Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Guru Besar Farmasi UGM Say No Legalisasi Ganja Meski untuk Tujuan Medis
6 Juli 2022 18:55 WIB
·
waktu baca 2 menitADVERTISEMENT
Guru Besar dari Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Zullies Ikawati, menegaskan bahwa melegalkan ganja (Cannabis) bukanlah pilihan yang tepat, meskipun untuk tujuan medis.
ADVERTISEMENT
Dia juga tidak sepakat jika ganja dikeluarkan dari narkotika golongan 1 yang membuatnya hanya bisa digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
“Say no untuk legalisasi ganja sebagai tanaman, walaupun dengan alasan untuk memiliki tujuan medis,” kata Zullies Ikawati, dalam webinar Jalan Panjang Legalisasi Ganja yang digelar Kagama UGM, Rabu (6/7).
Kasus pada ganja menurut Zullies sama dengan regulasi yang mengatur tentang morfin dan opium. Dalam dunia medis, morfin telah ditetapkan sebagai obat nyeri kanker yang berat, namun opium sebagai tanaman yang menghasilkan morfin tetap masuk ke dalam narkotika golongan 1 karena potensi penyalahgunaannya sangat besar.
Begitu juga dengan ganja, sebenarnya yang dibutuhkan sebagai obat hanyalah zat cannabidiol-nya (CBD) saja, bukan semua bagian dari tanaman ganja. Di sisi lain, selain CBD, di dalam tanaman ganja juga terkandung zat tetrahidrokanabinol (THC) yang memabukkan. Zullies khawatir, jika tanaman ganja dilegalkan, maka penyalahgunaannya akan merajalela.
ADVERTISEMENT
“Saya sering bilang di media, banyak penumpang gelapnya nanti,” lanjutnya.
Perbandingan antara orang yang benar-benar membutuhkan ganja medis atau ganja untuk kebutuhan medis dengan keseluruhan pengguna ganja menurut dia tidak sebanding. Hal itu membuat pengaturan dan pembatasan penggunaan ganja akan semakin sulit jika dikeluarkan dari narkotika golongan 1.
Jalan tengahnya menurut Zullies, tanaman ganja tetap dimasukkan ke dalam narkotika golongan 1, sedangkan yang bisa dilegalkan atau diatur adalah senyawa turunan dari tanaman ganja tersebut seperti cannabidiol.
“Dimana cannabidiol sudah banyak informasinya juga tidak memiliki sifat psikoaktif, dia bisa digunakan sebagai obat dengan banyak uji klinis, maka bisa masuk narkotika golongan 2 bahkan 3,” ujarnya.
Proses legalisasi cannabidiol menjadi obat ini sendiri mesti mengikuti kaidah pengembangan obat melalui uji klinis dalam bentuk obat yang terukur dosisnya ke badan otoritas seperti BPOM. Meski berasal dari tanaman, namun regulasi yang dipakai tidak bisa menggunakan regulasi obat herbal.
ADVERTISEMENT
“Oh tidak begitu, karena ini (ganja) masih mengandung senyawa yang memabukkan,” kata dia.
Jikapun digunakan sebagai obat, penggunaan cannabidiol harus tetap diatur secara ketat. Komponen ganja yang bersifat obat menurutnya mesti diatur supaya hanya bisa digunakan sebagai alternatif terakhir jika tidak ada obat lain, misalnya karena seseorang sudah resisten dengan obat-obat yang lain.
“Riset-riset terkait ganja perlu diatur dengan tetap terbuka kepada kemajuan ilmu pengetahuan, dengan tetap membatasi aksesnya untuk menghindarkan penyalahgunaan,” tegas Zullies Ikawati.