2 Aktivis Swedia Sepedaan ke 18 Negara, Singgah di UGM Bahas Kolonialisme Maroko

Konten Media Partner
9 Desember 2023 19:19 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dua aktivis kemanusiaan asal Swedia, Benjamin Ladraa dan Sanna Ghotbi saat tiba di Yogya. Foto: Dok. Benjamin & Sanna
zoom-in-whitePerbesar
Dua aktivis kemanusiaan asal Swedia, Benjamin Ladraa dan Sanna Ghotbi saat tiba di Yogya. Foto: Dok. Benjamin & Sanna
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Dua orang aktivis kemanusiaan asal Swedia, yakni Benjamin Ladraa dan Sanna Ghotbi telah melakukan aksi bersepeda melewati 18 negara sejak tahun lalu. Pada Kamis (7/12) kemarin, mereka tiba di Yogyakarta dan singgah di kampus Universitas Gadjah Mada (UGM).
ADVERTISEMENT
Aksi bersepeda itu dilakukan Benjamin dan Sanna untuk menyuarakan kolonialisme terhadap rakyat Sahara Barat yang dilakukan oleh pemerintah Maroko. Mereka menjelaskan, wilayah Sahara Barat diduduki oleh Maroko sejak 1976 ketika Spanyol menarik diri dan melepaskan kekuasaannya atas Sahara Barat.
“Sahara Barat bukan hanya menjadi pos kolonial terakhir di Afrika, tapi juga kolonial terbesar di dunia,” kata Benyamin saat bertemu jurnalis di UGM, Kamis (7/12).
Situasi di Sahara Barat yang masih diduduki oleh Maroko. Foto: Dok. Benjamin & Sanna
Namun selama ini kolonialisme di Sahara Barat sangat jarang diberitakan oleh media. Sebab, pemerintah Maroko sangat membatasi orang luar, termasuk jurnalis untuk masuk ke kawasan tersebut.
Karena itulah Ben dan Sanna melakukan misi bersepeda lintas negara untuk menyuarakan nasib rakyat Sahara Barat yang masih berada di bawah kolonialisme Maroko. Cara ini menurut mereka adalah cara yang paling mudah untuk dilakukan saat kolonialisme di sana tak pernah dikabarkan.
ADVERTISEMENT
“Bersepeda adalah cara paling mudah untuk menyuarakan penjajahan di Sahara Barat kepada orang-orang di jalan,” ujarnya.
Benjamin Ladraa dan Sanna Ghotbi saat bersepeda. Dok. Benjamin & Sanna
Selama melakukan ekspedisi tersebut, ia berjumpa dengan banyak orang yang sangat penasaran tentang keadaan di Sahara Barat, termasuk saat mereka bersepeda di Indonesia.
Di UGM, mereka juga berkesempatan untuk bertemu dengan para dosen dan mahasiswa untuk berdiskusi tentang penjajahan yang terjadi di Sahara Barat. Mereka menyaksikan bagaimana para mahasiswa di UGM sangat antusias mendengarkan cerita mereka tentang Sahara Barat.
“Menurut saya mereka mengembangkan kesadaran dengan sangat baik. Secara keseluruhan di Indonesia, masyarakat di sini memahami permasalahan seperti ini,” ujarnya.
Situasi di Sahara Barat yang masih diduduki oleh Maroko. Dok. Benjamin & Sanna
Sanna menjelaskan mereka berdua akan singgah di Yogya selama satu pekan. Selain ke UGM, mereka juga akan mendatangi kampus-kampus lain yang ada di Yogya. Hal ini menurutnya menjadi salah satu kesempatan besar bagi mereka untuk menyebarkan penjajahan di Sahara Selatan kepada kaum intelektual.
ADVERTISEMENT
“Ada sekitar seratus universitas di Jogja. Ini adalah berkah,” ujar Sanna.
Dari 18 negara yang pernah mereka lewati, Indonesia menurut mereka memiliki emosi yang paling besar terhadap situasi di Sahara Barat. Misalnya saat mereka berkunjung ke Universitas Airlangga di Surabaya.
“Saat kami berkunjung ke Universitas Airlangga, ada mahasiswa yang menangis, benar-benar menangis, mendatangi kami, memeluk kami, kami belum pernah melihat ada orang yang menangis seperti itu sebelumnya,” jelasnya.