Konten Media Partner

Cara Beri Edukasi Seks ke Siswa SLB: Penis sebut Penis, Jangan Burung atau Mr P

5 November 2023 19:27 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mahasiswa UGM tengah memberikan edukasi seksual kepada pelajar penyandang tunagrahita di salah satu SLB di Yogya. Foto: Dok. PKM-PM ESSEL UGM
zoom-in-whitePerbesar
Mahasiswa UGM tengah memberikan edukasi seksual kepada pelajar penyandang tunagrahita di salah satu SLB di Yogya. Foto: Dok. PKM-PM ESSEL UGM
ADVERTISEMENT
Memberikan edukasi seksual kepada siswa penyandang disabilitas keterbelakangan mental atau tunagrahita harus dilakukan dengan bahasa-bahasa yang lugas, bukan dengan istilah-istilah kiasan meskipun tujuannya untuk memperhalus bahasa tersebut.
ADVERTISEMENT
Hal itu disampaikan oleh Faiqal Dima Hanif, ketua tim Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) Pengabdian Masyarakat (PM) Edukasi Seksual berdasarkan Social Emotional Learning (ESSEL) dari Universitas Gadjah Mada (UGM).
Pada September kemarin, ia dan timnya melakukan pelatihan tentang edukasi seksual kepada 31 siswa tunagrahita di salah satu Sekolah Luar Biasa (SLB) di Yogyakarta. Menurutnya, jika proses edukasi diberikan dengan bahasa-bahasa yang diperhalus justru akan membuat potensi siswa salah memahami materi semakin besar.
Mahasiswa UGM saat memberikan edukasi seksual kepada pelajar penyandang tunagrahita di salah satu SLB di Yogya. Foto: Dok. PKM-PM ESSEL UGM
Misalnya menyebut alat kelamin perempuan, maka sebut saja vagina. Sedangkan alat kelamin laki-laki maka sebut saja penis, seperti nama yang sebenarnya.
“Alat kelamin pria itu penis, kelamin wanita itu vagina, kita langsung saja menyebutkan supaya enggak ada kesalahpahaman,” kata Faiqal saat ditemui Pandangan Jogja awal pekan kemarin.
ADVERTISEMENT
Seringkali atas dasar kesopanan, orang menggunakan istilah lain terlebih jika mengatakannya kepada anak-anak. Misalnya alat kelamin perempuan disebut Mrs V, sedangkan alat kelamin laki-laki disebut burung atau Mr P.
Ketua Tim PKM-PM ESSEL UGM, Faiqal Dima Hanif. Foto: Arif UT/Pandangan Jogja
Istilah-istilah ini justru bisa membuat anak-anak, apalagi penyandang tunagrahita gagal memahami hal yang disampaikan.
“Takutnya kalau bahasa itu lebih halus salah pahamnya lebih besar. Jadi pakai bahasa yang straight saja, pakai istilah yang asli sehingga jelas,” lanjutnya.
Penyandang disabilitas tunagrahita menurutnya merupakan kelompok yang rentan mengalami kekerasan seksual maupun perilaku seksual yang tidak sehat. Karena itu, mereka harus mendapat pembelajaran yang cukup supaya tidak menjadi korban, maupun pelaku.
Mahasiswa UGM saat memberikan edukasi seksual kepada pelajar penyandang tunagrahita di salah satu SLB di Yogya. Foto: Dok. PKM-PM ESSEL UGM
Paling tidak ada dua materi utama yang mesti dipahami oleh mereka, yakni tentang perilaku seksual yang aman dan kesehatan reproduksi. Perilaku seksual yang aman misalnya bagaimana anak mengetahui bagian tubuh mana saja yang tidak boleh dipegang orang lain atau tidak boleh memegang orang lain.
ADVERTISEMENT
“Ketika mereka ingin memeluk atau mencium orang lain itu tidak boleh sembarangan. Walaupun sesama jenis tetap butuh persetujuan, itu yang kita tekankan,” ujarnya.
Sampul buku pedoman edukasi seksual berdasarkan Social Emotional Learning yang dibuat oleh Tim PKM-PM ESSEL UGM. Foto: Arif UT/Pandangan Jogja
Sedangkan materi kesehatan reproduksi meliputi kebersihan organ-organ vital, bagaimana menjaga higienitas organ-organ vital tersebut, serta bagaimana memperlakukan organ-organ vitalnya.
“Kita tekankan akibatnya misalnya kalau tidak menjaga kesehatan maka mereka akan terkena penyakit dan sebagainya,” jelas Faiqal.
Dalam menjalankan program ini, Faiqal bekerja sama dengan empat anggota tim lainnya yang juga merupakan mahasiswa UGM. Mereka adalah Yunintria Imtihanah, Adira Zahra, Clara Widyatna, dan Kiara Maharani.