faktor yang membuat mereka termotivasi berada di sekolah,” kata Novi Poespita Candra.
Sehingga bisa dimengerti mengapa kelulusan menjadi euforia tertinggi yang dirasakan oleh mereka. Selain terlepas dari rasa bosan di sekolah, mereka juga merasa bahwa kelulusan merupakan capaian yang luar biasa. “Apalagi dahulu ada status tidak lulus, maka kelulusan adalah capaian yang melegakan,” lanjutnya.
Sifat remaja yang selalu ingin diakui eksistensinya kemudian membuat mereka ingin menunjukkan pada sekitarnya bahwa mereka adalah bagian dari orang-orang yang sukses melampaui ujian maha tinggi, yaitu sekolah mereka. Sehingga, mereka melakukan konvoi beramai-ramai dan mencoret-coret seragam sebagai tanda kebebasan.
“Ya, kelulusan berarti dimulainya kebebasan yang digambarkan dengan simbol bebas untuk tidak harus memakai seragam, simbol dari keseragaman yang selalu diciptakan oleh sistem pendidikan,” jelas Novi.
ADVERTISEMENT
Mengajak Siswa Memaknai Arti Kelulusan
Novi menjelaskan, perlu adanya perubahan orientasi anak-anak remaja mengenai tujuan sekolah dan bagaimana memaknainya. Novi menyitir Daniel Goleman, seorang pakar kecerdasan sosial dan emosi yang menemukan bahwa ketika seorang manusia tidak pernah atau jarang diajak belajar berdasar pengalaman dan berpikir reflektif, maka dia akan banyak menggunakan jalur berpikir ‘rendah’ atau low order thinking yang instan, emosional, dan kurang komprehensif.
“Sementara belajar berdasar pengalaman dan berpikir reflektif melatih remaja untuk berpikir jalur 'atas' atau high order thinking sehingga mereka dapat berpikir rasional, matang, dan komprehensif,” ujar Novi.
Selain mengubah kultur belajar siswa SMA di sekolah, penting juga sekolah mengajak mereka untuk berpikir reflektif tentang apa sebenarnya makna kelulusan, pentingkah mereka melakukan konvoi, kira-kira apa yang mereka rasakan dan dapat dilakukan saat kelulusan yang lebih positif namun masih memenuhi kebutuhan dasar manusia tertinggi, yakni eksistensi.
ADVERTISEMENT
“Salah satu contoh mungkin anak-anak justru diajak melakukan aksi sosial bersama ke masyarakat saat kelulusan, sebagai bentuk rasa syukur, juga membangun kebermaknaan dan eksistensi remaja dengan cara yang positif dan bermanfaat,” jelasnya.
Akan Tetap Ada Konvoi Meski Tidak Ada UN
Aksi konvoi di jalanan untuk merayakan kelulusan dari bangku SMA sudah menjadi semacam ritual yang wajib dilakukan setiap tahun. Sebelumnya, ujian nasional (UN) dianggap menjadi salah satu pendorong para pelajar merasakan euforia atas kelulusannya sehingga merayakannya dengan aksi konvoi dan coret-coret seragam di jalanan.
Selama ini, UN menjelma menjadi sosok yang begitu menakutkan bagi setiap siswa. Akibatnya siswa mengalami rasa cemas berlebih karena takut tidak mampu menjawab soal-soal UN dan gagal lulus. Sebelum UN, guru juga memberikan latihan-latihan soal yang terlalu banyak sehingga siswa semakin terbebani.
ADVERTISEMENT
“Namun kini kan tidak ada UN, tapi masih ada selebrasi, jadi itu kebiasaan, karena sudah terlepas dari masa sekolah,” ujar Kepala Pusat Studi Kreativitas, Literasi, dan Pembelajaran Sepanjang Hayat Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Pangesti Wiedarti.
Meski ke depan UN sudah tidak ada lagi, Pangesti memprediksi ritual kelulusan ini akan tetap dilakukan. Pasalnya, masa SMA adalah masa hura-hura, dimana kebersamaan mereka sangat tinggi. Lain dengan masa kuliah, meski ada kebersamaan namun tiap mahasiswa dituntut untuk mandiri dan harus punya manajemen diri.
“Jadi, saya pikir mereka tetap akan lakukan ritual itu. Bagi saya itu wajar saja sejauh ada tanggung jawab terhadap keselamatan diri,” lanjutnya.
Sekolah, menurut Pangesti sebenarnya bisa melakukan kegiatan-kegiatan yang sederhana untuk mencegah anak-anaknya melakukan konvoi pascadinyatakan lulus. Misalnya, setiap siswa diminta membawa makanan atau cemilan kesukaannya untuk kemudian berbagi dan makan bersama. Lebih bagus lagi jika para siswa diberi kuisioner minat dan bakat sebagai bekal mereka dalam memilih jurusan kuliah yang tepat nantinya.
ADVERTISEMENT
Tekanan Stigma Predikat Lulus dari Masyarakat
Di satu sisi, Nur Zuhaida, Analis Pendidikan di Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olah Raga (Disdikpora) DIY, merasa gembira melihat ungkapan rasa dan kreativitas para pelajar SMA yang baru saja lulus. Tapi di sisi lain, dia juga mengkhawatirkan aksi tersebut menyebabkan ekses dan berisiko mengancam keselamatan mereka maupun orang-orang di sekitarnya seperti kecelakaan, tawuran, dan sebagainya.
Tekanan sosial dan stigma dari masyarakat terkait nilai serta predikat kelulusan menurut Nur Zuhaida adalah salah satu faktor utama yang membuat selalu saja ada konvoi kelulusan setiap tahunnya. Stigma masyarakat bahwa tidak lulus sekolah adalah hal yang memalukan akan membuat anak-anak tertekan dan minder karena mereka merasa tidak memiliki kemampuan. “Belum lagi proses belajar mengajar yang masih kurang mempedulikan minat bakat siswa, membuat siswa jengah di sekolah setiap harinya,” ujar Nur Zuhaida ketika dihubungi.
ADVERTISEMENT
Tekanan itu kemudian mendorong anak-anak untuk melakukan euforia yang begitu tinggi. Terlebih hal ini sudah menjadi rutinitas dari tahun ke tahun, hingga muncul anggapa di tengah mereka bahwa anak yang ikut eforia adalah anak yang keren.
Di sisi lain, kata Ida, sapaan Nur Zuhaida, pemerintah dan sekolah belum bisa sepenuhnya memberikan tempat untuk para siswanya melampiaskan euforia secara positif namun tetap asyik dan menyenangkan sesuai dunia mereka. “Misalnya difasilitasi adanya ajang konser, sehingga mereka bisa merayakan keberhasilannya dengan menggembirakan cukup di sekolah, misalnya mau coret-coret baju ya di sekolah dan enggak sampai gebar-geber di jalan yang bisa mengundang risiko dan memicu lepas kontrol,” lanjut Ida.
Akan lebih baik lagi jika ajang penyaluran luapan rasa bangga dan bahagia itu diselipi dengan penanaman rasa sosial dan penekanan ungkapan rasa syurkur yang tepat. Misalnya bagi-bagi nasi bungkus ke tukang becak, sungkeman atau memberi bunga ke orangtua dan guru, menyemangati teman-teman mereka yang belum berhasil, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Otoritas pendidikan menurut Ida harus dapat memahami euforia anak dan memberikan fasilitas untuk siswa dapat mengekspresikan kebahagiaannya secara positif. Bisa dituangkan lewat kegiatan seni, sosial, atau kegiatan-kegiatan positif lainnya.
“Selain itu, penialaian keberhasilan belajar sebaiknya jangan cuman ditentukan dari ujian. Menurut saya sudah saatnya indonesia pakai sistem rekomendasi sama penjurusan buat SMP dan SMA,” ujarnya.
Sistem rekomendasi ini maksudnya sekolah akan merekomendasikan anak-anaknya ke mana dia harus melanjutkan setelah lulus. Rekomendasi itu nantinya akan menjadi bahan pertimbangan bagi SMA atau perguruan tinggi yang mau dimasuki mereka. “Jadi jangan sampai anak yang jenius atau memiliki keunggulan di bidang tertentu malah enggak bisa ke mana-mana karena nilai matematika atau IPA-nya jelek,” tegas Ida.
ADVERTISEMENT
Intinya menurut Ida, semua pihak harus memahami dunia dan kebutuhan anak-anak namun tetap diiringi dengan pendampingan yang baik sehingga mereka benar-benar bisa bahagia menikmati dunianya secara benar. “Komunikasi dialogis dengan prinsip saling hormat dan rasa cinta harus selalu dilakukan,” pungkasnya. (Widi Erha Pradana / YK-1)