Konten Media Partner

Dosen UGM: Cuaca Ekstrem di Indonesia Terus Meningkat dan Akan Semakin Parah

24 Maret 2023 21:07 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi cuaca ekstrem. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi cuaca ekstrem. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Dosen Laboratorium Hidrologi dan Klimatologi Lingkungan, Fakultas Geografi UGM, Andung Bayu Sekaranom, mengatakan bahwa fenomena cuaca ekstrem di Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan fenomena cuaca ekstrem ini menurut dia terutama disebabkan oleh dampak perubahan iklim.
ADVERTISEMENT
Sejumlah dampak perubahan iklim ini juga sudah semakin sering terjadi di Indonesia, seperti meningkatnya frekuensi banjir, meningkatnya bencana kekeringan, serta mundurnya masa musim hujan. Kondisi ini diprediksi akan semakin parah dalam 20 tahun ke depan seiring dengan adanya kenaikan suhu global yang lebih tinggi.
“Diprediksi oleh banyak lembaga internasional bahwa suhu akan meningkat dan hawa panas di mana-mana di belahan bumi ini,” kata Andung dalam seminar yang bertajuk ‘Prediksi Musim: Antara Variabilitas dan Perubahan Iklim’, di ruang Auditorium Merapi Fakultas Geografi UGM, Jumat (24/3).
Menurut Andung, selain mengalami peningkatan temperatur, negara-negara di kawasan tropis dan subtropis juga akan mengalami peningkatan curah hujan.
“Hingga tahun 2100 akan semakin tinggi tingkat curah hujan dan ada kaitannya dengan bencana sehingga perlu mitigasi,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Andung Bayu Sekaranom. Foto: Kagama
Sayangnya menurut Andung, proses mitigasi tersebut seringkali terkendala oleh keterbatasan data yang tersedia untuk dianalisis.
“Kita butuh data lebih detail seberapa besar dampak dari perubahan iklim ini,” kata Andung.
Sementara itu, Koordinator Bidang Analisis Variabilitas Iklim BMKG Pusat, Supari, mengatakan bahwa data layanan informasi cuaca di BMKG menggunakan data dari hasil observasi 42 radar, 113 meteorologi station, 102 upper air station, 14 marine meteorologi station, dan lebih dari 1.200 Automatic Weather Station (AWS).
Dari data observasi ini, umumnya kondisi cuaca di permukaan dan atmosfer juga terkait dengan kondisi angin, suhu, tekanan, dan kelembaban udara. Data-data pengamatan tersebut kemudian digabungkan dan dikonversi menjadi sebuah model prakiraan.
“Hasil pemodelan cuaca dengan bentuk prakiraan berbasis dampak, kemudian bisa memberikan informasi lebih lanjut dengan prakiraan dan dampak yang dihasilkan,” ujar Supari.
ADVERTISEMENT