Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten Media Partner
Fenomena Konflik Wisatawan dan Pemangku Adat di Bali dan Jogja, Apa Solusinya?
17 Mei 2024 19:59 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
Awal pekan ini viral di media sosial konflik antara pemangku adat di Pura Tirta Empul, Tampaksiring, Bali, dengan turis dari India yang memaksa untuk berdoa di area terlarang. Turis India tersebut tak mengindahkan larangan dari pemangku adat Tirta Empul karena merasa ia adalah golongan kasta tertinggi di India.
ADVERTISEMENT
Kejadian hampir mirip terjadi di Makam Raja-raja Kraton Jogja dan Solo di Imogiri, Jogja, pada akhir April lalu. Kejadian yang kemudian viral tersebut berisi keluhan guide yang membawa 2 rombongan berjumlah 14 orang mengeluhkan besaran tarif Rp 500 ribu yang menurut dia di luar kewajaran. Guide merasa selama ini cukup membayar Rp 50 ribu.
Pakar Manajemen Destinasi Wisata UGM, M Baiquni, mengatakan, konflik antara wisatawan dan destinasi wisata ‘non man made’ atau destinasi bukan buatan, makin ke sini memang makin banyak. Tidak hanya terjadi di Bali seperti banyak berita dalam setahun terakhir mengenai ulah wisawatan asing -foto telanjang di pohon yang disakralkan- namun juga terjadi di banyak destinasi “non man made” terutama destinasi spriritual di seluruh Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Kasus terbesar kan mengenai pengaturan naik ke Candi Borobudur, naik ke candinya beda dengan tiket masuk area, yang akan dibikin tarif Rp 750 ribu untuk wisatawan lokal dan Rp 1,5 juta untuk wisatawan asing. Tujuannya baik, tapi jadi polemik akhirnya pemerintah membatalkannya,” kata pakar bergelar Profesor ini saat dihubungi, Kamis (16/5).
Pengenaan tarif tiket mahal untuk naik ke bangunan Candi Borobudur menurut Baiquni bertujuan untuk membatasi beban bangunan yang memang rawan jika dinaiki ribuan wisatawan setiap hari. Ada kepentingan untuk menjaga bangunan Cagar Budaya bahkan warisan dunia berusia 1.000 tahun lebih itu. Namun, hal itu oleh publik dinilai sebagai diskriminasi.
Baiquni menjelaskan bahwa yang terjadi di Tirta Empul, Makam Raja di Imogiri, di Borobudur, dan banyak destinasi ‘non man made’ di Indonesia, di diskursus ilmu pariwisata hari ini banyak dibahas dalam kerangka bagaimana mempertemukan perspektif cultural heritage dengan kepentingan wisatawan.
ADVERTISEMENT
Di satu sisi, cultural heritage juga membutuhkan biaya untuk merawat bangunannya dan merawat para penjaganya yang disebut Baiquni sebagai ‘The Masters’ atau pemangku adat atau juru kunci. Masyarakat dan pemerintah juga memerlukan tambahan pendapatan, menggerakkan pariwisata. Tapi di sisi lain, ada banyak batasan ruang gerak bagi para pengunjung atau wisatawan di destinasi khusus ‘non man made’ tersebut.
Apa yang dinyatakan Baiquni mengenai The Masters senada dengan aktivis sosial Bali, Ni Luh Jelantik saat merepost postingan Jeg Bali di instagramnya, yang memberi caption “Perkuat desa adat. Lindungi pemangku agar tetap bisa menjaga taksu Bali. Buat bapak India, terimakasih telah support Bali. Mohon taati aturan di masing-masing desa. Matur suksma.”
ADVERTISEMENT
Kode Etik Kepariwisataan Dunia
Sehari-hari M Baiquni mengajar S2 dan S3 studi Pariwisata di UGM. Di kelas-kelas tersebut, Baiquni mengaku menjadikan Standar Etika Kepariwisataan Dunia sebagai fundamental bagaimana mempertemukan kepentingan Cultral Heritage dan wisatawan.
Pasal satu dokumen tersebut menyatakan bahwa ada kewajiban kontribusi kepariwisataan untuk membangun saling pengertian dan saling menghormati antar penduduk dan masyarakat. Dan di pasal 4 jelas dinyatakan bahwa kepariwisataan adalah pemakai warisan budaya kemanusiaan serta sebagai penyumbang pengembangan warisan budaya itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Kata kuncinya menurut Baiquni adalah penghormatan kepada destinasi Cultural Heritage dan masyarakat adat setempat adalah kepentingan utama yang musti dijaga oleh dunia kepariwisataan.
“Sekarang kan makin ramai destinasi-destinasi ‘non man made’ milik desa, masyarakat, yang dijaga pemangku adat atau juru kunci. Namun status juru kunci tersebut belum cukup dihargai, kadang cuma dikasih Rp 50 ribu padahal sudah dongeng panjang, kan kasihan, kurang penghargaan,” katanya.
Panduan global Kode Etik Kepariwisataan tersebut, menurut Baiquni, penting untuk kembali disosialisasikan kepada pemerintah, industri wisata, dan juga wisatawan.
“Secara teknis perlu do and don’t yang jelas. Tapi hal ini kan tidak semudah itu, perlu pengelolaan yang baik dan profesional sehingga do and don’t itu dimengerti oleh semua pihak,” kata Baiquni.
ADVERTISEMENT
Kabar Baik bagi Wisata
Di balik ramainya destinasi-destinasi ‘non man made’ yang seringkali bersifat spiritual atau cultural heritage akhir-akhir ini musti dilihat sebagai kabar baik bagi industri pariwisata.
M Baiquni mengatakan mengenai value keberlanjutan lingkungan, penghargaan terhadap adat istiadat dan ‘The Masters” atau pemangku adat atau juru kunci, dalam setiap destinasi-destinasi Cultural Heritage.
Sehingga menurutnya, isu mengenai pengelolaan yang lebih profesional seperti yang tertuang dalam Panduan Global Kode Etik Kepariwisataan bisa diimplementasi di lapangan.
“Bagaimana kita sebagai host, juru kunci harus bagaimana, wisawatan yang beda kultur harus bagaimana. Kalau ada konflik harus bagaimana, itu semua saya kira memang perlu untuk dikelola dan dimajamen dengan baik dan profesional.”
ADVERTISEMENT
“Terutama di destinasi-destinasi kecil seperti sumber air, pura, makam, itu bagaimana pengunjung bisa menghormati ‘The Masters” nya seperti dunia kampus menghargai narasumber saat seminar misalnya. Ini penting karena sesungguhnya yang kecil-kecil itu kan memang peran utamanya ada di ‘The Masters’ nya,” papar Baiquni.