Konten Media Partner

Bir Jawa, Kunci Raja Jawa Melawan Penjajah Pakai Kulinari

14 Oktober 2021 19:57 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi bir jawa. Foto: Kedai Denwir
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bir jawa. Foto: Kedai Denwir
ADVERTISEMENT
Sejak ratusan tahun silam, kuliner telah menempati posisi penting dalam proses diplomasi. Banyak misi-misi politik yang berhasil dicapai oleh raja-raja Nusantara ketika melakukan diplomasi dengan pihak asing, termasuk para penjajah. Salah satu kulinari penting dalam diplomasi melawan penjajah itu adalah bir Jawa. Bagaimana kisahnya?
ADVERTISEMENT
Sejarawan yang juga dosen sejarah di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Heri Priyatmoko, mengatakan bahwa diplomasi melalui meja makan ini telah dilakukan oleh raja Mataram Islam ratusan tahun silam. Sebuah catatan salah seorang utusan VOC menyebutkan, ketika mereka berkunjung ke Kraton Mataram Islam, mereka mendapati kembul bujono, yakni pesta makan besar untuk menyambut tamu asing.
Bahkan, pihak Kraton menyiapkan pawon atau dapur khusus untuk menyiapkan hidangan jika ada tamu asing. Supaya tamu-tamu mereka makin merasa dimanjakan, dalam dapur itu juga disediakan koki orang Eropa.
“Karena bagaimanapun misi politik itu akan lancar, akan mulus lobi-lobinya melalui pendekatan kuliner, pasti di meja makan,” kata Heri Priyatmoko dalam acara Talk Show Jalur Rempah: Melacak Jejak Budaya Rempah pada Kuliner Tempo Dulu yang disiarkan secara daring oleh Balai Pelestari Cagar Budaya (BPCB) DIY, Senin (13/9).
Heri Priyatomoko. Foto: Dokumen Pribadi
Hal sama juga diungkapkan oleh Pakar Gastronomi yang juga Tim Kosmopolis Rempah UGM, Murdijati Gardjito. Menurutnya, diplomasi meja makan memang sudah dilakukan oleh raja-raja Jawa ratusan tahun silam. Ada banyak masakan Nusantara yang berhasil membuat orang-orang Eropa tercengang setelah mencicipinya, salah satunya semur.
ADVERTISEMENT
Semur sebenarnya berasal dari kata Belanda, yakni smoor yang berarti memasak dengan sedikit air. Aslinya, semur dibuat tanpa bumbu rempah, namun ketika dibuat oleh koki Nusantara, semur ditambah berbagai jenis rempah seperti pala, merica, dan cengkih.
“Lalu cita rasanya menjadi berubah ke arah mengejutkan dan membahagiakan, khususnya bagi orang asing,” kata Murdijati Gardjito.
Cita rasa semur yang dibuat oleh koki kerajaan dengan tambahan berbagai jenis rempah sangat dikagumi oleh orang-orang Eropa. Kegembiraan para petinggi Eropa dengan cita rasa semur sampai memunculkan budaya makan baru yang disebut rijsttafel, yakni pesta makan yang sangat mewah.
Bagi Murdijati, rijsttafel merupakan suatu penghormatan bagi kuliner Nusantara karena tersaji dengan sangat terhormat.
“Pelayanannya mewah, jumlah pelayannya sering lebih banyak daripada tamunya, tamunya berpakaian resmi, itu adalah the way mereka menghormati makanan Indonesia. Saking kagumnya pada rempah Indonesia,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Bir Jawa Kunci Diplomasi Kraton Yogya
Murdijati Gardjito. Foto: Widi Erha Pradana
Dalam budaya Barat, bir merupakan minuman yang sangat penting ketika melakukan diplomasi. Tapi persoalannya saat itu harga bir sangat mahal karena harus diimpor dari Belanda dan membutuhkan waktu hingga sebulan untuk mendatangkannya. Karena itu, saat itu bir hanya menjadi minuman mewah para petinggi Belanda, raja, dan pangeran.
“Tapi orang Jawa, dalam hal ini abdi dalem Kraton itu tidak kurang akal, mereka menciptakan sebuah ramuan,” kata Murdijati Gardjito.
Ramuan tersebut terbuat dari rempah-rempah yang dalam Serat Centhini disebut sebagai wedhang secang. Para abdi dalem kemudian mengembangkan ramuan itu dengan menambahkan 10 jenis rempah ke dalamnya, yaitu pala, merica, cengkih, kayu manis, kapulaga, kemukus, mesoyi, sereh, jahe, serta jeruk nipis.
ADVERTISEMENT
“Serutan kayu secang kalau diberi jeruk nipis, serutan kayu secang yang berwarna merah bisa berubah menjadi kecokelatan mirip bir,” lanjutnya.
Minuman dari ramuan rempah itu kemudian disebut sebagai bir jawa. Dengan adanya bir jawa, maka Kerajaan tak perlu lagi mendatangkan bir dari Belanda dengan biaya besar untuk berdiplomasi. Melalui biir jawa juga Kraton Yogyakarta berhasil menunjukkan pada para penguasa Belanda bahwa Kraton bisa membiayai minum bir untuk semua orang yang hadir pada pisowanan ageng atau pertemuan besar.
“Ini sebuah diplomasi melalui minuman yang berbasis rempah yang salah satunya terjadi di Kraton Yogyakarta,” kata Murdijati Gardjito. (Widi Erha Pradana / YK-1)