Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Konten Media Partner
Achmad Munjid: Perkosaan 21 Santriwati di Bandung Contoh 'Pasar Gelap Islam'
13 Desember 2021 16:17 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
Apa yang dimaksud dengan 'pasar gelap Islam' yang dinilai makin marak sejak jatuhnya Suharto?
Dua kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan yang menyeret nama Islam terungkap dalam waktu yang nyaris berbarengan. Pertama, kasus pemerkosaan 21 santriwati di Pondok Tahfiz Al-Ikhlas, Yayasan Manarul Huda Antapani dan Madani Boarding School Cibiru, Kota Bandung, Jawa Barat, oleh pengasuh sekaligus pemilik pondok tersebut, Herry Wirawan. Kasus kedua yang juga terungkap pada waktu hampir berbarengan adalah kasus pencabulan 15 siswi SD oleh salah seorang guru agama Islam di Cilacap.
ADVERTISEMENT
Pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Cabang Istimewa Amerika Serikat yang kini aktif sebagai pengajar di Program Pascasarjana FIB UGM, Achmad Munjid, menyebut dua kasus ini merupakan bagian dari fenomena ‘pasar gelap Islam’. Dalam artian, upaya mencari keuntungan pribadi dengan cara ‘menjual’ atau mengatasnamakan agama, meski harus merugikan orang lain.
“Saya menyebut dua kasus tersebut adalah bagian dari fenomena pasar gelap Islam,” kata Achmad Munjid saat dihubungi, Sabtu (11/12).
Fenomena pasar gelap Islam, bermula sejak adanya pasang naik politik identitas di Indonesia sejak 1990-an yang kemudian berjalan makin kencang bersamaan dengan jatuhnya Suharto. Hal itu telah menggiring begitu banyak orang untuk menonjolkan simbol-simbol Islam di ruang publik, namun Islam sebagai prinsip moral menurut Munjid justru kurang dipedulikan, atau bahkan kian ditinggalkan.
ADVERTISEMENT
“Semua yang berlabel Islam laku keras. Jilbab, musala, lembaga dan kelompok Islam menjamur di mana-mana, tapi akhlak kita makin menyedihkan,” lanjutnya.
Laku kerasnya simbol-simbol Islam itu kemudian menarik begitu banyak orang untuk ‘bermain’ dan mengambil keuntungan, baik yang bersifat politik, ekonomi, mobilitas sosial, dan sebagainya.
Akibatnya, muncul aktor-aktor yang akhlaknya tak sesuai, atau bahkan bertentangan dengan Islam tapi memanfaatkan ghirah atau semangat beragama yang sedang naik di tengah masyarakat.
Selain kasus perkosaan dan pencabulan atas nama Islam yang sedang ramai, fenomena pasar gelap Islam lain juga sempat terjadi di antaranya kasus korupsi pengadaan Al-Qur’an, penipuan publik berkedok Islam seperti perusahaan layanan umroh, pengadaan uang oleh Dimas Kanjeng, dan masih banyak lagi.
ADVERTISEMENT
Kasus-kasus pasar gelap Islam itu, terjadi karena tingginya kebutuhan akan simbol-simbol Islam di masyarakat. Ketika kebutuhan atau demand tinggi, maka dibutuhkan supply yang tinggi juga. Di situlah peluang para aktor pelaku kejahatan yang memakai simbol Islam muncul.
“Kasus pemerkosaan santriwati di pesantren di Bandung itu adalah salah satu contohnya,” kata Achmad Munjid.
Kurang Skeptis Pada Simbol Agama
Publik yang sangat menggandrungi simbol-simbol Islam, menurut Munjid membuat semua hal yang mengatasnamakan Islam diterima begitu saja. Bahkan, masyarakat cenderung memberikan kelonggaran pada siapa saja yang dianggap tokoh agama atas apapun yang dia lakukan.
“Untuk urusan agama seolah tak perlu ada prosedur yang ketat, enggak perlu ada surat izin, apalagi audit atau pengawasan lembaga,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, ketika kepercayaan yang kelewat besar ini jatuh ke tangan orang yang salah, maka penyalahgunaan terjadi. Bisa dalam urusan kekuasaan, ekonomi, bahkan sampai urusan syahwat.
Ajaran agama itu sendiri memang bagus, tapi jika ada aktor-aktor yang hanya menggunakan agama sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok, dan lingkungan sosialnya ‘memberi kesempatan’, maka praktik agama justru bisa menyimpang jauh dari ajaran agama. Akibatnya, muncullah ekses simbolisme agama, atau simbolisme agama yang berlebihan.
“Kasus yang ada di Bandung itu mestinya menyadarkan kita akan ekses simbolisme agama tadi,” lanjutnya.
Padahal, agama dalam kontek ini Islam, menurut dia mesti ditempatkan sebagai tuntutan moral dan akhlak. Siapapun yang kelakuannya tidak sesuai dengan tuntutan etika Islam, meskipun dia seorang pengasuh pesantren, memiliki banyak santri, dan pintar menonjolkan permainan simbolis atas nama Islam, publik jangan sampai mudah terkecoh.
ADVERTISEMENT
Orangtua menurutnya perlu lebih teliti ketika memasukkan anak-anaknya ke pesantren. Memang, terkadang dalam situasi ekonomi yang sulit tak sedikit orangtua yang gampang tertarik pada promosi ‘pendidikan gratis’ seperti yang ditawarkan oleh pondok tahfidz di Bandung itu. Namun dia meminta supaya orangtua tetap berusaha memilih pesantren yang sudah dikenal baik dan diasuh oleh orang yang juga punya rekam jejak baik dan berakhlak terpuji.
Melalui Kementerian Agama, Achmad Munjid juga mendorong pemerintah supaya lebih ketat mengeluarkan izin dan melakukan audit pada lembaga-lembaga agama tanpa pandang bulu. Sehingga, penyalahgunaan wewenang seperti ini tidak terulang lagi.
“Jangan sampai, kasus ini meruntuhkan kepercayaan umat terhadap lembaga pesantren pada umumnya, lebih-lebih terhadap Islam atau agama secara umum,” kata Achmad Munjid. (Widi Erha Pradana / YK-1)
ADVERTISEMENT