Mengenang Kesederhanaan Natal ala Romo YB. Mangunwijaya
email: [email protected]
Konten dari Pengguna
24 Desember 2019 16:10 WIB
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tidak pernah ada perayaan-perayaan glamor di perayaan natal Yusuf Biliyarta Mangunwijaya atau dikenal dengan panggilan Romo Mangun. Tidak ada pesta, tak ada makanan dan minuman mewah di rumah Romo Mangun di Gang Kuwera 14, Mrican, Sleman, Yogyakarta, yang kini menjadi sekretariat Yayasan Dinamika Edukasi Dasar (DED).
ADVERTISEMENT
Romo Mulyatno, Ketua DED, mengenang kembali bagaimana Romo Mangun merayakan natal. Romo Mangun tidak pernah memaknai kedatangan natal sebagai perayaan ritual saja.
“Tetapi Natal itu adalah penghayatan hidup sehari-hari ketika berpihak, peduli, dan juga sungguh-sungguh bela rasa kepada manusia,” kata Romo Mul ketika ditemui di DED, Sabtu (21/12).
Bagi Romo Mangun, natal diperingati setiap hari, bukan hanya pada 25 Desember saja. Natal adalah tanda kasih sayang, belas kasih, dan keberpihakan Tuhan yang penuh cinta kepada manusia agar semua manusia selamat. Dan selamat itu konkret sejak manusia berada di dunia, tidak ada keselamatan kekal jika di dunia tidak selamat.
“Lah bagaimana bisa memahami di sana (akhirat) itu ada damai sejahtera, ada keadilan, ada orang saling mengasihi, kalau di dunia ini tidak pernah punya pengalaman itu,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Pada 25 Desember, Romo Mangun dan Umat Kristiani merayakan natal secara ritual, di mana misa natal berlangsung hingga 6 Januari. Tetapi natal sebagai keberpihakan Tuhan yang penuh cinta dan penyayang kepada manusia, harus menjadi semangat hidup sehari-hari. Romo Mangun merayakan natal dalam keseharian dengan cara peduli, bela rasa, serta menjadi sahabat dan saudara orang miskin.
“Jadi orang miskin tidak hanya menjadi objek, proyek. Tetapi orang miskin ini perlu diajak menyadari keadaannya dan ditumbuhkan kepercayaan meraka kalau mereka itu mau dan bekerja sama dengan baik itu bisa maju,” kata Romo Mul.
Setiap natal tiba, tak ada liburan dalam agenda Romo Mangun. Sebab, tidak ada kata liburan dalam kamus orang-orang miskin dan menderita. Kehidupan sehari-hari itulah cara orang miskin berlibur, bertemu tetangga, saling menyapa, atau bersilaturahmi dengan sanak saudara.
ADVERTISEMENT
Pengabdian di Bantaran Code
Sebelum 1980, bantaran Kali Code di dekat Kota Baru merupakan perkampungan kumuh, tempat tinggal para gelandangan dan orang-orang terbuang sehingga pemerintah berniat menggusurnya dengan alasan mencegah banjir di Yogya. Namun hal itu berubah drastis setelah mendapat sentuhan tangan Romo Mangun.
Sepanjang 1980 sampai 1986, Romo Mangun turun langsung ke bantaran Code untuk mengayomi dan mencoba memberikan solusi untuk masyarakat yang hendak digusur. Dengan keahlian arsitektur yang dimiliki, Romo Mangun membangun perumahan tidak permanen yang lebih tertata rapi.
“Romo Mangun datang ke sana, hidup bersama masyarakat miskin, membuat gubuk di sana, lalu masyarakat dibuatkan rumah yang layak, yang sehat,” kata Romo Mul.
Dalam membangun masyarakat Code, Romo Mangun menerapkan konsep tiga bina; bina manusia, bina ekonomi, dan bina lingkungan. Romo Mangun membina masyarakat dengan mengembangkan akhlak agar hidup secara rukun, bersinergi, dan gotong royong.
ADVERTISEMENT
Bina manusia juga diwujudkan dengan peningkatan kualitas pendidikan masyarakat. Anak-anak didampingi untuk belajar dan pendisiplinan hidup karena belum mendapatkan akses pendidikan sekolah formal.
“Karena kemajuan manusia kan ditentukan juga oleh tingkat pendidikan. Bukan hanya mendidik intelektualnya, tetapi juga karakternya,” lanjutnya.
Penerapan bina ekonomi diwujudkan dengan membina masyarakat untuk menabung, berwirausaha, dan mendirikan koperasi untuk memperbaiki perekonomian masyarakat. Bina lingkungan tak kalah penting, sebab masyarakat sering kali membela martabat dan hak asasi manusia, tapi lupa bahwa alam juga punya hak untuk bisa dihuni dengan baik.
“Maka masyarakat dibina untuk menjaga kualitas air, lingkungan, masyarakat dibina untuk itu, tidak serakah,” kata Romo Mul.
Bingkai Pemikiran Romo Mangun
Dalam buku berjudul Tumbal yang berisi kumpulan esaynya, Romo Mangun mengkritik keras cara hidup beragama manusia yang terlalu ritual atau memisahkan antara ritual dan hidup aktual. Padahal, ritual keagamaan menurutnya adalah instrumen untuk mendorong manusia agar semakin mempunyai kekuatan dan keberpihakan pada masyarakat yang termarginalkan.
ADVERTISEMENT
“Makanya Romo Mangun mengkritik model-model Natal yang sangat glamor, orang lalu menekankan pesta, sampai tidak berpihak pada orang-orang menderita,” kata Romo Mul.
Kendati demikian, Romo Mangun tak menyalahkan sepenuhnya masyarakat merayakan Natal dengan pakaian-pakaian yang bagus dan perayaan yang meriah. Tetapi, setelah itu Natal seharusnya menjadi perayaan kehidupan bersama semua orang terutama yang menderita, bukan sekadar perayaan ritual saja.
“Karena Yesus Kristus yang diimani oleh orang Krsiten itu sebagai perwujudan kasih Allah Yang Maha Penyayang, itu tidak lahir di keraton, bukan lahir di istana, bukan lahir di hotel, tapi justru hadir di tengah orang-orang miskin. Romo Mangun selalu menekankan itu,” lanjutnya.
Pandangan Romo Mangun menurut Romo Mul sangat penting sebagai pedoman manusia dalam beragama supaya manusia tidak hidup dalam keagamaan yang fomalistik dan kadang-kadang terlalu mempolarisasi antara kehidupan ritual dan kehidupan aktual.
ADVERTISEMENT
Perayaan Natal tak cukup dengan pesta-pesta meriah tapi setelah itu kembali menjadi manusia-manusia individualistik yang apatis, egois, bahkan mengeksploitasi orang miskin. Kedatangan Natal bagi Romo Mangun tak melulu sebagai peristiwa dalam konteks keagamaan tertentu.
“Karena dia yakin, bahwa Tuhan Allah Yang Maha Cinta itu sangat peduli, prihatin terhadap keprihatinan manusia, dan itu milik semua manusia, semua golongan, semua agama,” ujar Romo Mul.
Romo Mangun yakin, manusia yang memiliki kedalaman iman, maka akan memiliki cara hidup semakin sederhana. Yang utama dalam perayaan Natal bukanlah pesta yang glamor, makanan-makan enak, atau liburan ke luar negeri, melainkan menerapkan sifat-sifat ketuhanan. Sifat-sifat itu seperti memberikan kasih sayang, peduli, serta senantiasa merangkul sesama.
“Siapa yang paling dekat dan dirangkul oleh Tuhan Yang Maha Kuasa? Tentu saja semua orang. Tetapi terutama yang paling membutuhkan pertolongan Tuhan adalah orang lemah, orang menderita, orang tersingkir, dan orang yang dianggap berdosa,” pungkas Romo Mulyatno.
ADVERTISEMENT
Romo Mangun lahir pada 6 Mei 1929 di Ambarawa Jawa Tengah dan meninggal pada pukul 14:10 WIB 10 Februari 1999 di Rumah Sakit St. Carolus, Jakarta, setelah terkena serangan jantung saat berbicara di Hotel Le Meridien, Jakarta. Ia dimakamkan di makam para imam projo di Kentungan, Yogyakarta.
Setiap natal tiba, mendengar debat boleh dan tidak mengucap selamat natal, sulit untuk tidak kembali mengenang Romo Mangun. Doa terbaik dari kami, Romo. (Widi Erha Pradana / YK-1)