Fenomena Influencer Fatigue, Kala Gen Z Tak Lagi Percaya Mega Influencer

Konten Media Partner
23 Mei 2023 21:10 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi influencer. Foto: Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi influencer. Foto: Pexels
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kemitraan berbayar dengan para mega influencer telah jadi bagian tak terpisahkan dari strategi pemasaran digital brand-brand terkemuka. Namun, dalam beberapa tahun terakhir mega influencer atau influencer besar ini dinilai mulai kehilangan pengaruhnya di tengah konsumen, terutama konsumen muda seperti Gen Z.
ADVERTISEMENT
Fenomena ini dikenal dengan istilah influencer fatigue, dimana konsumen sudah mulai bosan dan tak percaya lagi dengan apa yang dikatakan influencer.
CEO PT Mitra Komune Nusantara, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang Teknologi Campaign, Communication, dan Community, Jennifer Ang, mengatakan bahwa berdasarkan data Global Web Index (GWI), jumlah Gen Z yang tertarik pada influencer telah turun sebanyak 12 persen dari tahun 2020. Selain itu, ternyata hanya 3 persen konsumen yang membeli produk atas pengaruh mega influencer.
“Padahal Gen Z merupakan target pasar utama bagi para marketing influencer,” kata Jennifer Ang dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi Selasa (23/6).
CEO PT Mitra Komune Nusantara, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang Teknologi Campaign, Communication, dan Community, Jennifer Ang. Foto: Dok. Istimewa
GWI mencatat, selama ini Gen Z memang merupakan kelompok usia yang paling sering melakukan pembelian berdasarkan postingan yang dibagikan melalui mega influencer. Kondisi ini tak terlepas dari sifat Gen Z yang sering melakukan pembelian impulsif. GWI menemukan bahwa 65 persen dari Gen Z dan milenial cenderung melakukan pembelian impulsif setidaknya sebulan sekali.
ADVERTISEMENT
Jika dibandingkan dengan generasi yang lebih tua, media sosial memang menjadi platform utama bagi Gen Z untuk menemukan atau mencari produk baru. Sementara bagi generasi di atasnya, seperti milenial, Gen X dan baby boomers, cenderung terpapar informasi mengenai produk baru dari mesin pencari dan iklan di televisi.
Konsumen, terutama yang berusia lebih muda seperti Gen Z menurut Jennifer telah kehilangan kepercayaan pada influencer berbayar.
“Mereka kini cenderung lebih mempercayai komunitas-komunitas dengan pemikiran atau minat yang sama,” ujarnya.
Meski industri pemasaran influencer masih berada di jalur yang tepat dengan nilai mencapai 21 miliar dollar AS pada 2023, namun kondisi pasar menurutnya sudah semakin jenuh. Dengan meningkatnya jumlah postingan berbayar atau bersponsor di media sosial, kampanye influencer telah mengubah lanskap media sosial yang ditujukan untuk berinteraksi menjadi tempat untuk mengunggah iklan bersponsor.
ADVERTISEMENT
Studi Klear pada 2019 yang menganalisis lebih dari 2 juta konten bersponsor di Instagram, menemukan jumlah postingan bersponsor meningkat sebesar 39 persen pada tahun 2018, dengan peningkatan berturut-turut setiap bulan.
“Kini, orang-orang telah muak dengan postingan yang menunjukkan influencer selebriti berpose serupa, mengedepankan sebuah produk seraya menjelaskan kelebihannya dan melengkapi postingan itu dengan menyebut brand serta menggunakan tagar atau hashtag bermerek,” paparnya.
Followers Palsu Rugikan Brand 1,3 Miliar Dollar AS Tiap Tahun
Infografis: Dok. Bazaarvoice
Sebuah riset oleh Bazaarvoice, juga menunjukkan sekitar 47 persen konsumen sudah lelah dengan konten influencer yang serupa dan berulang. Dengan kata lain, konsumen mulai meninggalkan para influencer karena kurangnya orisinalitas pada konten bersponsor mereka.
Selain itu, masalah lain juga timbul dari transparansi dan efektivitas kampanye influencer. Pasalnya, tak sedikit influencer yang membeli pengikut atau menggunakan bot untuk meningkatkan keterlibatan atau engagement palsu hanya untuk mendapatkan bayaran merek yang lebih tinggi.
ADVERTISEMENT
Studi perusahaan cyber security CHEQ, menemukan sekitar 15% dari biaya iklan influencer justru dihabiskan untuk membeli pengikut atau followers palsu. CHEQ mencatat, penipuan influencer jelas merugikan merek hingga 1,3 miliar dollar AS per tahun.
“Hal ini tentu menyesatkan konsumen dan menciptakan masalah kepercayaan,” ujarnya.
Kondisi ini menurutnya juga tak lepas dari perubahan besar dalam cara konsumen berinteraksi dengan brand. Dewasa ini, era konsumen pasif telah berakhir dan sebagai gantinya, konsumen yang lebih muda secara aktif mencari keterlibatan yang otentik dengan brand melalui komunitas yang membagikan konten atau komentar tentang brand atau produk yang mereka sukai.
Konsumen Ingin Keterlibatan yang Autentik
Sumber: https://www.bazaarvoice.com/resources/shopper-experience-index-2022/
Jennifer Ang mengatakan, setelah bertahun-tahun mempercayai influencer yang mempromosikan produk yang bahkan mereka sendiri tidak menggunakannya, konsumen pada akhirnya memutuskan untuk tidak lagi mempercayai apa yang dikatakan oleh influencer.
ADVERTISEMENT
Dalam banyak kasus, influencer menurutnya sebenarnya tidak tertarik dengan brand atau produk yang mereka promosikan. Mereka bahkan dapat mempromosikan produk yang bertentangan pada waktu yang sama, misalnya mempromosikan pasta gigi di pagi hari dan permen di malam hari.
Ketidakpercayaan ini menurutnya bukan tanpa alasan. Berdasarkan statistik dari biro iklan Carmichael Lynch, sekitar 23 persen influencer itu sendiri merasa kesulitan untuk membangun konten bersponsor yang autentik.
“Bahkan, ketika ditanya tentang tantangan dalam bekerja dengan brand, 15 persen dari mereka mengaku tidak menyukai brand yang mereka promosikan,” kata Jennifer Ang.
Salah satu kasus yang menyoroti masalah ini pernah menimpa kampanye brand kecantikan Amerika, Proactiv, yang menggaet Kendall Jenner. Meski menjadi sosok influencer paling berpengaruh pada 2019, banyak konsumen yang mempertanyakan kolaborasi keduanya dan menuduh Kendall tidak jujur.
ADVERTISEMENT
Pasalnya, dalam video promosi yang dipublikasikan di saluran YouTube Proactiv, Kendall bercerita bagaimana produk Proactiv membantunya merawat kulitnya. Namun, pengikut Kendall menuduh sang influencer tidak menggunakan produk Proactiv lantaran Kendall pernah berbicara tentang bagaimana dokter kulit membantunya mengatasi masalah kulit.
Alih-alih mengandalkan influencer, mayoritas konsumen menurut Jennifer saat ini lebih ingin terlibat dengan orang-orang yang bisa mereka percayai untuk mendapatkan informasi tentang produk.
“Orang-orang ini bukan lain adalah mereka yang benar-benar memiliki pengalaman dengan produk atau brand yang mereka promosikan,” ujarnya.
Brand Perlu Tingkatkan Kepercayaan dan Orisinalitas Lewat Komunitas
CEO PT Mitra Komune Nusantara, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang Teknologi Campaign, Communication, dan Community, Jennifer Ang. Foto: Dok. Istimewa
Jennifer mengamini, bahwa influencer besar dengan jutaan pengikut memang dapat mendatangkan pelanggan baru. Namun, akan lebih baik bagi brand jika mereka memilih influencer yang benar-benar memiliki pengalaman autentik dengan produk mereka. Sebab, autentisitas menjadi poin utama yang kini dicari konsumen ketika memutuskan apakah mereka akan percaya pada suatu postingan bersponsor atau tidak. Kepercayaan inilah yang merupakan elemen penting dalam jual-beli daring.
ADVERTISEMENT
Konsumen yang lebih muda seperti Gen Z, menurutnya lebih tertarik pada komunitas yang di dalamnya berisi orang-orang yang berbagi informasi dan konten orisinal tentang brand dan produk yang mereka sukai.
“Mereka kini beralih dari mempercayai mega influencer seperti selebriti, menjadi bersandar pada kreator konten atau influencer dengan basis pengikut yang kecil,” kata dia.
Meski kreator konten mungkin tidak memiliki jangkauan yang sama dengan para mega influencer, mereka justru memiliki tingkat ketertarikan yang ditandai dengan persamaan kepentingan dan konten yang dapat dipercaya.
Hal ini sesuai dengan temuan laporan Influencer Marketing: Exploring The Current Influencer Marketing Landscape And Its Future Potential, dimana 48 persen konsumen mengaku menginginkan influencer yang dapat dipercaya. Sementara 29 persen konsumen menginginkan para influencer untuk transparan tentang produk yang disponsori.
ADVERTISEMENT
Temuan itu menurutnya jelas menyoroti bahwa kepercayaan, transparansi, dan keaslian adalah hal terpenting dalam hubungan antara influencer dan konsumen. Konsumen menginginkan pengungkapan penuh tentang apa yang dipromosikan oleh influencer. Lebih dari itu, mereka menginginkan influencer untuk hanya mempromosikan produk yang benar-benar mereka gunakan dan ketahui.
Saat ini, ketika konsumen tidak lagi mempercayai informasi yang dipublikasikan para influencer di media sosial, bisnis menurutnya harus menemukan cara autentik untuk terhubung melalui media sosial. Untuk menggaet Gen Z membeli produknya, brand menurutnya harus mencari model keterlibatan yang lebih autentik.
“Karena Gen Z lebih mempercayai konten autentik yang disediakan oleh orang yang mereka percayai, brand yang cerdas harus mencari model keterlibatan yang lebih autentik dengan membina komunitas orang-orang yang menyukai produk mereka,” paparnya.
Ilustrasi penggemar. Foto: Pexels
Melalui komunitas penggemar inilah, Jennifer melihat kesempatan bagi brand untuk memanfaatkan suara konsumen mereka untuk meningkatkan keterlibatan dengan target pasar.
ADVERTISEMENT
Untuk membangun komunitas konsumen yang akan menghubungkan mereka ke target pasar, Jennifer menilai brand terlebih dahulu perlu mengidentifikasi pelanggan mereka yang telah membagikan cerita terkait produk atau brand secara daring.
“Setelah mengidentifikasi siapa saja penggemar mereka, brand perlu membangun kemitraan yang tepat untuk mengajak mereka bergabung dengan komunitas dan mendorong mereka untuk membuat konten buatan pengguna atau user generated content (UGC) untuk kemudian dibagikan melalui media sosial,” jelasnya.
Karena ini adalah UGC, Jennifer menggaris bawahi bahwa brand tidak boleh mengontrol atau mengarahkan anggota komunitas untuk membuat postingan yang tidak original dan tidak sesuai dengan keunikan masing-masing individu tersebut.
“Alih-alih mengontrol, brand hanya bisa memberikan saran,” ujarnya.
Cheetos misalnya, seperti dilansir Forbes, brand snack terkenal itu merupakan salah satu yang memanfaatkan konten penggemar mereka dengan baik. Melalui saluran media sosialnya, Cheetos mengkurasi foto dan video buatan penggemar yang menampilkan produk mereka dengan kreatif. Cheetos bahkan rutin mengajak penggemar mereka untuk berkolaborasi dalam sejumlah challenge, seperti tantangan tagar #ItWasntMe, juga mendorong penggemar mengunggah kreasi olahan Cheetos mereka, bahkan mengajak blogger dan beauty enthusiast untuk mengunggah cat kuku atau tata rias lain yang terinspirasi dari Cheetos.
ADVERTISEMENT
Influencer fatigue adalah fenomena nyata dan karenanya, brand menurut dia membutuhkan perubahan strategi atas kampanye influencer mereka. Satu-satunya strategi yang tepat untuk meningkatkan penjualan daring adalah dengan membangun kepercayaan dengan konsumen melalui pemasaran yang kredibel.
Membangun koneksi dengan komunitas pengguna bahkan penggemar produk dapat menjadi pemberi pengaruh atau influencer yang dapat mewakili suatu brand dengan cara yang jujur.
“Upaya membangun komunitas semacam ini juga dapat memperkuat hubungan brand dengan konsumen untuk mendorong loyalitas jangka panjang. Selain itu, brand juga bisa mendapatkan feedback dan ide dari penggemar yang mendorong pengembangan dan penjualan produk baru,” pungkas Jennifer.