Konten Media Partner

Bangkitkan Arsitektur Lokal, Masjid Raya Sumbar Menangkan Desain Terbaik Dunia

27 Desember 2021 11:53 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Masjid Raya Sumbar. Foto: Wikimedia Commons
zoom-in-whitePerbesar
Masjid Raya Sumbar. Foto: Wikimedia Commons
ADVERTISEMENT
Masjid Raya Sumatera Barat (Sumbar) dinobatkan sebagai salah satu masjid dengan desain terbaik di dunia oleh Abdullatif Al-Fozan Award, sebuah ajang penghargaan yang menampilkan karya dan desain masjid dari negara-negara berpenduduk Muslim di seluruh dunia. Masjid yang didesain oleh Rizal Muslimin ini menjadi satu dari tujuh masjid yang menerima penghargaan tersebut, mengalahkan 201 masjid dari 43 negara.
ADVERTISEMENT
Adapun elemen-elemen yang dinilai dalam penghargaan Abdullatif Al-Fozan ini di antaranya inovasi dalam perencanaan, desain, serta teknologi yang dapat menjurus ke identitas arsitektur masjid di era abad ke-21.
Tak seperti masjid pada umumnya yang memiliki atau berbentuk kubah, masjid yang juga dikenal dengan nama Masjid Mahligai Minang ini memiliki atap khas budaya Minangkabau, yakni menyerupai atap Rumah Gadangdengan empat sudut lancip. Tak hanya soal keunikan desain, Masjid Raya Sumbar juga dirancang untuk tahan gempa hingga kekuatan 10 magnitudo.
Ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) DIY, Ahmad Saifuddin Mutaqi, menyambut gembira penghargaan tersebut. Pasalnya, penghargaan-pernghargaan seperti ini dapat memicu arsitek-arsitek tanah air untuk terus berinovasi dan membuat karya-karya terbaik mereka. Apalagi, desain Masjid Raya Sumbar yang baru saja mendapat penghargaan ini mengusung konsep tradisional Nusantara, yakni kearifan masyarakat Minang.
ADVERTISEMENT
“Ini sekaligus jadi media untuk mengenalkan desain yang otentik dari Indonesia ke dunia internasional,” kata Ahmad Saifuddin ketika dihubungi, Rabu (22/12).
Masjid Raya Sumatera Barat Foto: Wikimedia Commons
Sebelum semua masjid di Indonesia berbentuk kubah, sebenarnya sempat ada masa ketika masjid-masjid dibangun sesuai dengan budaya dan kearifan loka. Misalnya Masjid Agung Demak, Kudus, Yogyakarta, atau Cirebon, yang dibangun pada masa Kerajaan Mataram. Desain masjid-masjid tersebut masih otentik mengusung budaya Jawa yang ditandai dengan atapnya yang berbentuk tajug.
Namun, pada era kolonial, desain masjid mulai terpengaruh oleh arsitektur luar, terutama Timur Tengah. Hal ini ditandai dengan didirikannya Masjid Baiturrahman Aceh yang didirikan pada 1612 pada masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda.
“Itu kan mengusung arsitektur Timur Tengah,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Pada awal kemerdekaan, Sukarno juga membangun masjid Istiqlal dengan kubah yang sangat besar. Sejak saat itu, masjid-masjid di seluruh Indonesia dibangun dengan kubah sebagai atapnya.
Pada masa Orde Baru, Yayasan Amalbhakti Muslim Pancasila (YAMP) yang dibangun oleh Suharto memiliki program pembangunan 999 masjid di seluruh Indonesia. Memang, desain yang masjid-masjid yang dibangun tidak lagi menggunakan kubah. Namun, seluruh masjid yang dibangun dengan mengusung arsitektur Jawa.
“Padahal masjid itu kan dibangun di mana-mana, Sulawesi, Kalimantan, dan sebagainya, sehingga kurang mendapat apresiasi yang positif,” ujarnya.
Nampak Depan Masjid Raya Sumatera Barat Foto: Instagram (@culinary_journey2018)
Penghargaan yang diterima oleh Masjid Raya Sumbar ini, menurutnya menjadi momentum kebangkitan arsitektur-arsitektur Nusantara yang mengusung konsep lokalitas setempat. Desain masjid tidak harus leterlek dengan kubah, atau dengan atap tajug seperti masjid-masjid Jawa. Masjid juga bisa dibangun sesuai dengan kearifan lokalitas setempat, sehingga lebih sesuai baik secara budaya maupun fungsinya.
ADVERTISEMENT
Sejauh ini, menurutnya juga nyaris tidak ada masjid-masjid berkubah di Indonesia yang mendapatkan penghargaan bergengsi baik di tingkat nasional maupun internasional. Karena itu, para arsitek tanah air menurutnya perlu terus menggali dan mengeksplorasi nilai-nilai lokal di tiap daerah untuk dituangkan ke dalam karya-karya terbaik mereka.
“Ini momentum penting, bahwa desain masjid itu tidak harus leterlek, tidak harus berkubah, tapi disesuaikan dengan locality di tiap daerah,” lanjutnya.
Desain arsitektur lokal ini juga bukan hanya tentang artistik. Arsitektur-arsitektur lokal yang ada di Indonesia, menurutnya juga telah disesuaikan dengan kondisi lingkungan di sekitarnya, misalnya dari segi pencahayaan, sirkulasi udara, dan sebagainya. Secara fungsional, arsitektur lokal tentu jauh lebih sesuai dibandingkan dengan arsitektur-arsitektur dari daerah atau negara lain.
ADVERTISEMENT
Apalagi saat ini kita sudah banyak belajar tentang pandemi, dimana di dalamnya terdapat pelajaran penting tentang bagaimana mendesain tempat yang biasa menjadi tempat berkumpul banyak orang seperti masjid.
“Dan arsitektur lokal itu telah memperhitungkan semuanya, sehingga dari segi pencahayaan, sirkulasi udara, dan semuanya telah disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing, bukan hanya soal estetika,” kata Ahmad Saifuddin Mutaqi. (Widi Erha Pradana / YK-1)