Konten dari Pengguna

Menuju Puncak Lawu, Jalak Gading Menuntunku Melewati Sergapan Maut

Pandangan Jogja Com
email: pandanganjogja@gmail.com
23 Desember 2019 14:33 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
10
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Salah satu trek menuju Gunung Lawu dengan pemandangan yang sangat indah. Foto: Widi Erha
zoom-in-whitePerbesar
Salah satu trek menuju Gunung Lawu dengan pemandangan yang sangat indah. Foto: Widi Erha
ADVERTISEMENT
Malam rasanya sangat panjang. Saya tak bisa tidur meski sudah berjam-jam berusaha terpejam. Badan menggigil hebat, dikoyak udara malam Gunung Lawu. Di luar tenda, angin gunung bergemuruh hebat, makin membuat ciut nyali yang tersisa. Rintik gerimis yang turun sejak sore tak kunjung reda. Tak terdengar suara apa pun kecuali suara alam dengan segala kengeriannya.
ADVERTISEMENT
Sepanjang malam, tanpa sadar saya hanya bisa merintih menahan dingin dan sakit di sekujur badan. Saya melakukan kesalahan fatal, karena sudah telanjur dingin, setelah mendirikan tenda saya langsung tidur membungkus tubuh dengan sleeping bag tanpa mengganti pakaian yang basah karena keringat bercampur air hujan. Berkali-kali menyebut nama Tuhan, tapi pagi tak kunjung datang, penderitaan masih panjang.
Ngapain, sih, aku ke sini segala? Ucap saya dalam hati di sisa-sisa kesadaran.
Rencana untuk summit pukul tiga dini hari tinggalah rencana. Keinginan untuk menikmati sunrise di Hargo Dumilah, puncak Lawu, saya kubur dalam-dalam. Semua kalah oleh dinginnya Lawu yang sadis.
Begitu dalih saya mencoba menghibur diri. Akhirnya saya dan Fairuz, satu-satunya teman mendaki saya dari Yogyakarta, memutuskan untuk summit setelah matahari naik cukup tinggi.
ADVERTISEMENT
Kekaguman Tiada Henti
Aneka vegetasi yang menawan hati di jalur menuju puncak Gunung Lawu. Foto: Widi Erha
Pendakian itu dimulai Jumat (13/12) pagi. Persiapan kami benar-benar kacau, wacana baru dicetuskan sekitar sepekan sebelumnya. Sementara, semua bekal dan perlengkapan baru kami siapkan empat jam sebelum berangkat ke Karanganyar, basecamp pendakian Lawu via Candi Cetho. Bukan karena menyepelekan pendakian, tapi karena kesibukan pekerjaan yang tak memberi waktu lebih untuk melakukan persiapan yang layak.
Dari Jogja kami berangkat Jumat pukul 12.30 dini hari, dan sampai basecamp tepat menjelang subuh. Kami hanya memiliki waktu tiga jam untuk tidur sebelum melakukan pendakian. Waktu yang sangat kurang. Terlebih pola hidup kami tidak bisa dibilang sehat, olahraga hampir tak pernah, rokok isap terus, begadang hampir setiap malam. Tapi bagaimana lagi, kami harus berangkat pagi benar agar tak bertemu malam di perjalanan.
ADVERTISEMENT
Setelah menyelesaikan proses administrasi di pos pendaftaran, sekitar pukul sembilan pagi perjalanan panjang itu dimulai. Kami memulai pendakian bersama rombongan dari Bekasi dan Bogor. Di awal perjalanan, kami langsung di sambut jalan setapak dengan jurang terjal di sisi kiri.
Seperti gunung-gunung pada umumnya, hamparan ladang warga menjadi pemandangan yang selalu tersaji di awal-awal pendakian. Sekitar sepuluh menit berjalan, selepas tanjakan pertama kami mendapati sebuah bangunan menyerupai candi, itulah Candi Kethek.
Bangunan Candi Kethek berbentuk menyerupai piramida yang terdiri atas beberapa tingkatan. Namun, di bagian ujung atasnya tidak lancip, sehingga kerap disebut piramida terpenggal. Di sekitar candi, pohon-pohon besar dan rindang berdiri kokoh. Beberapa di antaranya ada yang diikat kain putih, sehingga memunculkan kesan mistis.
ADVERTISEMENT
Perjalanan terus berlanjut dengan medan yang masih manusiawi. Sampai pos satu, medan masih banyak bonus, istilah para pendaki untuk menyebut medan yang landai. Memasuki pos pertama inilah saya selalu dibuat kagum tanpa henti dengan vegetasi hutan yang, ugh, keren banget. Pohon-pohon besar dengan lumut yang menyelimuti batangnya, serta semak belukar yang sangat rimbun membuat saya seolah sedang berada di latar film 'King Kong'.
Sayangnya, hampir semua pepohonan sangat asing di mata kami. Payah memang, ngakunya cinta alam tapi nama-nama pohon saja enggak ngerti. Untungnya, untuk menikmati sebuah mahakarya kami tak perlu tahu namanya, ya nikmati saja.
Entah saya yang gumunan atau bagaimana, yang jelas tak terhitung berapa kali saya mengucapkan kata “wow” sembari berdecak kagum. Barangkali karena terlalu lama bergelut dengan hiruk pikuk kota. Terlebih saya sudah sangat lama tidak naik gunung. Sindoro adalah gunung terakhir yang saya daki tepat dua tahun lalu. Tapi Fairuz, yang baru beberapa bulan lalu mendaki Merbabu pun merasakan hal yang sama, terkagum tanpa henti.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, kami menghabiskan sangat banyak waktu untuk mengabadikan apa yang kami lihat. Tiap ada pohon besar, kami foto. Begitu pula tiap melihat tumbuhan aneh atau pemandangan mengagumkan lainnya. Seolah, saya ingin membawa pulang semua yang saya lihat agar bisa dinikmati oleh teman-teman di Jogja, bahwa ada surga di Lawu.
Aku suka sekaligus gentar pada detail keliaran yang purba ini. Foto: Widi Erha
Tapi kami harus ingat kata Soe Hok Gie, jangan mengambil apa pun kecuali gambar, jangan meninggalkan apa pun kecuali jejak, dan jangan membunuh apa pun kecuali waktu.
Tak lama setelah melewati pos pertama, gerimis tiba-tiba turun. Sambil menunggu reda, kami berteduh di sebuah pohon rimbun di tepi jalur sembari menikmati pemandangan sekeliling. Badan yang semula gerah, tiba-tiba saja langsung terasa dingin. Beruntung, tak begitu lama gerimis reda dan perjalanan kembali dilanjutkan.
ADVERTISEMENT
Sampai pos dua, pemandangan masih sama, hutan belantara dengan pohon-pohon besar yang mengagumkan. Sebenarnya tenaga sudah mulai banyak terkuras, perut juga sudah menagih jatahnya. Tapi kami sudah sepakat baru akan masak di pos tiga, agar tidak bertemu malam di tengah perjalanan.
Akhirnya, di pos dua kami hanya istirahat sebentar, menghabiskan sebatang rokok sebelum tancap gas lagi melanjutkan perjalanan. Pakaian yang tadinya basah oleh air hujan, kini basah oleh keringat. Jalur menuju pos tiga mulai agak terjal, membuat kami lebih sering berhenti untuk menarik napas yang semakin pendek. Terlebih, stamina semakin payah, kepala mulai pusing, perut terasa mual, tapi puncak masih jauh.
Setelah berjalan perlahan sekitar dua jam, akhirnya kami sampai di pos tiga. Itu artinya, perut yang sejak tadi meminta jatah siap diisi, meskipun hanya mi instan. Pos tiga memang menjadi tempat favorit para pendaki istirahat dan memasak karena adanya sumber mata air yang melimpah. Perut terisi, lega rasanya.
ADVERTISEMENT
Celakanya, kami terlalu banyak ngobrol dengan pendaki lain sampai lupa waktu, imbasnya kami baru melanjutkan perjalanan ketika jam sudah menunjukkan angka setengah empat. Artinya, kami akan bertemu malam untuk sampai ke pos lima atau Bulak Peperangan, tempat kami merencanakan mendirikan tenda dan bermalam.
Serba Mendadak yang Hampir Berujung Maut
Edelweis disapa embun pagi. Foto: Widi Erha
Medan dari pos tiga menuju pos empat ternyata semakin berat. Tanjakan semakin ekstrem, beberapa kali gerimis bercampur kabut turun. Pakaian semakin basah oleh keringat yang bercampur air hujan, dan beban di punggung rasanya semakin berat.
Mata saya semakin berkunang, langkah semakin berat. Saya sudah tak peduli lagi dengan pemandangan di sekitar, yang ada di pikiran saya tinggal bagaimana bisa terus melangkah. Tiap ada tempat agak landai, badan langsung saya jatuhkan ke tanah sembari teriak keras-keras.
ADVERTISEMENT
Kebiasaan begadang dan menghisap tembakau tanpa diimbangi olahraga benar-benar terasa dampaknya. Meski ada rasa menyesal jauh-jauh ke Lawu hanya untuk susah payah begini, tapi kami tak ada pilihan lain, karena kembali pun tak semudah itu. Terlebih ketika teringat sudah banyak uang yang kami habiskan untuk misi pendakian ini, tak rela rasanya kembali tanpa meninggalkan jejak di Hargo Dumilah.
Untuk kesekian kalinya saya jatuhkan badan saya di tanah, pun Fairuz.
Astagfirullah, kapan lagi aku istighfar sebanyak ini,” kata Fairuz yang juga tergeletak di samping saya.
Benar kata Fairuz, di kondisi seperti ini Tuhan rasanya sangat dekat. Saya merasa hanya Tuhan yang kini bisa menolong saya. Semua dosa yang pernah saya lakukan seketika terlintas di pikiran. Benar juga, ternyata naik gunung memang bisa memupuk sisi spiritual seseorang.
ADVERTISEMENT
Hari semakin gelap, di sisi barat, matahari tinggal menyisakan semburat merah. Tak lama, azan maghrib mengambang lirih dari arah perkampungan warga. Pos empat akhirnya mulai terlihat, cukup lega rasanya. Di pos empat, sudah ada empat anak STM, ras terkuat di negeri ini, yang sedang memasak mie instan dan minuman penghangat.
Karena merasa perjalanan semakin berat, saya dan Fairuz berniat untuk bermalam dan mendirikan tenda di pos empat saja. Tapi salah seorang anak STM menyarankan kepada kami untuk tetap melanjutkan perjalanan saja dan mendirikan tenda di pos lima atau Bulak Peperangan.
“Masih jauh banget dari puncak mas, summit-nya berat besok. Selain itu, mas tahu sendirilah cerita-cerita mistis di pos empat ini,” kata salah seorang dari mereka yang sudah beberapa kali mendaki Lawu.
ADVERTISEMENT
Benar juga, setelah melihat peta, waktu tempuh dari pos empat ke puncak Hargo Dumilah jika dihitung-hitung bisa sampai lima jam. Kami harus melewati pos lima, Gupak Menjangan, Pasar Dieng, Hargo Dalem, baru sampai di Hargo Dumilah. Selain itu, pos empat ini juga dikenal sebagai salah satu tempat paling angker di Lawu berdasarkan cerita yang berkembang di tengah pendaki. Setelah berpikir ulang, akhirnya kami memilih untuk bermalam di pos lima saja, sebab bermalam di pos empat tidaklah menyelesaikan masalah, melainkan hanya menundanya saja.
Kami cukup lama istirahat di pos empat, selepas isya baru perjalanan di lanjutkan. Awalnya anak-anak STM tadi mengajak kami untuk berjalan bersama, namun saya tahu diri, saya tak mungkin sanggup mengimbangi kecepatan jalan mereka. Daripada menyusahkan, kami mempersilakan mereka untuk jalan lebih dulu.
ADVERTISEMENT
Perjalanan malam ternyata tak lebih mudah. Oksigen rasanya semakin tipis, napas semakin pendek dan mudah sesak. Sementara kaki yang semakin lelah entah berapa kali tersandung belukar hingga membuat saya terjatuh. Suara binatang malam ditambah gemuruh angin dan pohon-pohon yang berdenyit membuat mental kami kian diuji. Pohon-pohon hijau besar yang ketika siang tadi memanjakan mata kami, kini menjelma monster-monster besar berbulu yang mengerikan. Celakanya, tak ada pilihan lain selain melanjutkan perjalanan.
Hampir dua jam berjalan tertatih-tatih, akhirnya kami menemui jalan landai dan areal terbuka yang luas. Kami sampai di sabana, artinya, pos lima sebentar lagi sampai. Puji Gusti. Tapi tenda para pendaki belum terlihat, sejauh mata memandang, kami hanya melihat hamparan hitam dengan bukit tinggi di ujungnya.
ADVERTISEMENT
Tak lama, beberapa tenda mulai terlihat dari kejauhan. Kami mempercepat langkah sekuat tenaga, tak sabar mendirikan tenda, makan, lalu tidur dengan nyenyak. Baru beberapa menit istirahat, tubuh saya mulai menggigil. Saya dan Fairuz bergegas mendirikan tenda agar rasa dingin tidak semakin menjadi.
Tapi terlambat, badan sudah telanjur kaku. Mendirikan tenda pun menjadi pekerjaan yang sangat sulit. Akhirnya tenda kami dirikan alakadar-nya, yang penting bisa untuk berlindung dari ganasnya udara malam Lawu. Tenda berdiri, pertama yang kami lakukan adalah memasak air untuk membuat cokelat panas dan memasak mi instan.
Singkat cerita, acara makan-makan selesai, pukul 10 malam kami bergegas untuk tidur. Bukanya tidur nyenyak dan mimpi indah seperti yang saya bayangkan, malam itu justru terasa sangat menyiksa. Jangankan tidur nyenyak, saya bahkan hampir tak tidur semalaman karena rasa dingin yang luar biasa. Dada saya rasanya sangat sesak, mata dan hidung saya melelehkan cairan bening, kepala berat, dan gigil semakin menjadi. Kata Fairuz, sepanjang malam saya meracau tak keruan, saya terkena hipotermia ringan.
ADVERTISEMENT
Boro-boro mimpi indah, malam itu nyawa saya rasanya sudah di ubun-ubun.
Hargo Dumilah, 3.265 Mdpl
Padang sabana yang luas di Bulak Peperangan mengingatkan pada jembar dan lembutnya kasih ibuku menangani kenakalanku. Foto: Widi Erha
Suara para pendaki mulai terdengar dari luar tenda, mereka bersiap-siap untuk summit. Tapi saya belum berani keluar dari sleeping bag, persetan dengan sunrise. Baru setelah tampak sinar matahari saya berani membuka selimut dan keluar dari tenda.
Di luar tenda, hamparan sabana yang sangat luas membuat saya menganga. Ternyata sepanjang malam tadi tidur di tengah surga. Hamparan rumput dengan embun yang masih menempel terhampar sejauh mata memandang. Di tebing-tebing bukit berjejer pohon pinus yang menjulang tinggi, mengingatkan saya pada latar video game 'Silent Hill'.
Tapi ini nyata, pemandangan yang saya pikir hanya ada di film-film fiksi tersaji dengan nyata di hadapan saya, dialah Bulak Peperangan. Konon, Bulak Peperangan adalah medan pertempuran antara prajurit Kerajaan Demak kontra Majapahit. Mengingat hal itu, dalam pikiran saya terbersit bayangan bagaimana ribuan prajurit berperang di hamparan sabana itu. Selain harus berperang melawan pasukan musuh, para prajurit itu tentu juga harus berperang melawan sadisnya Lawu. Tapi saya tidak boleh lama-lama berlarut dengan imajinasi itu, perjalanan masih panjang.
ADVERTISEMENT
Dengan sisa-sisa gigil yang masih membuat nyeri tulang dan sendi, kami melanjutkan perjalanan menuju Hargo Dumilah, puncak Lawu yang semalam terasa mustahil untuk dicapai. Tanpa beban seberat semalam, perjalanan kami terasa lebih ringan. Hangatnya mentari pagi pun membuat tulang dan persendian yang tadinya kaku dan ngilu, kini mulai bisa menyesuaikan lagi.
Kami semakin dimanjakan dengan hamparan bunga keabadian, bunga Edelweiss yang masih basah oleh titik-titik embun. Di tengah perjalanan, kami bertemu dengan jalak gading. Konon, jalak gading adalah jelmaan Dipa Manggala atau Kiai Jalak, pengikut setia Prabu Brawijaya V. Banyak yang percaya, jalak gading adalah pemandu para pendaki hingga sampai ke puncak Hargo Dumilah. Saya merasa sangat beruntung bisa melihat burung endemik Gunung Lawu ini secara langsung.
ADVERTISEMENT
Sekitar satu setengah jam berjalan, kami sampai di Hargo Dalem yang diyakini sebagai tempat Prabu Brawijaya V moksa. Di sana ada warung tertinggi di Indonesia yang sangat terkenal di kalangan pendaki, yaitu Warung Mbok Yem. Sudah lebih seperempat abad Mbok Yem berjualan di Hargo Dalem yang memiliki ketinggian 3.150 mdpl itu.
Awalnya, saya berniat mengobrol banyak dengan Mbok Yem, mendengar ceritanya yang pasti sangat menarik. Tapi setelah masuk ke warungnya, Mbok Yem tampak sangat sibuk melayani para pendaki. Mbok Yem ini juga dikenal galak, dia tak akan segan-segan memarahi para pendaki yang mengganggunya. Benar saja, kesan pertama saya ketika melihat raut mukanya, nyali saya langsung ciut. Rencana ngobrol dengan Mbok Yem saya urungkan, saya hanya membeli sebungkus rokok untuk tambahan bekal menuju puncak.
ADVERTISEMENT
Karena mengejar waktu juga, kami urungkan niat untuk memesan secangkir kopi dan nasi pecel Mbok Yem. Di Jogja banyak, kami masih bisa makan pecel di Warung Pecel Bu Ramelan di depan Amplaz, pecel paling enak di Jogja menurut saya.
Perjalananpun kembali berlanjut dengan medan yang sangat terjal, ya seperti jalur pada gunung-gunung lain ketika hampir sampai puncak. Beruntung, jarak antara Hargo Dalem dengan Hargo Dumilah tak terlalu jauh. Setelah menghabiskan waktu sekitar setengah jam, kami sampai di puncak tertinggi Lawu, puncak Hargo Dumilah.
Puncak Hargo Dumilah, hanya langit biru dan syukur yang tak henti. Foto : Widi Erha
Beberapa pendaki sedang berfoto ria di monumen Hargo Dalem. Dan di puncak, kami ternyata bertemu lagi dengan jalak gading, apakah benar dia menuntun kami ke Hargo Dalem? Entahlah.
ADVERTISEMENT
Ada rasa syukur yang tak terhingga ketika mengingat bagaimana kami melewati masa-masa sulit semalam. Bahkan, dalam hati saya sempat berucap bahwa Lawu akan menjadi gunung terakhir yang saya daki.
“Tahun depan Rinjani, ya, mas,” celoteh Fairuz ketika kami sedang duduk menikmati hangatnya mentari di Hargo Dalem.
“Gas,” jawab saya singkat seolah lupa bahwa semalam saya hampir mati tepat di usia yang ke-23.
Soe Hok Gie mungkin tak masalah mati muda, sudah banyak yang dia tinggalkan. Sementara saya belum punya apa pun untuk ditinggalkan, juga masih ada rindu yang belum terbalaskan.
Puas mengambil beberapa foto dan berbagi kopi dengan para pendaki dari Pare, kami bergegas turun. Sebab, tujuan kami mendaki bukanlah puncak, melainkan pulang dengan selamat. (Widi Erha Pradana)
ADVERTISEMENT