Dosen Pertanian UGM Sebut Kualitas Kedelai Lokal Jauh Lebih Bagus dan Enak

Konten Media Partner
22 Februari 2022 16:55 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pekerja menunjukkan kedelai impor yang harganya melambung di sentra industri tahu dan tempe Kampung Rawa, Johar Baru, Jakarta, Senin (21/2/2022). Foto: Aditya Pradana Putra/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Pekerja menunjukkan kedelai impor yang harganya melambung di sentra industri tahu dan tempe Kampung Rawa, Johar Baru, Jakarta, Senin (21/2/2022). Foto: Aditya Pradana Putra/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Kualitas kedelai lokal seringkali disebut kurang bagus untuk membuat tempe atau tahu. Ukuran bijinya yang kecil-kecil, membuat kedelai varietas lokal sering dipandang sebelah mata. Akibatnya, sebagian besar produsen tempe maupun tahu di Indonesia, kini justru memilih memakai kedelai impor sebagai bahan baku utamanya.
ADVERTISEMENT
Hal itu mengakibatkan industri tempe dan tahu kita jadi sangat bergantung pada suplai bahan baku dari luar negeri. Dan dalam situasi sulit seperti sekarang, karena tak punya kedaulatan kedelai sendiri, para produsen tahu dan tempe jadi kelimpungan karena harga kedelai impor terus melejit.
Dosen Fakultas Pertanian UGM yang aktif meneliti dan mengembangkan kedelai lokal, Atris Suyantohadi, tidak menampik jika banyak anggapan kalau kedelai lokal kalah kualitas dibandingkan dengan kedelai impor. Bahkan, untuk membuat tempe yang notabene makanan asli Indonesia saja, kedelai impor dianggap lebih bagus.
Padahal, Indonesia menurut dia juga punya varietas kedelai lokal yang bahkan jauh lebih bagus ketimbang kedelai-kedelai yang biasa diimpor Indonesia dari Amerika Serikat. Misalnya adalah kedelai lokal varietas grobogan dan biosoy, yang merupakan varietas unggulan nasional berbiji besar. Menurut Atris, dua jenis kedelai itu menang segalanya dibandingkan dengan kedelai-kedelai yang biasa diimpor Indonesia dari luar negeri.
ADVERTISEMENT
Dari segi ukuran, varietas grobogan dan biosoy memiliki ukuran yang lebih besar ketimbang kedelai impor. Kedelai lokal grobogan dan biosoy per seratus butir memiliki berat antara 17 sampai 18 gram, sedangkan kedelai impor beratnya antara 14 sampai 17 gram per seratus butir.
“Bukan hanya lebih besar, tapi dari segi kesegarannya kedelai lokal kita lebih bagus, secara kenampakan warnanya jadi kuning-kuning dan lebih jernih warnanya,” kata Atris Suyantohadi saat dihubungi, Selasa (22/2).
Dosen Fakultas Pertanian UGM yang aktif meneliti dan mengembangkan kedelai lokal, Atris Suyantohadi,
Ketika direndam, daya kembang kedelai lokal kita juga bisa mencapai 1,8, sedangkan kedelai impor maksimal hanya mencapai angka 1,5. Jadi secara daya kembang kedelai lokal varietas grobogan dan biosoy ini jauh lebih bagus untuk membuat tempe maupun tahu ketimbang kedelai impor.
ADVERTISEMENT
Namun pandangan umum di tengah masyarakat justru berbanding terbalik. Kedelai lokal selalu terkesan kecil-kecil dan tidak mengembang untuk dijadikan tahu atau tempe, serta sangat sulit untuk diproses jadi tempe. Padahal, tempe yang dibuat dari kedelai lokal menurut dia lebih enak dan lebih disukai oleh masyarakat dibandingkan tempe yang dibuat dari kedelai impor.
“Seolah-olah seperti kembali ke era swasembada kedelai, jadi merasa, oh ini tempe asli yang dulu, rasanya enak,” ujarnya.
Rasa yang lebih enak menurut dia dipengaruhi beberapa hal, seperti kesegaran kedelai lokal yang terjaga. Sebab, kedelai lokal maksimal disimpan itu hanya sampai enam bulan, jika lebih dari itu biasanya sudah dimakan hewan-hewan semacam kutu yang membuat lubang. Sedangkan untuk kedelai impor hal semacam itu belum terjadi meski sudah disimpan selama satu tahun.
ADVERTISEMENT
Dari kandungan gizi, kedelai lokal varietas grobogan juga memiliki kandungan protein yang lebih tinggi ketimbang kedelai impor. Kedelai lokal varietas grobogan memiliki kandungan protein mencapai 47 persen, sedangkan kedelai impor hanya di kisaran 32 sampai 34 persen.
“Jadi kandungan gizi kedelai lokal jauh lebih tinggi, sehingga kalau dibuat tempe sudah pasti lebih enak yang lokal,” kata Atris Suyantohadi.
Perlu Terobosan Atasi Krisis Kedelai
Dosen Fakultas Pertanian dan Sekolah Pascasarjana UGM, Subejo. Foto: Kagama
Menanggapi krisis kedelai yang tengah terjadi, Dosen Fakultas Pertanian dan Sekolah Pascasarjana UGM, Subejo, menuturkan krisis kedelai global dipicu oleh beberapa hal yaitu menurunnya produksi kedelai di Amerika Serikat dan Brasil sebagai penghasil utama kedelai dunia akibat La Nina serta meningkatnya impor kedelai oleh China. China saat ini, menurutnya, merupakan importir kedelai terbesar di dunia dimana tahun 2020 mengimpor 58 persen dari total ekspor kedelai Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
Subejo menjelaskan kedelai merupakan tipikal komoditas yang sangat sesuai dikembangkan di negara empat musim dan kurang optimal dikembangkan di negara beriklim tropis seperti Indonesia. Tingkat produktivitas kedelai Indonesia sangat jauh dibandingkan dengan produktivitas di Amerika dan Eropa.
“Dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang terus meningkat permintaan kedelai juga semakin meningkat, akibatnya impor kedelai tidak dapat dihindarkan," ucapnya.
Maka cukup wajar jika impor kedelai jauh lebih besar dibandingkan kemampuan produksi nasional. Menyitir data BPS tahun 2019 beberapa tahun terakhir kebutuhan kedelai nasional sebesar 3,4-3,6 juta ton per tahun. Di sisi yang lain, kapasitas produksi kedelai paling tinggi hanya mendekati 1 juta ton.
Dengan kondisi tersebut maka setiap tahun diperlukan impor sebanyak 2,4-2,6 juta ton. Bahkan, pada tahun 2017 total impor kedelai mencapai 2,67 juta ton yang bernilai US$ 1,15 miliar dimana 2,63 juta ton berasal dari Amerika serikat.
ADVERTISEMENT
“Rendahnya kapasitas produksi kedelai ini dapat dilihat dari data BPS pada 2019, dan dalam 5 tahun terkahir produksi tertinggi kedelai tahun 2016 dan 2017 sebesar 859.653 ton dan 538.728 ton, pada tahun 2018 mengalami kenaikan menjadi 982.528 ton," katanya.
Menyitir pendapat Terzis Dragan dkk (2018) memperlihatkan rerata produktivitas kedelai tertinggi di dunia yaitu Amerika (3,1 ton/ha), disusul Oceania dan Eropa sebesar 2,14 ton/ha dan 2,08 ton/ha. Sementara rerata produktivitas kedelai di negara Asia hanya mencapai 1,45 ton/ha, dan data BPS tahun 2019 melaporkan produktivitas kedelai Indonesia sepanjang 2005-2015 hanya berkisar 1,3-1,5 ton/ha.
Oleh karena itu, menurut Subejo diperlukan terobosan untuk menekan impor kedelai secara signifikan dan menjaga stabilitas harga. Diperlukan program strategis melalui penguatan inovasi produksi.
ADVERTISEMENT
“Inovasi pemuliaan benih kedelai yang produktif, adaptif terhadap perubahan iklim dan memilki citra rasa baik sangat urgen dilakukan," jelasnya.