Konten Media Partner

Dari Dapur Nenek di Garut, Bu Bagyo Satukan Selera Lidah Sunda–Jawa di Jogja

8 Oktober 2025 15:17 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Konten Media Partner
Dari Dapur Nenek di Garut, Bu Bagyo Satukan Selera Lidah Sunda–Jawa di Jogja
Perempuan asal Garut, Rina Muldinawati atau Bu Bagyo, menjaga warisan rasa keluarganya lewat Lalawuh Sunda di Yogyakarta, menyatukan cita rasa lidah Sunda dan Jawa. #publisherstory #pandanganjogja
Pandangan Jogja
Kolam ikan yang menjadi salah satu ikon di Lalawuh Sunda. Foto: Arif UT/Pandangan Jogja
zoom-in-whitePerbesar
Kolam ikan yang menjadi salah satu ikon di Lalawuh Sunda. Foto: Arif UT/Pandangan Jogja
ADVERTISEMENT
Di tengah riuh kota Yogyakarta, ada aroma yang mengingatkan Rina Muldinawati pada masa kecilnya di Garut: Wangi nasi liwet yang baru matang di tungku kayu. Dari sanalah kisahnya bermula, kisah seorang perempuan yang menjaga warisan rasa dan menjadikannya jembatan antara dua budaya: Sunda dan Jawa.
ADVERTISEMENT
Rina, yang akrab disapa Bu Bagyo, kini menyalurkan cintanya pada dapur lewat Lalawuh Sunda, rumah makan bergaya saung di barat Tugu Yogyakarta, tak jauh dari Mirota Godean. Di tempat itu, ia memasak dengan cara yang sama seperti ibunya dulu: Penuh kesabaran dan ingatan.
“Saya itu anak perempuan pertama di keluarga saya, jadi sama ibu saya memang disiapkan untuk bisa masak,” ujar Konsultan Menu Lalawuh Sunda itu kepada Pandangan Jogja, Selasa (16/9).
Konsultan Menu Lalawuh Sunda, Rina Muldinawati. Foto: Arif UT/Pandangan Jogja
“Saya belajar dari ibu dan nenek. Saya bisa memasak karena warisan turun-temurun dari mereka.”
Bu Bagyo tumbuh di keluarga besar yang gemar ngariung, yakni tradisi berkumpul sambil memasak dan makan bersama di Sunda. Bagi keluarganya, dapur bukan sekadar ruang kerja, tapi tempat kasih dan cerita diwariskan.
ADVERTISEMENT
Rasa Pulang yang Dimasak Ulang
Dalam setiap pertemuan keluarga di Garut, selalu ada satu menu yang tak pernah absen, yakni nasi liwet.
“Kalau di Sunda itu, setiap ngariung pasti ada nasi liwet. Dulu dimasaknya di tungku, bumbunya cuma garam, di atasnya dikasih ikan asin. Sederhana, tapi itu yang bikin nikmat,” kenangnya.
Satu periuk nasi liwet dengan taburan teri Medan, petai, dan jambal roti menjadi salah satu kuliner andalan di Lalawuh Sunda. Foto: Dok. Lalawuh Sunda
Kini, jauh dari tanah kelahiran, nasi liwet itu kembali hadir di dapur Lalawuh Sunda, bukan sekadar hidangan, tapi cara melepas rindu. Ia mengolahnya dengan sentuhan baru: Jambal roti, petai, dan teri medan, tanpa menghilangkan ruh kesederhanaannya.
“Kalau zaman dulu, cukup nasi liwet tanpa lauk saja sudah enak. Sekarang saya kreasikan, tapi tetap saya pertahankan rasa aslinya,” ujarnya.
Menyatukan Dua Lidah
ADVERTISEMENT
Tinggal di Yogyakarta membuat Bu Bagyo belajar menjembatani dua selera, yakni lidah Sunda yang gurih dan pedas, serta lidah Jawa yang lembut dan manis.
“Saya ingin menjahit dua kain indah, lidah Jawa dan lidah Sunda, jadi satu kain yang lebih indah,” katanya.
Lewat Lalawuh Sunda, ia membawa resep keluarga dari Garut, yaitu cumi cabe gendot, gurame pesmol, sayur asem, combro, misro, hingga bakwan jagung. Dari semua itu, cabai gendot — jenis cabai khas tanah Sunda — menjadi ikon baru yang memikat penikmat pedas di Jogja.
“Sensasinya lengkap dari asin, pedas, gurih. Semua ada di satu gigitan,” ujarnya sambil tersenyum.
Ketika Makanan Jadi Jembatan Kenangan
Bagi Bu Bagyo, makanan yang baik tidak berhenti di rasa kenyang. Ia percaya, setiap hidangan punya kekuatan untuk memanggil kembali rumah dan kenangan masa lalu.
ADVERTISEMENT
“Banyak orang Sunda yang makan di sini bilang, rasanya seperti pulang ke kampung halamannya,” tuturnya.
Di meja-meja Lalawuh Sunda, tak sedikit tamu datang bukan karena lapar, tapi karena rindu pada rumah, pada orang tua, atau pada suasana masa kecil yang tak lagi bisa diulang.
Suasana makan bersama keluarga di saung modern yang menjadi ciri khas Lalawuh Sunda. Foto: Arif UT/Pandangan Jogja
“Kadang orang rindu tanah leluhur, rindu orang tua atau keluarga. Cukup dengan makanan, rasa harap rasa rindu itu bisa sedikit terobati,” ucapnya pelan.
Setiap pagi, Bu Bagyo menyalakan kompor di dapur Lalawuh Sunda dengan kesabaran yang sama seperti ibunya dulu menyalakan tungku di Garut. Ia tahu, yang diwariskan bukan sekadar resep, tapi nilai — tentang ketekunan, kehangatan, dan rasa syukur atas setiap hidangan yang tersaji.
Dari Garut ke Yogyakarta, dari tungku kayu ke kompor gas, dari meja makan keluarga ke meja makan pelanggan, Bu Bagyo membawa satu hal yang tak berubah: Keyakinan bahwa makanan adalah cara paling jujur untuk berbagi kasih.
ADVERTISEMENT