Terima Kasih untuk Tidak Berperang, Renungan WNI di Hiroshima-Nagasaki

Konten dari Pengguna
17 Agustus 2020 13:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Pandangan Jogja Com tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Seorang guide (jaket hijau) sedang menceritakan peristiwa pengeboman Hiroshima di Monumen Perdamaian Hiroshima kepada wisatawan pada tahun lalu. Foto: Maya Puspitasari
zoom-in-whitePerbesar
Seorang guide (jaket hijau) sedang menceritakan peristiwa pengeboman Hiroshima di Monumen Perdamaian Hiroshima kepada wisatawan pada tahun lalu. Foto: Maya Puspitasari
ADVERTISEMENT
Setiap Agustus selalu ada perjalanan ulang alik pada diri saya, antara Jepang dan Indonesia, antara Hiroshima-Nagasaki dan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
ADVERTISEMENT
Perasaan sendu selalu datang di hari keenam Agustus, ya hari itu, 6 Agustus pada 1945 adalah hari dijatuhkannya bom atom oleh pasukan sekutu di Kota Hiroshima. Disusul 3 hari kemudian, 9 Agustus, bom atom kembali jatuh di kota Nagasaki.
Kota Hiroshima masih satu pulau dengan kota Tokyo, yaitu pulau Honshu. Kota Hiroshima terletak sebelah selatan Tokyo, dengan jarak kurang lebih 810 km. Kota Nagasaki sudah berbeda pulau, yaitu pulau Kyushu. Banyak dari orang Indonesia tahu kedua nama kota itu dari pelajaran Sejarah.
Dan kita semua tahu, bulan Agustus juga merupakan bulan penting bagi Indonesia.
Tidak lama setelah kedua bom itu, maka tanggal 15 Agustus dinyatakan oleh pihak sekutu "Jepang kalah perang." Bagi orang Jepang sendiri tanggal 15 Agustus disebut hari "selesai perang," jadi tidak ada menang atau kalah perang.
ADVERTISEMENT
Hampir setiap tahun selalu ada upacara peringatan tanggal 6 dan 9 Agustus di Hioshima dan Nagasaki. Tahun 2020, dalam situasi pandemi juga tetap diadakan dengan mematuhi aturan yang ada, tempat duduk berjarak dan aturan yang lain. Upacara peringatan ini dihadiri oleh perwakilan negara yang punya hubungan diplomatik dengan Jepang. Masalah bom ini sudah diangkat menjadi international, dengan tujuan tetap yaitu "jangan terulang lagi."
Kesan dari Ibu yang mengalami penjajahan Jepang
Rombongan wisatawan berfoto di Monumen Perdamaian Hiroshima. Foto: Maya Puspitasari.
Di kota Hiroshima dan Nagasaki, ada museum tentang situasi setelah bom dijatuhkan. Kebetulan almarhum ibu saya pernah ke Jepang dan waktu itu sempat mengajak ke museum di Hiroshima. Almarhum Ibu saya, mengalami jaman penjajahan Jepang, sehingga sangat tertarik untuk melihat kota Hiroshima.
ADVERTISEMENT
Saat melihat gambar-gambar dan beberapa contoh barang yang hancur lebur, ibu saya berkomentar, "Kasihan juga orang Jepang, tetapi Jepang juga kejam sekali waktu menjajah Indonesia."
Sikap yang berbeda
Seoarang guide menerangkan patung The Atom Bomb Struck Jicozon.
Tentu masing-masing mempunyai kesan dan pandangan sendiri terhadap satu peristiwa yang sama. Yang dikuasai Jepang tidak hanya Indonesia, tapi juga Korea Selatan, Korea Utara dan sebagian dari China pun pernah mengalami pendudukan Jepang. Setelah 75 tahun dari akhir pendudukan itu, sikap negara pun berbeda.
Indonesia "sudah sangat melupakan" masa penjajahan Jepang, artinya sudah tidak mempermasalahkan lagi dalam komunikasi diplomatik di saat ini. Berbeda dengan Korea Selatan dan China. Boleh dikatakan Jepang, Korea Selatan, dan China pun masih "dalam perang" dalam bentuk diplomasi mereka.
ADVERTISEMENT
Bagi orang Jepang ada satu tradisi yang disebut "obong," yaitu antara tanggal 13 sampai tgl 16 Agustus tiap tahunnya.Tradisi Obong ini adalah tradisi untuk menghormati para leluhur yang telah mendahului, atau yang sudah meninggal. Tradisi ini berawal dari penganut agama Budha, dan sudah dimulai 500 tahun yang lalu.
Obong atau penghormatan kepada mereka yang sudah meninggal "sangat kebetulan" waktunya dekat dengan hari Jepang "selesai" atau "kalah" perang, yaitu 15 Agustus. Jadi bisa membuat kesan juga untuk menghormati bagi mereka yang gugur dalam perang.
Ada satu "jinja" atau tempat berdoa bagi orang Jepang (Shinto Shrine), di Tokyo yang bernama "Yasukuni Jinja" atau "Yasukuni Shrine", yang khusus diperuntukkan sebagai "penempatan" jiwa-jiwa dari orang yang gugur dalam perang.
ADVERTISEMENT
Sikap terhadap mereka yang gugur dalam perang memang "sangat berbeda," bahkan kebalikan. Bagi orang Jepang, orang Jepang yang gugur dalah "pahlawan," akan tetapi bagi negara lawannya mereka adalah "penjahat perang." Masalah inilah yang membuat Korea Selatan, Korea Utara dan China melayangkan protes ke Jepang jika Perdaan Menteri dan kabinetnya "menjalankan tradisi berdoa di Yasukuni Jinja." Kunjungan ke Yasukuni Jinja ini dianggap Jepang "melegalkan perang”. Protes ini dimulai sejak tahun 1985.
Yang Harus Setuju Adalah ..
Trem peninggalan perang dunia masih bisa dinikmati di Hiroshima. Foto: Maya Puspitasari.
Saya nggak bisa kasih komentar tentang kunjungan ke Yasukuni Jinja, tetapi satu yang pasti kita setuju adalah "tidak boleh perang." Jepang dalam sejarahnya, sebelum perang dunia 1 dan 2, juga ada peperangan diantara suku-suku yang ada di Jepang sendiri. Perang menimbulkan banyak penderitaan, baik yang menang maupun yang kalah. Banyak orang menjadi korban meski mereka sendiri tidak berperang.
ADVERTISEMENT
Tulisan ini saya akhiri dengan salah satu tulisan yang menyentuh di salah satu monomen perdamaian di Nagasaki, yang tertulis di batu. Kalimat yang diucapkan saat setelah bom jatuh dan meledak:
"I was thirsty beyond endurance. There was something oily on the surface of the water, but I wanted water so badly that I drank it just as it was." Saya haus sekali tak tertahankan. Ada air tapi di permukaanya ada semacam minyak, tetapi karena sangat ingin air, saya tetap minum bersama lapisan yang seperti minyak itu.
Terimakasih untuk tidak saling berperang, tidak saling bermusuhan, tidak saling membenci dan tidak saling menjatuhkan. Mari kita bersama membangun negara kita dengan damai, saling menolong dan saling menghormati, meski berbeda dalam banyak hal.
ADVERTISEMENT
Semoga damai selalu berada diantara kita. (Sapto Nugroho, Koresponden Pandangan Jogja di Tokyo, Jepang)