Dosen UGM: Konsep Pembangunan IKN Nusantara Mirip Kerajaan Jawa Zaman Dulu

Konten Media Partner
16 Maret 2022 16:30 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gubernur Anies Baswedan menyerahkan tanah dan air kepada Presiden Jokowi di Titik Nol IKN, Senin (14/3/2022). Foto: Youtube/Setpres
zoom-in-whitePerbesar
Gubernur Anies Baswedan menyerahkan tanah dan air kepada Presiden Jokowi di Titik Nol IKN, Senin (14/3/2022). Foto: Youtube/Setpres
ADVERTISEMENT
Dosen Filsafat dari Universitas Gadjah Mada (UGM) yang juga aktif meneliti tentang kebudayaan Jawa, Sindung Tjahjadi, mengatakan bahwa ada kemiripan antara konsep pengaturan tata ruang Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara dengan keraton yang dibangun kerajaan-kerajaan Jawa zaman dulu.
ADVERTISEMENT
Misalnya dalam pengaturan tata ruang. Kerajaan-kerajaan Jawa selalu menggunakan konsep Mandala untuk mengatur tata ruang, mulai dari Mataram Hindu, Majapahit, Mataram Islam, sampai Kasultanan Yogyakarta yang dibangun pada tahun 1755 oleh Sultan Hamengku Buwono I. Dalam konsep mandala, keberadaan raja atau keraton jadi titik pusat kerajaan.
“Di prinsip mandala itu memang keraton sebagai pusat semesta kosmologis,” kata Sindung Tjahjadi ketika dihubungi, Selasa (15/3).
Dalam konsep mandala, semua hal tentang pembangunan keraton sangat dihitung matang, mulai dari aspek pertahanan, perekonomian, dan sebagainya.
“Bahkan keraton itu menghadap ke mana juga diperhitungkan berdasarkan kosmologi Jawa,” ujarnya.
Hal itu dia lihat juga dalam pemilihan lokasi ibu kota baru yang terletak di tengah Indonesia, yakni di Penajam Paser Utara di Kalimantan Timur. Dengan titik nol kilometer yang baru, paradigma pembangunan Indonesia menurutnya akan sangat berbeda dibandingkan ketika ibu kota berada di Jakarta.
ADVERTISEMENT
“Ini memungkinkan pembangunan yang lebih merata, tidak hanya berpusat di bagian barat saja,” lanjutnya.
Meski begitu, prinsip mandala dalam pembangunan tata ruang IKN Nusantara ini menurutnya sudah jauh lebih futuristik. Jika prinsip mandala yang dipakai dalam tata ruang kerajaan-kerajaan Jawa mengadopsi prinsip kosmologi Hindu, prinsip mandala dalam pembangunan IKN Nusantara ini menurutnya lebih melihat bagaimana strategi pembangunan nasional yang melihat Indonesia sebagai negara yang sangat beragam terutama dari aspek sosial dan budayanya.
“Kalau ke depan kan tidak mungkin berdasarkan kosmologi Hindu, tetapi tetap ada paradigma kesemestaan bahwa Indonesia itu pusatnya di mana dan kemudian bagaimana pola-pola untuk mengembangkan kanan, kiri, atas, dan bawahnya,” ujarnya.
Kerajaan-kerajaan Jawa Juga Pernah Memindahkan Ibukota
Pekerja menyelesaikan pekerjaan persiapan jelang seremoni ritual Kendi Nusantara di titik nol Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Minggu (13/3/2022). Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO
Sindung mengatakan, tak ada salahnya pemindahan ibu kota negara. Kerajaan-kerajaan Jawa, dari mulai Mataram Kuno, Kahuripan, Majapahit, sampai Mataram Islam juga tercatat pernah beberapa kali memindahkan pusat pemerintahannya.
ADVERTISEMENT
Misalnya Mataram Islam, yang ketika pertama didirikan berpusat di Kotagede, sempat dipindah beberapa kali ke Karta, Plered, sebelum akhirnya pindah ke Wanakarta yang kemudian diberi nama baru Kartasura setelah diserang pasukan Trunajaya. Meski konteks pemindahan pusat pemerintahan saat itu lebih banyak disebabkan karena adanya invasi musuh, tapi itu membuktikan jika bagi raja-raja Jawa zaman dulu memindahkan pusat pemerintahan bukanlah sesuatu yang mustahil.
“Saya malah pernah berpikir radikal supaya tiap 30 tahun sekali ibukota negara itu pindah, misalnya digeser ke timur terus sampai ke Papua,” kata Sindung.
Memang bukan jaminan, tapi jika suatu tempat jadi pusat pemerintahan tentu akan dapat perhatian lebih dari pemerintah. Dengan dipindahkannya ibukota negara ke wilayah timur, diharapkan pembangunan-pembangunan wilayah timur yang selama ini dianggap tertinggal bisa mengejar ketertinggalannya.
ADVERTISEMENT
Soal biaya, sebenarnya pemindahan ibu kota menurutnya juga tidak perlu mengeluarkan banyak biaya. Dengan perkembangan teknologi yang ada, pembangunan infrastruktur-infrastruktur fisik pelengkap ibu kota yang sudah tidak relevan bisa dihilangkan.
“Di era perkembangan teknologi seperti sekarang kan infrastruktur fisik sudah tidak terlalu penting lagi, jadi itu bisa diminimalkan sehingga tidak akan memakan biaya terlalu besar,” ujarnya.