Nasib Sulit Anak-anak Penyandang Multi Difabel di Tengah Pandemi Corona

Konten dari Pengguna
2 Mei 2020 18:16 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi penyandang disabilitas. Foto : alexandre saraiva carniato dari Pexels.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi penyandang disabilitas. Foto : alexandre saraiva carniato dari Pexels.
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tahukah kamu rasanya menjadi manusia normal? Sebagai manusia tak memiliki kekurangan apapun, di masa pandemi corona ini rebahan di rumah bukanlah hal kelewat sulit. Tapi bagi teman-teman penyandang MDVI (Multi Disabilities with Visual Impairment), bahkan untuk sekadar rebahan di rumah, bukan perkara gampang.
ADVERTISEMENT
“Tuna rungu, tuna netra, tuna wicara, tuna grahita, disandang oleh satu anak. Bayangkan betapa sulitnya bahkan orang tuanya sendiri, untuk bisa mengasuhnya,” kata Kepala SLB G-AB Helen Keller, Wirobrajan, Yogyakarta, Fransiska Rina Wigati, saat ditemui di sekolahnya pekan ini.
Situasi pandemi virus corona membuat 25 siswa multi difabel dari berbagai daerah di Indonesia yang tinggal di asrama Hellen Keller harus pulang ke kampung halaman masing-masing. Ya, Sekolah Luar Biasa Ganda Tuna Netra-Rungu (SLB G-AB) Helen Keller, Wirobrajan, Yogyakarta, terpaksa diliburkan. Karena sekolah libur, Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak Disabilitas (LKSAD) Asrama Helen Keller juga berhenti beroperasi hingga tahun ajaran baru nanti.
Orang tua 25 siswa asrama Helen Keller kini dipaksa untuk bisa mendampingi anak mereka dan hanya ada tiga siswa dari total siswa itu yang meski MDVI namun tak termasuk tuna wicara, selebihnya mengalami multi disabilitas termasuk tuna wicara.
ADVERTISEMENT
Ketika baru datang ke asrama, tidak sedikit dari siswa SLB Helen Keller yang untuk makan sendiri atau urusan toilet pun tidak bisa karena sejak kecil selalu dibantu orangtuanya.
“Masa pandemi ini bagaimanapun orang tua dipaksa untuk belajar memahami anak-anak mereka. Karena tidak mungkin anak-anak tinggal di asrama, sangat berbahaya untuk mereka. Ini keputusan sulit, tapi memulangkan mereka adalah pilihan terbaik yang bisa kami ambil,” kata Fransiska Rina Wigati.
Risiko Tinggi Tinggal di Asrama
Sekolah Luar Biasa Ganda Tuna Netra-Rungu (SLB G-AB) Helen Keller, Wirobrajan, Yogyakarta. Foto : Widi Erha Pradana
Kepala Asrama Helen Keller, Suster Patricia PMY menjelaskan, sekolah dan asrama terpaksa memulangkan siswanya selain mengikuti surat edaran dari pemerintah juga karena ketika siswa di sekolah justru dinilai lebih rentan.
Banyak guru dan pegawai sekolah yang rumahnya ada di luar kota, sehingga setiap hari harus menempuh perjalanan yang cukup jauh untuk datang ke sekolah. “Dan itu kan risikonya sangat tinggi, karena kan sangat mungkin mereka yang dari luar itu bawa virus ke dalam,” jelasnya.
ADVERTISEMENT
Terlebih, jika memaksakan untuk tetap tinggal di asrama, risiko akan lebih tinggi karena dalam satu kamar mereka tinggal bisa berenam atau berdelapan. Tanpa adanya COVID-19 pun mereka sangat mudah sakit. “Karena beberapa dari mereka kan enggak tahu kalau itu kotor, apa-apa dimasukkan ke mulut. Sedangkan staf terbatas, enggak mungkin satu anak ditungguin supaya tidak megang apa-apa,” lanjutnya.
Kepala SLB G-AB Helen Keller, Fransiska Rina Wigati, mengatakan sekolah sudah memperhitungkan bahwa orangtua akan sangat repot ketika anak-anak dipulangkan. Kendati demikian, menurutnya hal itu akan lebih baik dan aman bagi anak-anak, mengingat di rumah mereka bisa diawasi langsung oleh orangtua. “Orangtua kerepotan itu pasti. Kami saja di sini sering kesulitan (mendampingi anak). Tapi kami tidak mau ambil risiko, ini demi kebaikan anak-anak juga,” jelas Fransisca Rina.
ADVERTISEMENT
Kendati dipulangkan ke rumah, bukan berarti anak-anak benar-benar libur. Guru tetap memberikan tugas-tugas berbasis daring, terutama untuk anak-anak yang masih bisa mengikuti kegiatan akademik atau tulis menulis. Misalnya ada guru yang menyiapkan kertas untuk diwarnai, menebalkan tulisan, serta tugas-tugas lainnya untuk dikerjakan anak-anak selama di rumah. Ada juga yang setiap hari mengirimkan tugas secara daring kepada orangtua untuk dikerjakan oleh anak-anak mereka.
“Sementara untuk anak-anak yang memang tidak bisa akademik, kita minta supaya orangtua mendampingi mereka mengerjakan pekerjaan rumah seperti mengelap meja, mencuci piring, dan sebagainya,” lanjutnya.
Orangtua Dipaksa Banyak Belajar
Kepala Asrama Helen Keller, Suster Patricia PMY. Foto : WIdi Erha Pradana
Kepala Asrama, Suster Patricia mengakui, bukan hal mudah mendidik dan mendampingi anak-anak disabilitas, apalagi MDVI. Beberapa dari mereka, terutama yang tidak bisa akademik perlu pendampingan ekstra. Anak-anak yang tidak bisa akademik ini maksudnya mereka penyandang tuna ganda yang memiliki hambatan intelektual, hambatan komunikasi, dan hambatan perilaku. Mereka tidak berkomunikasi secara verbal, bahkan bahasa isyaratpun tidak bisa.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, orangtua kerap mengalami kendala ketika mendampingi anaknya belajar. Penyebab utamanya karena orangtua tidak memahami strategi dan cara berkomunikasi dalam mendidik anak-anaknya.
Namun di sisi lain, ternyata pemulangan para siswa multi disabilitis ini membawa dampak positif, orangtua jadi belajar lagi bagaimana caranya mendidik anaknya yang merupakan penyandang tuna ganda. “Sekarang orangtua dan bapak ibu guru jadi makin sering berkomunikasi, sehingga mereka tahu jika ada permasalahan bagaimana menyelesaikannya,” kata Suster Patricia.
Beberapa orangtua juga jadi lebih giat belajar bahasa isyarat, karena ternyata kosa kata bahasa isyarat mereka sudah jauh ketinggalan ketimbang sang anak.
Memahami Komunikasi Anak sebagai Kunci
Kepala SLB G-AB Helen Keller, Fransiska Rina Wigati. Foto : Widi Erha Pradana
Kunci utama untuk bisa mendampingi anak-anak multi disabilitas menurut Suster Patricia, adalah memahami cara komunikasi mereka. Ketika bisa memahami komunikasi sang anak, orangtua bisa mengikuti, sampai di mana level komunikasinya, sudah di level kompleks atau masih di level yang sederhana. “Kalau komunikasinya jalan, orangtua memahami komunikasi anak, untuk memberi instruksi kan mudah,” jelas Rina.
ADVERTISEMENT
Orangtua juga perlu mengetahui kebiasaan-kebiasaan anak di asrama yang telah berjalan dan meneruskannya di rumah sehingga bisa mengurangi kebosanan anak. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan, orangtua juga bisa memanfaatkan teknologi untuk mencari informasi maupun mengikuti diskusi-diskusi daring tentang bagaimana mendidik anak yang menyandang disabilitas.
Suster Patricia mengatakan, ketika baru datang ke asrama, tidak sedikit dari siswa SLB Helen Keller yang untuk makan sendiri pun tidak bisa karena sejak kecil selalu disuapi oleh orangtuanya. Namun setelah masuk ke asrama dan mulai bersekolah, sedikit demi sedikit mereka mulai diajari untuk mandiri.
“Bagaimanapun mereka harus mandiri. Kita berpikirnya ke depan, tidak mungkin selamanya mereka di sini dan tidak mungkin selamanya bersama orangtua. Paling tidak dia harus bisa menjaga dan mengurus dirinya sendiri,” kata Suster Patricia.
ADVERTISEMENT
Dan di masa pandemi corona ini orang tua, mau tidak mau, harus terbiasa dan bisa, mendidik anaknya sendiri; penyandang multi disabilitas.
“Dan itu tidak pernah mudah, tapi harus dijalani. Kita mendampingi secara daring dan di hari pendidikan 2 Mei ini kami mendoakan yang terbaik untuk semua,” kata Suster Patricia. (Widi Erha Pradana / YK-1)