Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Pentingnya Akrab dengan Aplikasi BMKG Menurut Mahasiswa Semester 3 UGM
13 Januari 2020 14:00 WIB
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyayangkan masyarakat yang tidak terlalu aware dengan peringatan dini yang dikeluarkan oleh BMKG. Padahal, sesungguhnya, kerugian besar akibat bencana cuaca dan iklim bisa dihindari kalau peringatan dini BMKG benar-benar menjadi rujukan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Tak lama setelah membaca keluhan Kepala BMKG di media pada pekan lalu, Pandangan Jogja @ Kumparan langsung bergegas ke Jurusan Geografi UGM untuk menelisik lebih jauh dunia cuaca dan peringatan dini di mata mahasiswa yang menekuni ilmu tersebut. Kami ingin mendapatkan perspektif anak muda mengenai cuaca.
Kami bertemu dengan salah satu mahasiswa terbaik di Geografi UGM, mantan peraih medali perak olimpiade geografi tingkat internasional di Kanada saat dia di bangku SMA kelas 3 pada 2 tahun lalu. Dialah, Muhammad Nadafa Isnain, kini belajar sebagai mahasiswa semester 3 Geografi Lingkungan di Fakultas Geografi UGM.
Pertanyaan pertama, kenapa masyarakat Indonesia yang cenderung tak terlalu memusingkan prakiraan cuaca, berbeda dengan masyarakat negara maju yang begitu tergantung hidupnya dengan prakiraan cuaca yang dikeluarkan otoritas yang di Indonesia dikomando oleh BMKG ?
ADVERTISEMENT
“Hal itu disebabkan karena Indonesia hanya mengalami dua musim, musim penghujan dan kemarau,” begitu jawaban Nadafa peraih IPK 3,8 ini lugas.
Ketika musim kemarau, Indonesia hampir sama sekali tak pernah ada hujan. Di musim penghujan pun, tipe hujan di Indonesia merupakan hujan konvektif, yakni hujan sebentar lalu reda, begitu seterusnya. Perubahan cuaca ketika musim penghujan juga sangat cepat, namun bersifat lokal, itu juga yang kemudian membuat cuaca di Indonesia sangat sulit diprediksi.
“Itulah yang membuat budaya kita itu tidak terlalu mempermasalahkan prakiraan cuaca. Karena dari dulu kalau musim hujan, hujannya random,” ujarnya.
Berbeda dengan masyarakat di negara-negara empat musim, Nadafa menceritakan pengalamannya ketika lomba di Kanada. Di sana, masyarakat sangat sadar akan pentingnya cuaca, setiap orang yang akan keluar rumah, pasti hal pertama yang dilihat adalah prakiraan cuaca hari itu. Cuaca di negara empat musim tidak seacak di Indonesia, salju, panas, atau hujan di sana berlangsung lama dan tidak bersifat lokal.
ADVERTISEMENT
“Itu yang membuat masyarakat sana lebih dekat dengan prakiraan cuaca,” kata Nadafa.
Sebenarnya BMKG pun prediksinya sangat kredibel, 80 persen akurat. Namun karena wilayah yang luas dan hujan yang bersifat lokal, prediksi cuaca BMKG belum dianggap rujukan utama.
“Bantul diperkirakan hujan, tapi Bantul yang mana dulu? Awannya kan nggak seluas Bantul. Itu yang bikin orang Indonesia itu meremehkan BMKG. Padahal kita semua musti harus akrab dengan prakiraan BMKG, tentu untuk menghindari bencana dan kerugian akibat cuaca,” lanjutnya.
Kerugian Besar Mengabaikan BMKG
Belum lama ini, puluhan nyawa melayang akibat banjir Jawakar. Kerugian materi akibat banjir Jakarta diperkirakan sebesar Rp. 10 triliun.
Di tempat lain, ratusan petani di Sukabumi merugi besar gegara mengalami gagal tanam. Bibit padi yang telah mereka semai rusak akibat intensitas hujan yang terlalu tinggi. Tak hanya merusak bibit padi, sebagian lahan juga tergerus longsor, celakanya mereka tak punya persediaan bibit lagi untuk ditanam. Hal itu tidak terjadi di Sukabumi saja, Karawang, Cianjur, dan sejumlah daerah lain juga mengalami hal serupa.
ADVERTISEMENT
Di Aceh Barat, 4.000 lahan pertanian yang sudah dibajak juga berakhir dengan gagal tanam. Hal itu diakibatkan hujan yang sempat turun di awal-awal musim tak turun lagi dalam waktu lama. Karena tak dapat pengairan cukup, lahan yang sudah dibajakpun tak bisa ditanami padi.
“Banyak juga kan petani yang gagal tanam, karena di dasarian pertama sudah hujan, bibit juga sudah disemai, tapi terus nggak ada hujan lagi. Akhirnya bibitnya mati,” kata Dafa, panggilan sehari-hari Nadafa.
Kasus-kasus seperti itu, menunjukkan betapa penting prediksi cuaca dan iklim bagi kehidupan manusia. Pertanian, sektor kehidupan manusia yang sangat bergantung pada iklim dan cuaca. Sektor kebencanaan juga tak bisa lepas dari iklim dan cuaca, sebab selama ini bencana yang memakan korban terbesar adalah bencana yang diakibatkan oleh faktor air, yakni banjir, longsor, dan kekeringan.
ADVERTISEMENT
Dampaknya memang tak sebesar gempa bumi atau tsunami, tapi dampak yang disebabkan dua bencana itu hanya sesaat, dalam artian tidak terjadi setiap tahun seperti banjir, longsor, dan kekeringan. Kerugian dan korban akibat tsunami dan gempa bumi memang besar, namun hanya pada titik dan waktu tertentu saja.
“Tapi kalau banjir, kekeringan, longsor, itu tiap tahun, tiap hari pasti ada, cuman pindah-pindah aja. Jadi kalau diakumulasikan kerugiannya jadi lebih besar,” lanjut Dafa.
Bagi pemilik usaha asuransi, prediksi cuaca juga sangat penting. Misal asuransi pertanian, ketika terjadi banjir, otomatis klaim akan meningkat. Bahkan perusahaan asuransi kendaraan juga sangat dipengaruhi oleh cuaca. Seperti banjir Jakarta kemarin, entah berapa kendaraan yang rusak akibat banjir. Perusahaan asuransi tentu dibuat pusing atas hal tersebut.
ADVERTISEMENT
Prakiraan cuaca juga penting bagi perusahaan seperti Gojek sehingga bisa menentukan harga yang berbeda-beda untuk setiap kondisi. “Dipetakan, curah hujan di sini segini, berarti tarifnya naiknya segini. Jadi ilmu cuaca bagi, apalagi mahasiswa, itu penting banget, karena nilai bagi kehidupan tinggi maka tercipta bisnis yang besar juga dari ilmu cuaca. Itu tadi saya sebutkan asuransi dan Gojek,” jelas Dafa.
Sementara di kehidupan sehari-hari, dekat dengan prakiraan cuaca juga membuat bisa menghindarkan diri dari kerugian-kerugian kecil. “Kan sering pagi panas, tapi tiba-tiba siang hujan. Jadi prediksi cuaca itu sebenarnya biar kita bisa menyiasati, gimana biar jadinya nggak susah sendiri gara-gara cuaca. Kalau orang manut BMKG sebenarnya aman mas,” jelasnya.
Pentingnya Akrab dengan Cuaca
“Kalau awannya kayak gini masih aman mas, seenggaknya dua sampai tiga jam ke depan, enggak akan hujan deras, paling gerimis terus terang, gitu terus,” kata Nadafa menunjukkan keahliannya meramal cuaca.
ADVERTISEMENT
Untuk meramal cuaca, Nadafa kini tak melulu menggunakan alat bantu. Dia sudah bisa memprediksi cuaca hanya dengan mengandalkan panca inderanya, terutama indera penglihat. Dari jenis awan yang dia lihat, Nadafa sudah bisa memprediksi hari itu akan cerah, gerimis, atau sebentar lagi akan hujan deras. Saat akan bepergian, ke kampus misalnya, dia bisa memperkirakan butuh membawa jas hujan atau tidak.
Ada tiga jenis awan, awan rendah, sedang, dan tinggi. Awan rendah berada di ketinggian kurang dari 2.000 meter, awan sedang ketinggian antara 2.000 sampai 6.000 meter, sedangkan awan tinggi berada di ketinggian lebih dari 6.000 meter. Bentuk dan warna masing-masing jenis awan berbeda, awan tinggi memiliki warna yang putih bersih, tandanya cuaca akan cerah. Awan tinggi dibagi lagi jadi tiga jenis, yakni awan sirrus, sirostratus, dan sirokumulus.
ADVERTISEMENT
Jika awan berbentuk kecil-kecil terpisah namun banyak, itu juga masih aman, paling tidak tiga jam ke depan tidak akan terjadi hujan. Awan yang terbentuk setelah hujan dan menutup seluruh langit merupakan awan-awan sisa atau fraktus, kondisi seperti ini bisa menimbulkan hujan setiap saat, namun tidak akan deras, hanya gerimis-gerimis saja.
Jika awan berwarna kehitaman dan hanya menutup sebagian wilayah saja, disertai angin kencang dan petir, itu pasti akan hujan deras disertai petir, angin kencang, dan berlangsung singkat. Awan ini dikenal dengan nama awan kumulonimbus, salah satu jenis awan vertikal.
“Jadi sekarang kalau pergi jarak deket, kayak dari kos ke kampus, sudah nggak perlu buka BMKG lagi. Tapi kalau pergi-pergi jauh ya masih buka. BMKG aplikasi wajib untuk saya agar tidak rugi sendiri,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Selain melihat awan, kelembapan juga menjadi faktor penting untuk memprediksi cuaca. Cara mengetahuinya bukan hal sulit, cukup merasa gerah atau tidak. Jika suasana sudah sangat gerah, itu tandanya sebentar lagi akan hujan, namun jika udara masih sejuk maka hujan masih cukup lama.
“Soalnya kelembapan meningkat, jadinya panas tubuh susah lepas ke udara,” jelasnya.
Cuaca di Pusaran Mitos Masyarakat
Banyak yang percaya, melempar celana dalam ke atas genteng bisa mencegah hujan. Ada juga yang menggunakan cabai, bawang putih, dan bawang merah yang dirangkai menggunakan lidi dan diletakkan di setiap sudut rumah untuk menangka hujan. Ada yang melempar nasi aking ke genteng disertai membaca sejumlah mantra dan doa, dan berbagai macam ritual yang kerap dilakukan di tengah masyarakat, terutama oleh orang-orang zaman dulu.
ADVERTISEMENT
Kita juga kerap mendengar ritual memanggil hujan yang hampir setiap daerah memiliki caranya masing-masing. Meski secara ilmiah hal tersebut sulit diterima logika, namun kata Nadafa kita tidak boleh menyalahkan begitu saja, sebab hal tersebut juga merupakan bagian dari budaya.
“Malah harus kita hargai, itu adalah bukti bahwa nenek moyang kita ternyata aware terhadap cuaca,” ujar Dafa.
Dalam ajaran agama pun diajarkan ritual-ritual dan doa untuk meminta hujan. Dengan menjalankan ibadah meminta hujan, manusia menjadi mendapatkan sugesti dan merasa lebih tenang karena percaya Tuhan akan menurunkan hujan.
“Budaya-budaya dan ajaran seperti itu bukan hal yang harus dipertentangkan dengan sains, justru harus berjalan beriringan dengan sains,” kata Dafa. (Widi Erha Pradana / YK-1)
ADVERTISEMENT